difpala bhandagiri review gunung butak

Tekad Difpala

54 minutes, 30 seconds Read
Listen to this article

Pengantar

Novel berjudul “Tekad Difpala” ini merupakan fiksi yang diangkat dari kisah nyata. Saat penyandang disabilitas terabaikan di masa pandemi, Difabel Pecinta Alam (Difpala) melakukan berbagai aksi untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan. Mereka juga bertekad melawan stigma dan mendorong legitimasi Posyandu Disabilitas. 

Difpala maupun Posyandu Disabilitas, keduanya merupakan unit pemberdayaan masyarakat Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), organisasi penggerak inklusi di Jawa Timur. Terdapat pula Omah Difabel sebagai rumah pelindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas.

LINKSOS berdiri sejak tahun 2014 dengan misi menciptakan dunia yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Sejak awal berdirinya hingga saat ini, organisasi ini juga konsisten bekerja untuk isu kusta.

Tulisan ini penting untuk disebarluaskan secara baik agar bisa dibaca oleh banyak orang. Sebab memuat berbagai pembelajaran, bagaimana kiprah penyandang disabilitas dalam mengadvokasi hak-haknya, sebagai bentuk kontribusi positif pada masyarakat dan negara. 

Disamping itu, tulisan ini juga memuat pesan dari penyandang disabilitas tentang apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat secara luas. 

Novel ini ditulis atas dorongan pegiat Sinau Embongan Kota Malang, Wahyu Eko Setiawan. Sejak tahun 2018, pria yang akrab disapa Sam Wes ini membantu Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) dalam berbagai kegiatan advokasi dan pemberdayaan penyandang disabilitas.

Atas kurun waktu itu, ia kemudian terinspirasi, lantas berdiskusi dengan jaringan budayawan, peneliti dan seniman. Hasilnya adalah sebuah konsep yang disebut Bhandagiri. 

Bhandagiri merupakan kawasan dalam rangkaian gunung-gunung di antaranya Gunung Semeru, Gunung Arjuno, Gunung Kawi, Gunung Tengger, Gunung Anjasmoro, Gunung Kendeng Selatan. Wilayah episentrum kawasan Bhandagiri tersebut adalah Malang Raya. 

Beberapa aktivis sosial, budayawan dan sejarawan, serta pegiat inklusi melihat kawasan Bhandagiri sebagai satu potensi daerah. Potensi tersebut memerlukan pengembangan melalui kerjasama yang holistik. 

Selanjutnya, melalui kerjasama LINKSOS dan Parekraf Kota Malang, FGD Inisiatif Bhandagiri pun digelar, Kamis 13 April 2023 di Ruang Digital Library Lantai 6, Gedung MCC Kota Malang

Hasil FGD tersebut di antaranya menetapkan adanya film, buku kebudayaan dan fotografi potensi Bhandagiri sebagai milestone awal pembangunan Bhandagiri. Termasuk adanya novel ini sebagai bahan baku penting untuk pembuatan film tersebut. 

Akhir kata, semoga atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, seluruh tujuan baik akan tercapai. 

Malang, 23 April 2023

Penulis
Ken Kerta
Ken Kerta
Pembina Difpala
UMKM Omah Difabel

Latar Belakang

Pandemi melanda tahun 2020. Saat hampir setiap orang merasa ketakutan, nasib penyandang disabilitas terabaikan. Walau sebenarnya ini bukan hal baru. Karena telah sejak lama, jauh sebelum pandemi kelompok rentan ini telah terpinggirkan di segala bidang.

Nyatanya, di masa pandemi hingga hari ini, tak pernah ada sosialisasi Covid-19 berbasis kebutuhan ragam disabilitas. Sehingga penyandang disabilitas, khususnya Tuli dan disabilitas intelektual kesulitan memahami soal korona dan vaksinasi.

Termasuk prioritas vaksinasi, penyandang disabilitas mendapat giliran vaksinasi setelah pandemi tahun kedua. Saat pandemi hampir usai!

Tak hanya soal kesehatan, penyandang disabilitas juga mengalami persoalan ekonomi. Mereka yang bekerja sebagai buruh harian lepas mengalami pemberhentian tanpa pesangon. Sedangkan mereka yang berwirausahapun mengalami penurunan pendapatan hingga usahanya terancam tutup.

“Suami saya sopir pak, ia kena lockdown di luar kota, nggak bisa pulang. Sedih,” ujar Wati mengadu. Ia adalah orangtua dari anak disabilitas fisik. “Mohon bantu, saya tidak minta apa-apa kecuali pekerjaan,” tulisnya di pesan whatsapp. 

Pengaduan lainnya. “Sudah seminggu ini tak ada pasien pijat. Jangankan orang mau pijat, bersalaman saja takut. Semoga pandemi segera usai. Bagi kami orang-orang netra, ini sangat berat,” tulis Erik, ia menghubungi LINKSOS melalui pesan facebook. 

Kontak layanan informasi LINKSOS selama sekira satu minggu penuh dengan curhatan penyandang disabilitas. Setelah itu sepi. Bukan lagi pesan-pesan melalui handphone, melainkan mereka datang langsung ke Omah Difabel. Ini sebagai tanda  bahwa telah terjadi krisis pangan!

Orang tak lagi peduli lockdown dan segala pembatasan lainnya. Yang utama adalah bertahan hidup. Setiap hari Omah Difabel tak pernah sepi dari kedatangan anggotanya. Mereka berharap ada rejeki berupa pekerjaan maupun beras yang bisa dibawa pulang. 

Sementara itu terkait kejiwaan, sebagian besar orang mengalami phobia korona. Orang-orang yang mampu berebut belanja tisu dan hand sanitizer. Sementara orang yang tak mampu hanya menonton di depan layar televisi, atau mendengar kabar dari tetangga. 

“Tisu untuk apa? Lebih baik untuk beli beras,” kata Ujang. “Stok beras tinggal hari ini. Bengkelku buka tiap hari, tapi nggak ada orang yang servis sepeda motor. Sedangkan konveksi tempat istri bekerja tutup.” curhatnya. Ujang dan istrinya adalah sesama penyandang disabilitas fisik. 

Waktu terus berjalan dan pandemi bisa terjadi selama beberapa tahun. Belum ada kepastian.

Menyikapi situasi ini, Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) mengembangkan Omah Difabel dan membentuk Difabel Pecinta Alam (Difpala).

Omah Difabel merupakan rumah pelidungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas, khususnya di bidang pemulihan ekonomi. Mereka mengambil peluang usaha pandemi yaitu produksi masker dan pakaian hazmat. Tak hanya itu, mereka juga membatik, membuat keset, produksi kopi bubuk dan produksi telor asin.

Sedangkan Difpala mengambil peran di bidang edukasi masyarakat. Difpala merupakan unit pemberdayaan penyandang disabilitas di bidang pelestarian alam dan lingkungan. Unit ini mengkampanyekan hidup damai dan sehat di masa pandemi.

Kampanye kesehatan, semestinya bisa dilakukan melalui Posyandu Disabilitas. Namun peran tersebut tak bisa optimal, sebab secara sistematik operasional Posyandu Disabilitas terkait dengan kebijakan Pemerintah Desa dan Puskesmas. Sedangkan kedua lembaga dan instansi tersebut taat kepada segala bentuk pembetasan yang ditetapkan oleh Pemerintah. 

Berbeda dengan Omah Difabel dan Difpala, kedua unit ini mutlak dalam koordinasi LINKSOS. Meski dalam setiap kegiatannya, Omah Difabel dan Difpala selalu bekerjasama dengan lima sektor utama yaitu Pemerintah, perguruan tinggi, swasta, kelompok masyarakat, serta media massa. Sebagian para penggerak Omah Difabel dan Difpala adalah orang-orang yang sama. 

Praktik baik LINKSOS di masa pandemi terus berlanjut, meski saat ini situasi telah berubah menuju endemi. Advokasi dan pemberdayaan terus dilakukan untuk memastikan adanya kebijakan Pemerintah yang berpihak kepada Penyandang Disabilitas. 

Tak hanya di bidang ekonomi dan kesehatan, advokasi dan pemberdayaan juga dilakukan di seluruh sektor, di antaranya dunia pendidikan. Bekerjasama dengan Pramuka Kwarran Lawang, Difpala membentuk Satuan Komunitas Pramuka (Sako) Inklusi Lingkar Sosial Indonesia.

Strategi Difpala akan mencetak dua orang kader Pramuka inklusi di setiap sekolah, satu sekolah dua kader. Mereka berperan sebagai agen kampanye kesadaran inklusi disabilitas. 

Aksi demi aksi nyata Difpala kemudian menarik perhatian banyak pihak yang memiliki kepedulian sama. Di antaranya Pemkab Malang, melalui Camat Lawang bekerjasama dengan LINKSOS  membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kecamatan Lawang. Unit ini kemudian menjadi basis pengembangan desa-desa/kelurahan inklusi dan Posyandu Disabilitas.

Sementara itu di Kota Malang, LINKSOS mengembangkan ULD Parekraf yang berkantor di lantai 5 Ruang Kerja Parekraf Gedung MCC Kota Malang. Sedangkan di Kota Batu, LINKSOS mengembangkan basecamp Difpala di Kecamatan Bumiaji. 

Di tingkat nasional, LINKSOS bergabung dalam jaringan Stafsus Presiden Angkie Yusdistia untuk percepatan vaksinasi Covid-19 bagi penyandang disabilitas di Jawa Timur Tahun 2021.

Difpala juga mengembangkan Tim Respon Sosial Bencana (Timresna). Unit ini kemudian bekerjasama dengan jaringan nasional Tim Respon Kemanusiaan (TRK) Inklusif untuk merespon beberapa bencana alam di Jawa Timur. 

Konsistensi Difpala juga menarik perhatian Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI. Lembaga independen non struktural yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden ini menandatangani kesepahaman kerjasama dengan LINKSOS.

Lingkup kerjasama adalah di bidang advokasi kebijakan dan edukasi masyarakat terkait penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Kebangkitan penyandang disabilitas dari keterpurukan di masa pandemi, dan prestasi yang ditorehkan oleh anak-anak muda Difpala merupakan kemenangan kolektif. Ini adalah dampak dari kerja-kerja tim.  

Tekad Difpala

Rumah Kedua

Saat pandemi, Difpala seakan memiliki rumah kedua selain tempat tinggal mereka sendiri, yaitu Omah Difabel dan gunung.

Omah Difabel adalah rumah pelindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas saat pandemi hingga hari ini. Omah Difabel bertempat di sebuah rumah kontrakan di Dusun Setran, Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Kemudian gunung, adalah tempat mereka menempa diri.

Siapa lagi yang akan melindungi kelompok difabel dalam situasi darurat saat itu? Ketika hampir semua orang sibuk menyelamatkan diri sendiri, tekad Difpala adalah bergerak berkelanjutan secara swadaya.

Omah Difabel kemudian menjadi tempat berlindung penyandang disabilitas. Mereka mengakses pekerjaan dan bantuan sosial yang tersedia.

Beruntung, lokasi Omah Difabel ada di desa. Orang-orang desa berpikir sederhana soal korona. Mereka tak pernah mempermasalahkan setiap hari ada kegiatan di Omah Difabel. Bahkan beberapa orang menyangka Omah Difabel sebagai tempat terapi atau tempat penyembuhan orang-orang sakit. 

“Itu namanya pageblug, saatnya alam ini mengurangi jumlah manusia, jadi sudah garisnya,” ujar salah satu tetua desa. “Yang garisnya jadi bibit penerus kehidupan ia akan tetap hidup, dan yang bukan bibit pasti mati.”

“Maka jangan takut mati, sebab sekalipun sembunyi mati itu akan tetap ada. Namun yang boleh dilakukan adalah usaha mencegah balak atau celaka. Caranya dengan obong-obong atau membakar kayu setiap malam di halaman rumah.”

“Saat obong-obong masukkan garam grosok sedikit-sedikit ke dalam api. Asap dan suara gemletak uyah grosok itulah yang akan membuat setan balak pergi, termasuk korona.”

“Omah sampeyan itu digariskan menjadi pengayoman wong cilik, termasuk untuk melindungi disabilitas. Wes ora usah wedi. Jangan takut. Agar lebih kuat, menyepilah ke gunung-gunung,” pesannya.

Selaras pesan tetua desa, gunung-gunung pun kemudian juga menjadi rumah kedua penyandang disabilitas. Mereka yang tergabung dalam Difpala terjadwal setiap satu minggu sekali membuat kegiatan alam. Dimulai dengan mendaki perbukitan di pelosok kampung di sekitar Omah Difabel. 

Difpala kemudian juga  menjelajah gunung-gunung, di antaranya ada Gunung Wedon, Gunung Butak, Gunung Kawi, Gunung Arjuno dan beberapa gunung lain. Yang paling sering dan bersejarah adalah Gunung Wedon. Sebuah gunung yang konon angker di wilayah Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Bukit berketinggian 660 mdpl itu menjadi tempat berlatih mendaki bagi difabel pendaki gunung pemula.

“Saya asli orang sini, lahir, besar dan menua di dusun ini,” ujar seorang warga di sekitar kaki Gunung Wedon. “Sejak kecil saya kerap main ke Gunung Wedon, terutama di lerengnya untuk mencari buah juwet.

“Jarang sampai puncak sebab dilarang oleh orangtua,” lanjutnya.  Katanya ada ular besar dan tanah gatel. Namun yang namanya anak kecil, sangat sering melanggar pesan orang tua karena rasa ingin tahu.”

Tim survei Difpala meneliti kebenaran mitos angkernya Gunung Wedon. Ken, Ezra, Priyo, Rokim dan Cakra, kelima orang ini paling sering mendaki dan menjelajah Gunung Wedon. Hampir seluruh sisi di Gunung Wedon telah mereka jelajahi. 

Ken adalah Pembina Difpala, maka sosok ini menjadi pusat kebijakan, meski dalam praktiknya kebijakan yang diputuskan selalu berdasarkan diskusi dengan anggota Difpala. Tim survei beranggotakan Rokim warga dusun setempat, lalu Ezra seorang penyandang epilepsi. Ezra ingin membuktikan bahwa orang dengan epilepsi aman untuk mendaki gunung.

Anggota tim berikutnya adalah Priyo, ia seorang penyandang disabilitas fisik. Meski mengalami phobia ketinggian, anak muda tersebut berkeinginan kuat untuk bergabung dalam tim pendaki gunung. Lalu Cakra, seorang mahasiswa. 

Selama satu minggu pertama, tim survei menemukan bekas-bekas dupa pada batu ceper di puncak Gunung Wedon. Tentu ini bekas bekas orang yang melakukan ritual tertentu sesuai cara dan keyakinannya. 

Tim juga menemukan semak-semak rusak bekas orang duduk dan puntung rokok. Namun posisi semak rusak ini di lereng bagian timur yang cukup sulit dijangkau kecuali ada tujuan khusus. Ada kemungkinan ini bekasnya rapat maling.

Yang belum ditemukan hingga hari ini adalah tanah gatel. Meski demikian, tim sangat menghargai kearifan lokal, termasuk adanya kisah-kisah mistis seputar Gunung Wedon. Sebagai bentuk penghargaan itu, Difpala menggelar slametan tumpengan sebagai wujud niatan baik membuka puncak dan berkegiatan di Gunung Wedon. Lalu sah! Gunung Wedon menjadi rumah kedua bagi anak-anak Difpala. 

Tekad Difpala

Rumah Harapan

Ruang kerja Omah Difabel tak luas, sekira ukuran 3 meter x 4 meter saja. Dinding rumah bercat hijau, dengan pemandangan khas sebuah banner putih bertuliskan Komitmen Bersama Desa Bedali Inklusif Disabilitas. Di banner itu terdapat beberapa tulisan pasal kesepakatan lintas sektor. Lalu di bagian bawah banner terdapat banyak tanda tangan.

Sementara di bagian luar rumah, tepatnya di teras. Terdapat banner ukuran 60 cm x 160 cm yang menempel di dinding. Banner itu bertuliskan Omah Difabel Kab Malang. Kemudian di atas tulisan itu, nampak logo LINKSOS atau Lingkar Sosial Indonesia.

“Kulonuwun!,” terdengar suara dari pintu masuk. Nampak tiga orang laki-laki. Rupanya anak-anak punk. Salah satunya bernama Cusi, ia yang dituakan di kelompoknya. Dua kawannya nampak bertato pada lengannya. Cusi bagi sebagian kawan-kawan difabel bukan lagi orang baru. Dulu ia dan istrinya pernah mengajar anak-anak disabilitas bermain teater.

“Ini ada lima liter hand sanitizer tanpa alkohol. Kami buat sendiri dari proses daun sirih. Kami ada sekira 20 liter. 15 liter kami bagi ke masjid-masjid. Lima liter saya serahkan di Omah Difabel ya. Sebab selalu banyak orang disini,” ujar Cusi.

Pagi itu, di Omah Difabel ada Widi Sugiarti, Ken Kerta, Suhaedin alias Ujang, Priyo Utomo, Cakrahayu dan Karunia. Mereka semua bermasker. Di Omah Difabel menerapkan protokol kesehatan. 

Widi Sugiarti adalah pengurus utama Omah Difabel, sedangkan Ken Kerta adalah Pembina LINKSOS. Lalu Ujang, juga pengurus Omah Difabel, sebagai koordinator bidang produksi masker dan hazmat. Laki-laki pengguna kruk ini adalah penyandang disabilitas fisik akibat polio.

Kemudian Priyo Utomo, bertugas mengelola produksi dan pemasaran telor asin. Ia penyandang disabilitas fisik. Tangan kanan dan kaki kanannya kaku. Dalam aktivitasnya Priyo banyak mengandalkan tangan kiri dan kaki kiri. Meski jalannya terpincang-pincang, Priyo aktif mendaki gunung. Bahkan organisasi mendapuknya sebagai Koordinator Difabel Pecinta Alam (Difpala).

Sedangkan Cakrahayu dan Karunia adalah para relawan muda. Keduanya masih duduk di bangku SMA. Cakrahayu bertugas sebagai pendamping pendakian gunung dan Karunia bertugas mengelola media sosial. Ia juga kerap diandalkan sebagai pengisi suara video liputan kegiatan.

Omah Difabel menjadi rumah harapan bagi banyak orang.  Orang-orang dermawan dan lembaga filatropi serta program pengabdian masyarakat perguruan tinggi kemudian menyasar penyandang disabilitas. Omah Difabel juga menjadi harapan bagi para penyandang disabilitas untuk dapat mengakses pekerjaan selama masa pandemi. 

Orang-orang baik, sebagian besar mereka tak mau dipublikasi keberadaannya, memberikan bantuan pangan. Mereka berharap bantuan mereka bisa meringankan beban ekonomi penyandang disabilitas.

Kemudian lembaga filantropi, seperti badan zakat di antaranya BMH Malang, Rumah Zakat dan YDSF, Mereka berharap program sosial mereka bisa terealisasi dengan baik melalui bantuan organisasi yang tepat. 

Selanjutnya program pengabdian masyarakat, beberapa perguruan tinggi dan sekolah, baik melalui program kampus maupun melalui UKM, bermitra dengan Omah Difabel. Beberapa perguruan tinggi dan sekolah tersebut di antaranya Unibraw, UM, Unikama, Unmer, Polinema, serta SMANTI Malang. Mereka berharap bisa mewujudkan fungsi lembaga pendidikan di masa pandemi.

Dan yang pasti sangat utama, Omah Difabel menjadi harapan bagi masyarakat penyandang disabilitas. Mereka bekerja sesuai kemampuan personal penyandang disabilitas dan ketersediaan sumber daya permodalan di Omah Difabel. 

Beberapa unit usaha pun dikembangkan di Omah Difabel, di antaranya menjahit masker dan hazmat, produksi kopi bubuk, membuat keset, hingga bengkel kursi roda. bagi mereka yang tak memiliki keterampilan untuk menjalankan unit-unit usaha tersebut, Omah Difabel menugaskan mereka sebagai kurir atau pengantar barang. Bahkan Difpala pun turut merintis usaha, yaitu membuat warung kopi di puncak Gunung Wedon

Data Omah Difabel di antaranya menunjukkan, selama pandemi mereka telah memberdayakan 36 penjahit. Mereka berasal dari warga disabilitas, keluarga penyandang disabilitas, dan warga di sekitar Omah Difabel. Sementara Difpala berhasil merekrut sekira 50 penyandang disabilitas untuk kegiatan penghijauan dan mendaki gunung.

Sementara untuk bantuan pangan, Difpala telah menditribusikan sekira 1.500 paket sembako bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu. 

Tekad Difpala

Sosialisasi yang Tak Sampai

Klunting! Handphone Widi Sugiarti berbunyi.

“Maaf Bu Widi, aku tidak Omah Difabel. Takut mati covid penyakit.” Demikian Widi Sugiarti menerima pesan singkat whatsapp dari Nina, seorang kawan Tuli.

Tulisan Nina singkat-singkat. Rerata gaya tulisan Tuli memang demikian. Mereka memiliki lebih sedikit kosa kata. Jika tak biasa berinteraksi dengan Tuli biasanya akan sulit memahami.

“Ya, nggak apa-apa. Kalau begitu aku ke rumahmu ya,” balas Widi.

“Jangan covid korona bahaya,” balas Nina.

“Ini ada garapan masker. Mau jahit?” pesan Widi.

“Tidak libur kerja pandemi,” balas Nina kembali.

“Ok,” balas Widi.

Pembicaraan selesai.

Nina adalah salah satu dari anggota tim kreatif LINKSOS. Namun sejak pandemi, ia tak mau lagi berkegiatan. Minimnya informasi tentang Covid bagi Nina dan kawan Tuli lainnya, menyebabkan salah paham yang berkepanjangan. Mereka tak hanya salah paham, namun juga kehilangan pekerjaan dan peluang berbisnis. 

“Nina tak bisa ke Omah Difabel pak,” ujar Widi ke Ujang. “Masih takut korona.”

“Ya, nggak apa-apa. Itu tak lama. Nanti setelah kawan-kawan habis stok pangan maka apapun dilakukan. Termasuk berani keluar rumah, hehe..” respon Ujang. 

“Contohnya saya sendiri. Suami istri difabel dan dua anak masih sekolah. Siapa yang bisa bantu kecuali diri sendiri,” ungkap Ujang. “Beberapa hari yang lalu saya sampai berniat menjual kompresor. Untung nggak laku. Kalau sampai laku, akibatnya bukan hanya saya nggak punya lagi kompresor, tapi jadi tutup usaha bengkel, haha,,”

Semua diam. Sepi. Hanya bunyi mesin jahit. Tawa Ujang memuat kepedihan hidup. Kisah kesulitan ekonomi Ujang sungguh kontras dengan kasus korupsi bantuan sosial di Kemensos. Emang kebangetan!

Kembali pada kasus penyandang disabilitas tidak paham korona, itu tak hanya dialami oleh sebagian Tuli. Penyandang disabilitas intelektual juga mengalaminya.

Beberapa hari lalu, dalam kunjungan lapangan, Difpala menemukan kekerasan orangtua terhadap anaknya yang mengalami disabilitas intelektual. 

“Buang maskernya, jijik! Ayo buang itu bukan mainan, nanti kamu ketularan covid!” seorang ibu muda mengejar seorang anak berusia sekira 9 tahunan. Anak itu berlari sambil melepas masker yang ia pakai. Ia lalu terdesak dan berhenti di tembok gang.

Nampak ibunya mendekat, sambil berupaya merampas masker dan menjewer anaknya. “Sakit, sakit! teriak sang anak. Ia mempertahankan maskernya.

“Ini masker kotor. Ayo buang. Kapok nggak?” tanya si ibu sambil tetap menjewer. 

“Nggak!” jawab anak sambil meringis. 

“Kapok nggak?” si ibu kembali bertanya. 

“Nggak!” jawab sang anak keras. Sambil makin meringis sebab jeweran ibunya semakin kuat. 

Bertepatan saat itu Difpala sedang kunjungan dari rumah ke rumah. Melihat drama itu, Yayuk salah satu anggota Difpala mendekat. 

“Mbak-mbak, jangan gitu ya kasihan anaknya,” kata Yayuk. 

Si Ibu menoleh, sambil tangan tetap nempel di telinga anaknya.” Ini nggak kapok-kapok bu, sukanya pakai masker orang. Ditanya kapok nggak, jawabnya nggak! Selalu begitu setiap hari. 

“Coba saya yang tanya,” pinta Yayuk. “Adik nggak kapok?” 

“Kapok,” jawab anak singkat.

“Masker kotor buang!” kata Yayuk.  

Tanpa lagi menjawab sang anak pun membuang maskernya. 

“Buang tempat sampah,” kata Yayuk.

Tanpa omong lagi, sang anak memungut masker, membuangnya di tempat sampah, lalu kembali dan memeluk ibunya dari belakang. 

“Pinter ya,” puji Yayuk mengapresiasi. Sang anak malu-malu lalu berlari masuk rumah. 

“Oh…” gumam si Ibu. Ia seperti terinspirasi sesuatu. 

Nampak Yayuk dan Ibu sang anak ngobrol. Sementara sang anak berlari kembali masuk rumah. Berbicara dengan anak dengan disabilitas intelektual memang memerlukan kiat tersendiri. Gunakanlah bahasa yang segerhana. Jangan terlalu panjang omongannya. 

Nyatanya memang, anak-anak dengan disabilitas intelektual memerlukan teknis sosialisasi sesuai kebutuhan ragam disabilitasnya. Mereka memerlukan sosialisasi dengan bahasa yang sederhana yang disampaikan secara berulang dan berulang. Nah, hal ini yang belum pernah dilakukan oleh Satgas Covid. 

Untuk itulah Difpala melakukan sosialisasi sadar Covid dari rumah ke rumah penyandang disabilitas. Hal ini biasa dilakukan sambil menyalurkan paket bantuan pangan.  Memang langkah ini hanya menjangkau sedikit orang dibandingkan dengan jumlah anak-anak disabilitas yang jutaan di seluruh Indonesia. Namun setidaknya sudah ada inisatif dari kelompok disabilitas untuk mengadvokasi hak dan kebutuhan dirinya. 

Sementara itu penyebaran informasi tentang Covid-19 begitu cepat dan masif namun tak terkontrol. Grup-grup whatsapp dan media sosial lainnya dipenuhi hoax. Media massa dipenuhi oleh berita kematian. Ketakutan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. 

Kecuali di pelosok pedesaan. Orang-orang seperti tak menggubris covid. Sebagian besar warga dusun tak memakai masker. Seakan pikiran mereka tak terkontaminasi, seperti alam dan lingkungan mereka yang bersih. Di pelosok desa yang nampak menggunakan masker adalah perangkat desa, Babinsa dan Bhabinkamtibmas. 

Itupun terkesan karena bertugas saja. Mereka menggunakan masker di acara-acara resmi, sedangkan di kesempatan lainnya, masker-masker itu hanya nyangkut di dagu.

Lantas apa sebaiknya yang dilakukan?  LINKSOS mengambil jalan tengah yaitu taat pada protokol kesehatan seperti memakai masker dan hand sanitizer. Protokol diterapkan dalam kegiatan Omah Difabel maupun kegiatan lapangan.

Sementara Difpala menggiatkan anggotanya untuk mendaki gunung. Selama perjalanan menuju basecamp pendakian di kendaraan, melewati pemukiman, pedesaan dan lainnya, seluruh peserta wajib menggunakan masker. Namun ketika memulai  olahraga pendakian, masker boleh dilepas agar nafas longgar. 

Hingga pada suatu hari.. 

“Sehat ya mendaki terus, sayangnya Difpala nggak prokes,” kata kawan nakes atau tenaga kesehatan saat mengambil pesanan masker. “Harusnya saat mendaki gunung, tetap prokes, pakai masker!”

“Saya paham udara gunung itu bersih, tapi ya prokes itu wajib. Jangan abaikan himbauan Pemerintah,” tandasnya. 

“Oh gitu ya,” respon Ken. Ia tahu beberapa anggota Difpala yang saat itu ada di Omah Difabel nggak ada yang berani menyanggah. Khawatir dianggap tidak sopan. 

“Lha iya Pak Ken, pean itu jadi contohe, hehe..” jawab nakes. 

“Ok deh, gini saja. Ayo pean ikut naik gunung. Dari kaki gunung sampai puncak gunung nggak boleh lepas masker. Nah, kalau njenengan nggak ngab, nggak megap-megap, dan nggak semaput, waktu turun gunung pean tak gendong sampai rumah,” tawar Ken. 

“Halah! Nggak mau!” jawab nakes sambil tertawa. Ia seperti tersadar dari konsepnya yang tidak benar. 

Tekad Difpala

Pemulihan Ekonomi

Masih di Omah Difabel. 

“Kita masih kurang tenaga jahit pak!” kata Widi memecah kesunyian. 

“Oh ya mbak, nanti kita carikan tambahan tenaga. Kendala kita adalah teman-teman takut keluar rumah atau tidak diijinkan oleh keluarganya,” jawab Ujang sambil memotong kain.

Sementara itu, nampak di sebelah Ujang, Cakrahayu dan Karunia sedang mengemas masker.

“Oh ya, besok kawan-kawan mendaki ya? Aku sudah tak kuat jalan jauh, saya bagian menjahit saja,” ujar Ujang.

“Permintaan masker dan hazmat sangat banyak. Harganya pun mahal. Kita ambil peluang ini, namun dengan harga yang wajar. Kasihan masyarakat jika kemahalan,” imbuh Ujang prihatin.

“Ya pak. Tekad saja, kita berbagi peran. Saat ini kita sudah bekerjasama dengan 30 penjahit pak,” respon Widi. Masing-masing kerja dari rumah. Penjahit kita sebagian ada non disabilitas, lima orang. Mereka warga sekitar Omah Difabel. Sebelumnya mereka buruh di konveksi. Tapi konveksinya tutup, jadi ikut kerja di sini,” terang Widi. “Alhamdulillah, ada berkah di balik pandemi. Kita tetap bekerja.”

“Ini telor asin siap antar Bu, sudah saya susun,” kata Priyo menyela. Siap antar ke Puskesmas Lawang 50 butir. Ini total ada 300 butir.”

“Ya mas. Nanti jam 10 kita kirim ya, sekalian mampir ke warung-warung langganan kita.

“Assalamualaikum!” Terdengar suara dari pintu depan.

“Waalaikumsalam!”jawab Widi. Oh, Pak Nur Asrori, masuk pak!

Nur Ashrori masuk. Jalannya pelan. Agak tertatih. Dengan hati-hati ia duduk di kursi plastik warna oranye. Ken dan Nur Ashrori nampak bersalaman. Tampak Nur hanya menempelkan ujung jarinya saja. Takut ketempelan korona. Kawan-kawan disabilitas mengenal Nur Ashrori sebagai staf RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang. Ia salah satu pelopor Posyandu Disabilitas. 

“Pak Ken, besok dokter Yuniar kesini, pesan kopi bubuk lima bungkus ya. Tadi Bu Febry juga pesan, untuk masker jika sudah selesai segera kirim ke Jogjakarta,” ujar Nur Ashrori membuka percakapan.

“Baik pak. Nanti diproses. Njenengan mau ngopi pak?” respon Ken.

“Boleh, nggak usah pakai gula ya. Gula saya lagi naik. Kaki saya jadi bengkak gini. Saya merasakan jadi penyandang disabilitas. Jalan nggak bisa cepat. Kalau duduk mesti di kursi, sebab kalau duduk di bawah nanti sulit berdiri,” terang Nur Ashrori.

Selain Nur Ashrori, terdapat orang RSJ lainnya, yaitu dr Yuniar dan Bulan Febry yang kerap ke Omah Difabel. Mereka orang-orang baik yang memberikan perhatian terhadap pemulihan ekonomi penyandang disabilitas sejak awal pandemi. 

“Lima badan zakat di Kota Malang sudah saya hubungi. Tinggal tunggu waktu mereka kirim bantuan pangan sembako ke sini. Tolong nanti distribusikan ke kawan-kawan difabel ya,” sambungnya.

“Baik Pak. Untuk daerah Malang Utara dan Kota Malang sudah kami kirim pak. Khususnya untuk Kota Malang, kita terbantu oleh Relawan HGTT, ada Sam Wes dan kawan-kawan disana. Jadi paket sembako besok kita arahkan ke Malang Selatan,” jelas Ken.

“Oh ya pak, besok kita jadwal ke Gunung Wedon,” ujar Priyo mengingatkan.

“Iya mas. Sesuai kesepakatan kita rutin setiap hari Minggu kesana. Latihan. Sekaligus pemanasan, dua minggu lagi kita ke Gunung Butak,” respon Widi.

“Yo mas, aku nggak ikut ya,” respon Nur Asrori. Wes nggak kuat. Beda dengan jaman dulu, saat belum sakit. Ke Aceh pun saya berangkat. saya dulu relawan sosial tsunami Aceh,” kisah Nur. 

“Ok pak, kita berbagi peran saja. Ini biar yang muda-muda yang olahraga ke gunung, sambil kampanye kesehatan,” ujar Ken menanggapi. “Di masa pandemi ini banyak orang kehilangan akal sehat. Mereka takut mati lalu sembunyi. Ya nggak salah sih, namun dengan ketakutan yang berlebih justru menurunkan imunitas.” 

“Jadi meningkatkan imunitas dan meningkatkan adaptasi di masa pandemi itu lebih penting,” tandas Ken. “Sambil kita kampanye pak.  Agar semua orang, khususnya Pemerintah itu ingat, bahwa kita ada. Supaya segera ada perhatian dan prioritas bagi penyandang disabilitas.”

“Iya pak Ken, tetangga saya sudah dapat paket sembako dua kali. Lha saya kok keliwatan,” ujar Ujang menyela. “Yang pasti dapat itu adalah saudara dan teman-temannya RT RW.”

“Walah, sembako tok pak sampeyan iku. Lha kan dari LINKSOS sudah dapat,” respon Widi sambil bercanda.

“Persoalannya bukan sembako sebenarnya. Tapi keadilan. Sampai kapan disabilitas jadi korban ketidakadilan?” ujar Ujang.

“Bahkan sebenarnya kesulitan macam pandemi ini bagi kami disabilitas sudah biasa. Karena sejak dulu kami sudah di-lockdown oleh keadaan, hehe..” terang Ujang tertawa.

“Advokasi yang efektif itu melalui Posyandu Disabilitas,” tanggap Nur Asrori. “Di dalam Posyandu Disabilitas itu ada Pemerintah Desa dan Puskesmas. Kerjasamanya, penyandang disabilitas yang telah didata sebagai peserta Posyandu Disabilitas, datanya menjadi masukan pemerintah desa sebagai penerima manfaat program-program sosial,’ jelas Nur Ashrori. 

“Soal bantuan pangan, sudahlah, saat ini kita jangan berharap bantuan. Sebab dari data disabilitas yang tersedia, baik di pemerintah desa, dinas sosial, BPS dan lainnya masih belum sinkron. Jadi langkah kita di masa sulit ini kita harus membantu orang lain, sekaligus memenuhi kebutuhan diri. Saya bagian lobi-lobi ke badan zakat, kalian yang menyalurkan,” pungkas Nur Ashrori.

 

Tekad Difpala

Pro Kontra Posyandu Disabilitas

Pertemuan di sebuah kantor desa membahas pengembangan Posyandu Disabilitas.

“Kami hadir di sini atas permintaan Ibu Sis untuk menfasilitasi adanya Posyandu Disabilitas,” ujar Ken membuka diskusi. Ia didampingi Nur Ashrori, Widi Sugiarti dan Priyo Utomo. Nampak dalam pertemuan tersebut, perangkat desa, Bhabinsa, Babinkamtibmas, tokoh masyarakat dan perwakilan organisasi disabilitas.

“Kami sangat senang, bisa mengembangkan Posyandu Disabilitas di beberapa desa. Pertama kali Posyandu Disabilitas telah kami kembangkan di Desa Bedali, Kecamatan Lawang. Dan hari ini Posyandu Disabilitas akan hadir di desa ini,” lanjut Ken. 

“Meski saat ini masih pandemi, dan mungkin ada pembatasan untuk kegiatan Posyandu Disabilitas, setidaknya posyandu tersebut bisa menjadi wadah koordinasi dan advokasi hak penyandang disabilitas,” terang Ken.

“Kami sepakat,”ujar seorang perempuan disabilitas fisik. Ia akrab disapa sebagai Ibu Sis.

“Jujur, ini adalah impian saya sejak muda, bahwa penyandang disabilitas mendapatkan kepastian layanan kesehatan,” ungkapnya. “Dan bertepatan, dulu almarhum orangtua saya adalah mantri kesehatan. Beliau suka menolong orang-orang desa, kalau berobat nggak bayar. Jadi saat ini perjuangan sosial itu saya lanjutkan.”

“Mohon ijin menanggapi,” sela seseorang. “Menurut saya, Posyandu Disabilitas itu bertentangan dengan gerakan inklusi. Mengapa orang-orang disabilitas harus dikelompokkan dalam pengobatan? Saya sebagai seorang penyandang disabilitas tidak mau datang ke Posyandu Disabilitas.”

“Ya benar, untuk apa Posyandu Disabilitas? Maaf ya, kami tidak butuh. Lurah dan Camat selama ini juga sudah sangat peduli. Kami sering dapat bantuan sosial,” kata seorang ketua organisasi penyandang disabilitas. Saya pikir anggota-anggota saya juga tidak saya sarankan untuk ke Posyandu.”

“Ya sih, bikin repot saja, tambah pekerjaan,” gumam seorang perangkat desa. Sayangnya, gumaman itu terlalu keras, sehingga beberapa orang menoleh. Salah tingkah, perangkat desa itu lalu pura-pura main handphone.

Suasana hening sejenak.

“Sa-saya sebagai penyandang disabilitas ijin me-menanggapi,” kata Priyo memecah keheningan. Suaranya khas, agak gagap dalam situasi tertentu.

“Posyandu itu b-baik. Ada terapi gratis dan pe-pelatihan keterampilan,” sambungnya.

“Lha iyo to mas, sampeyan itu kan pengurus LINKSOS, ya pasti bilang begitu. Kalau nggak, ya nggak bayaran sampeyan,” respon seseorang sambil tertawa.

Beberapa peserta lain nampak ikut tertawa.

“Saya pikir jika Posyandu Disabilitas itu bertentangan dengan gerakan inklusi adalah tidak tepat,” sanggah Nur Ashrori. “Yang namanya inklusif itu bukan selalu bersama-sama dalam setiap hal. Penyandang Disabilitas itu memiliki kebutuhan dasar kesehatan yang berbeda. Maka bentuk pelayanan juga harus beda.”

“Contohnya orang dengan gangguan jiwa yang memerlukan Rumah Sakit Jiwa,” tandas Nur. 

Semua diam. 

“Mohon ijin bapak ibu,” kata seorang tentara menengahi. Ia dikenal sebagai anggota Koramil yang peduli kepada penyandang disabilitas.

“Sebagai aparat negara tentu saya mendukung adanya semua hal baik, termasuk Posyandu Disabilitas. Selama ini jika ada disabilitas sakit banyak dibiarkan oleh keluarganya. Alasannya repot, ngga punya biaya dan sebagainya. Harapannya dengan adanya Posyandu Disabilitas, nasib anak-anak kita akan menjadi lebih baik.”

“Ya betul! Setuju! Setuju!” sahut beberapa peserta rapat.

Klunting! Handphone Ken berbunyi. Sementara anggota Koramil itu berbicara, Ken diam-diam membuka pesan whatsapp.

Rupanya dari Sunarman Sukamto, staf ahli madya Kantor Staf Presiden (KSP) RI. Ia mengomentari status whatsapp Ken: “Lanjutkan Mas Ken, saya dukung penuh langkah afirmatif Posyandu Disabilitas!”

Ken senang. Ia merasa mendapat energi baru. Sunarman Sukamto adalah seorang penyandang disabilitas fisik pengguna kursi roda. Meski bekerja di Kantor Staf Presiaden, Sunarman masih aktif membantu gerakan advokasi organisasi-organisasi disabilitas.

Tekad anak-anak Difpala mengembangkan Posyandu Disabilitas adalah untuk memastikan hak kesehatan penyandang disabilitas. Difpala juga menyakini, bahwa Posyandu Disabilitas merupakan wadah yang efetif untuk melindungi penyandang disabilitas di masa pandemi, maupun masa sesudahnya nanti. 

Nyatanya, selama pendakian di beberapa gunung, Difpala menyaksikan betapa anak-anak disabilitas di sekitar kaki gunung tak pernah mendapatkan terapi apapun. Bahkan di antara mereka ada yang disembunyikan di dalam rumah. Bagi sebagian orang memiliki anak disabilitas adalah aib. 

Demikian pula orang-orang tua yang mengalami stroke. Semakin lama mereka semakin parah. Mereka terkendala biaya pengobatan, baik dari ongkos obat maupun biaya transportasi.  Regulasi mengatur bahwa layanan kesehatan spesialistik hanya ada di fasilitas kesehatan tingkat dua. Itupun di rumah sakit tipe tertentu. Sedangkan terapi bagi mereka harus dilakukan rutin setiap hari. 

Kan ada BPJS Penerima Bantuan Iuran atau PBI? Kerap kali orang memberikan informasi itu. Namun rupanya praktik tak semudah teori. Tidak mudah mengurus BPJS PBI. Salah satunya sebab adalah terkait cara pandang dinas sosial terhadap kemiskinan. 

Ada contoh kasus, seorang anak disabilitas tinggal bersama orang tuanya. Saat dinas sosial melakukan verifikasi, anak itu dianggap tidak layak mendapatkan bantuan sebab dianggap berasal dari keluarga mampu. Padahal realitasnya, keluarga disabilitas itu tinggal di rumah warisan dan tidak memiliki pekerjaan tetap. 

Posyandu Disabilitas pertama kali dibentuk di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang melalui rapat yang digelar oleh Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Rapat bertajuk sarasehan desa inklusi itu merupakan sebuah proyek pembangunan inklusi yang didanai oleh NLR. Muspika Lawang, Pemerintah Desa Bedali, LINKSOS, Puskesmas Lawang, RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat dan lintas sektor yang hadir sepakat adanya layanan kesehatan berbasis kebutuhan ragam disabilitas yaitu Posyandu Disabilitas. 

Meski keberadaan Posyandu Disabilitas mengalami penolakan oleh segelintir orang, dalam perkembangannya model layanan kesehatan ini kemudian diterapkan oleh daerah-daerah lainnya, di antaranya Kota Malang, Semarang, Madiun, hingga Kepulauan Riau. 

Tekad Difpala

Surat Keterangan Sehat

Di sebuah Puskesmas. Erik Wahyudi, anggota Difpala mengurus surat keterangan sehat untuk keperluan syarat mendaki Gunung Butak. Erik seorang penyandang disabilitas netra.

“Pak, saya mau minta surat keterangan sehat,” kata Erik. Ia diantar oleh bapaknya.

Laki-laki pengantar Erik, nampak dari rambutnya yang sudah memutih semuanya dan postur tubuhnya, mungkin usianya telah mencapai lebih dari 60 tahun.

“Ya pak, silahkan duduk,” jawab seorang pria, tenaga kesehatan (nakes) Puskesmas.

“Keterangan sehat untuk keperluan apa pak?” tanya nakes.

“Untuk syarat naik gunung pak,” jawab Erik.

“Wah, gunung apa? Kapan?” tanya Nakes. Dari nada pertanyaannya, seakan ia tak percaya.

“Ke Gunung Butak pak, Minggu depan,” jawab Erik singkat.

Nampak nakes itu berbisik-bisik dengan nakes lainnya. Entah apa yang mereka bicarakan.

Tak lama kemudian.

“Maaf pak ya, tidak bisa. Kami tidak bisa memberikan surat keterangan sehat,” kata nakes.

“Lho, saya kan belum diperiksa, kok sudah memutuskan saya tidak bisa mendapatkan keterangan sehat?” tanya Erik dengan nada meninggi. Laki-laki kurus tinggi ini mulai emosi.

“Karena sampeyan tuna netra, mana mungkin bisa mendaki gunung, lagi pula berbahaya pak,” jawab nakes.

“Wah, tidak bisa begitu pak. Artinya bapak meremehkan saya. Ayo, saya tantang bapak naik gunung!” kata Erik sambil berdiri. Ia naik pitam.

“Loh, bukan meremehkan pak, ini kenyataan,” jawab Nakes seakan tak bersalah. Namun nakes itu nampak waspada. Ia mengubah posisi duduknya agak menjauh dari meja pelayanan. “Lagi pula ini pandemi pak, harusnya di rumah saja,” ujar nakes menambah panjang daftar alasan.

“Sudah pak, nggak usah nyocot! Sampeyan sudah diskriminasi terhadap saya. Sampayen bisa saya tuntut,” teriak Erik sambil menggebrak meja.

Perang mulut pun terjadi.

“Hai, bapak yang sopan, ini Puskesmas!” teriak Nakes itu sambil berdiri. Nampak nakes-nakes lainnya pun mendekat. Mereka ingin tahu ada masalah apa. Mendekat pula seorang laki-laki berkalung stestoskop. Nampaknya ia dokter.

“Sudah nak ayo pulang,” pinta bapaknya Erik. Lelaki tua itu gemetaran. Namun Erik tak bergeming. Ia tegak berdiri sambil memegang tongkat netranya. Tatapannya lurus kedepan, meski ia tak melihat.

“Maaf mas, sabar ya. Kami mohon maaf, begini saja, kami tak keberatan memberikan surat keterangan sehat, namun terlebih dahulu bapak periksa ke dokter mata, nanti hasilnya bisa jadi rujukan kami memberikan surat keterangan sehat,” saran seseorang berkalung stestoskop.

“Tolong pak, pakai otak ya. Sudah jelas saya orang buta, mengapa harus ke dokter mata?!” tanya Erik dengan nada meninggi.

“Sudah, bilang saja kalau nggak mau kasih surat keterangan sehat! Nggak usah banyak omong!” seru Erik.

“Ayo buktikan, siapa yang disabilitas, saya atau kalian, saya tantang semua orang di sini untuk mendaki gunung,” teriak Erik tak terkontrol.

Bapaknya yang sepuh pun gemetaran. Dengan sekuat tenaga ia menarik anaknya yang buta itu keluar ruangan. Erik agak terseret oleh bapaknya.

Erik dan bapaknya meninggalkan Puskesmas itu tanpa surat keterangan sehat. Erik justru membawa pulang kekesalan yang mendalam. 

Tekad Difpala

Stigma Pendaki Perempuan

“Ati-ati loh, kamu itu perempuan. Terus kamu mau naik gunung itu perlunya apa?” tanya seorang perempuan tua kepada anaknya. “Apalagi kamu sekarang sudah nggak bisa melihat!”

Anaknya bernama Elin, anggota Difpala. Elin mengalami hambatan pengelihatan total, tak bisa melihat apapun kecuali dengan mata batinnya.

“Terus di gunung nanti mau apa? Apalagi kamu itu pengantin baru. Lebih baik fokus saja di rumah, biar cepat punya anak,” sambung sang Ibu. “Keselamatanmu itu loh dipikirkan!” tandasnya.

Elin yang sejak tadi diam pun mulai menjawab. “Saya itu ingin naik gunung sejak jaman belum buta dulu. Waktu mata ini masih awas. Hingga sekarang jadi disabilitas netra, tetap nggak boleh naik gunung.

“Lha mamas itu boleh, naik gunung sampai kemana-mana,” protes Elin. Ia iri dengan kakak lelakinya.

“Ya kan wong lanang. Kamu itu perempuan nggak usah neko-neko. Apalagi sekarang sudah bersuami. Tanya dulu ke suamimu, boleh apa tidak!” kata Ibunya.

“Mas Kholil, bulan ini aku ulang tahun, pokoke hadiahnya naik gunung,” kata Elin setengah merajuk. Kholil adalah suami Elin. Keduanya belum lama bergabung di Difpala. Beberapa kali sudah berlatih di Gunung Wedon.

Bulan ini jadwal Difpala mendaki di Gunung Butak. Menurut informasi pemandu, Agung Tyo, pemandangan di Gunung Butak itu komplit. Ada hutan pinus, hutan lumut, tantangan meniti tepi jurang, savana hingga pendakian tebing batu.

Elin sudah sangat terobsesi, hingga ia mencari tahu tentang Gunung Butak melalui internet. Ia sadar tak bisa lagi melihat, namun pengalaman pertama mendaki di Gunung Wedon membuat ia ketagihan. Para kader pendamping sangat sabar memandunya. Selain itu para pendamping juga tak keberatan menceritakan situasi gunung, sejak dari basecamp hingga ke puncak gunung.

Mendaki gunung bersama Difpala membuat ia seperti merasa bisa melihat lagi. Terlebih sejak masih lajang dan masih belum buta, Elin sudah berkeinginan mendaki gunung. Ya, Elin mengalami kebutaan sejak sekira 10 tahun lalu akibat gloukoma.

“Pokoke hadiahe naik gunung, dengar mas Kholil?” tanya Elin mengulangi pertanyaan.

“Yooo,” jawab Kholil singkat namun memanjang.

“Kok seperti nggak ikhlas,” respon Elin.

“Iyo, boleh,” jawab Kholil.

Terdengar langkah Ibunya Elin dari dalam kamar menuju ruang depan.

“Iyo piye maksudnya?” tanya orangtua Elin.

“Ya boleh naik gunung Bu,” jawab Kholil.

“Lha terus yang menjaga siapa?” tanya orangtua Elin.

“Ya saya bu,” jawab Kholil tenang.

“Lha podo-podo nggak ketoke, sama-sama nggak bisa melihat, mau jadi apa nanti di gunung?” tanya orangtua Elin dengan nada meninggi.

“Saya low vision bu,” jawab Kholil.

“Lopisen iku apa maksude? Wes talah ojok aneh-aneh. Terserah ya, yang penting sudah saya ingatkan,” ujar orangtua Elin. Seperti tak ingin mendengarkan penjelasan anaknya, perempuan tua itu masuk kamar tidur.

Sementara itu di tempat lainnya. Sumiati perempuan Tuli, mengalami persoalan senada dengan Elin. Bedanya, Sumiati berurusan dengan orangtua angkatnya.

“Pikirkan dulu kalau mau ke gunung Butak. Itu tinggi loh, juga lama perjalanan, delapan jam,” ujar ibunya. “Ingat usia juga, tulang-tulang mungkin sudah nggak sekuat dulu. Apalagi perempuan, banyak resikonya.”

“Iya Sum, katanya dulu kamu kapok ya, pas naik Gunung Semeru. Kawan-kawanmu jalan cepat,kamu kewalahan. Terus pulangnya kamu nangis,” imbuh bapaknya.

“Betul mbak Sum, nanti kamu sakit loh, apalagi ini pandemi,” ujar adiknya.

“Nggak apa-apa. Dulu Sum nangis takut tinggi. Sekarang nggak,” jawab Sumiati singkat dan jelas. Ia perempuan Tuli yang terbiasa berbicara dengan suara. Lingkungan yang mendorong ia untuk belajar berbicara. Namun Sumiati sangat fleksibel, saat berkumpul dalam komunitas Tuli, ia totalitas berbahasa isyarat.

“Sekarang mendaki sama Difpala, orang-orang baik, tidak ditinggal. Tetap mendaki, nggak apa-apa,” ujar Sumiati.

Tak ada lagi pembicaraan.

Penyandang disabilitas mendaki gunung mendapat ijin dari keluarganya memerlukan upaya tersendiri. Demikian pula proses orangtua memberikan ijin terhadap anaknya yang disabilitas untuk mendaki gunung. Keduanya memerlukan proses yang tidak mudah. 

Terlebih penyandang disabilitas perempuan. Jangankan mendaki gunung yang beresiko tinggi, dalam kehidupan sehari-hari pun, dalam beberapa kasus perempuan disabilitas tidak dipercaya sepenuhnya. Bahkan Elin, tidak diijinkan mendaki gunung sejak ia masih belum mengalami kebutaan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas mendapatkan stigma ganda dan berlapis. 

Tekad Difpala

Gunung Angker

Pengurus Difpala mengetahui persoalan Erik melalui telpon. Erik diminta menceritakan masalahnya secara langsung ke pengurus. Sekaligus rapat koordinasi kegiatan di Gunung Wedon.

Erik datang pagi-pagi bersama bapaknya. Dari tempat tinggalnya, ia diantar bapaknya naik sepeda motor. Usai subuh mereka berangkat agar tidak kesiangan.

Jarak kediaman Erik ke Omah Difabel sekira 26 Km, atau memerlukan waktu sekira 45 menit bersepeda motor. Sampai Omah Difabel, bapak Erik langsung pamit pulang.

Perjalanan menuju Gunung Wedon, dimulai dari Omah Difabel. Anak-anak Difpala saling berboncengan menuju parkiran Gunung Wedon. Dengan cara dan kebiasaan mereka. Yang tuli berboncengan dengan yang netra, yang disabilitas fisik dengan sepeda motor roda tiga berboncengan dengan pendamping pendaki.

Atau pendamping membonceng penyandang disabilitas. Beberapa orang bahkan ada yang naik angkot. Yang penting sampai tujuan dengan selamat.

Lokasi parkir di salah satu rumah warga. Namanya Pak Rokim. Rumahnya kami kasih tanda banner bertuliskan Posko Pendakian Gunung Wedon. Dari rumah Pak Rokim, kami berjalan kaki sekira 10 menit menuju kaki Gunung Wedon. Seperti biasa, kami sebentar singgah ke rumah Pak Arifin. Mampir saja, tidak masuk rumah. Ia seorang Kepala Dusun.

“Mau naik ya?” tanya Pak Kasun basa-basi, sebab ia pasti sudah tahu tujuan Difpala.

“Hati-hati ya, gunungnya angker, saya saja nggak mau kesana,” ucapnya lirih. Kecuali dulu pas jaman bocah, hanya main ke lerengnya untuk mencari buah juwet.

“Yo wes, tenang ae. Pokok Bismilah,” jawab Ken. Ia yang dituakan di kelompok Difpala.

“Kabarnya juga ada tanah gatel, tapi nggak tahu sebelah mana. Orang yang apes lewat tanah itu bisa kena gatal-gatal sampai mati, ” imbuh Pak Kasun. “Apa itu kusta ya? Saya tidak tahu. Yang penting ati-ati saja.”

Kali ini pak Kasun tak lagi berkata lirih, seakan memberi warning pada seluruh anggota Difpala. Anak-anak Difpala yang mendengar itu hanya menoleh. Terutama Darojat, ia anggota Difpala dari Pasuruan. Darojat nampak tidak nyaman, ia adalah orang yang pernah mengalami kusta atau OYPMK. 

Dalam keanggotaan Difpala, orang yang pernah mengalami kusta tak hanya Darojat. Difpala memang memberikan ruang bagi kampanye hapus stigma bagi penyakit yang terabaikan ini. Meski demikian, bagi Darojat dan mungkin OYPMK lainnya. ketika mendengar stigmatisasi terhadap kusta masih membuat suasana hatinya terganggu. Awal mula Darojat bergabung dalam Difpala adalah efek kerjasama LINKSOS dengan Puskesmas Nguling Kabupaten Pasuruan. 

Anak-anak Difpala kemudian berjalan teratur meninggalkan pekarangan rumah Pak Kasun menuju Gunung Wedon. Mereka melewati beberapa rumah penduduk, juga melewati kebun-kebun warga.

“Rombongan spiritual, dukun!” ujar seorang warga dari halaman rumahnya. Seperti tak sengaja, maunya berbisik kepada orang di sebelahnya, namun terlalu keras.

Ken, sang Ketua pun menoleh. “Monggo pak, numpang lewat,” sapanya tenang.

“I-i-iya pak, monggo,” jawabnya gugup.

“Kuapok kon! Ngomong sembarangan! Wonge krungu iku mau! ujar seorang perempuan. Terdengar dari jauh, perempuan itu mengomel. Mungkin ia istrinya.

Ken, laki-laki yang tenang. Badannya tinggi tegap. Ia menggunakan udeng atau ikat kepala. Bagi yang memahami budaya, akan menilai Ken sebagai seorang pelestari. Namun bagi yang tidak paham, melihat sosok Ken sebagai seorang dukun. Apalagi Ken berkalung taring babi sepanjang 13 cm.

Gunung Wedon, sebagian orang mengartikan sebagai gunung hantu. Wedon atau medon artinya hantu. Tak hanya isu tanah gatal seperti yang disampaikan pak Kepala Dusun, melainkan beredar pula isu adanya pocong, genderuwo, ular besar, pusaka dan lainnya. Namun isu angker Gunung Wedon tak pernah menyurutkan tekad Difpala.

Dan terlepas dari isu angker Gunung Wedon, berdasarkan beberapa literasi, terdapat pula informasi bahwa Gunung Wedon merupakan tempat suci. Sejarahnya kawasan Gunung Wedon adalah gerbang Kerajaan Singosari yang disebut Wedhawawedan, yang kemudian disebut Wedon. Disebut dalam kitab Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca, pada masa keemasan Majapahit, Hayam Wuruk bermalam dan melaksanakan persembahyangan sebelum mengunjungi tempat-tempat suci lainnya.

Tekad Difpala

Konsistensi Difabel dan Pendamping Pendakian

“Jalan lurus ya, awas sebelah kanan jurang, mepet ke kiri saja, merapat di tebing.” Terdengar suara perempuan memandu jalannya pendaki netra. Namanya Fuji Rahayu alias Yayuk. Perempuan lansia berumur 64 tahun. Ia anggota Difpala paling sepuh di antara pendaki lainnya.

Selain Fuji Rahayu, ada Widi Sugiarti dan Sri Ekowati. Ketiga perempuan tersebut adalah anggota PKK Desa yang terpanggil untuk menjadi pendamping khusus difabel pendaki gunung. Mereka juga tim inti Posyandu Disabilitas. Rasanya tekad mereka tak lagi bisa diukur.

“Hati-hati ya nak, di depanmu itu ada batu besar, coba kamu pegang dulu, biar tahu seberapa besarnya. Nah, sekarang kaki kananmu diangkat dulu ya..” Suara Sri Ekowati. Sekilas nampak seperti emak-emak rempong. Namun tanpa arahan detil semacam itu, perempuan netra yang ia dampingi, Elin bisa celaka.

“Mbak Sumiati, hati-hati jalan licin, pegangan rumput ya,” ujar Widi. Suaranya tidak keras, namun mimik muka, dan gerak mulutnya sangat jelas, disertai gerak tangan. Tujuannya agar perempuan Tuli yang ia dampingi bisa paham pesan yang ia sampaikan.

“Ok,” jawab Sumiati menggunakan bahasa isyarat.

Sementara itu, Priyo Utomo dengan hati-hati berjalan meniti jalan setapak yang makin menanjak. Ia seorang disabilitas fisik. Priyo sangat mengandalkan kekuatan kaki kiri dan tangan kiri. Sementara tangan kanan dan kaki kanannya sebagai penyeimbang saja. Tangan kanannya kaku. Sama juga kaki kanannya, kaku. Jika berjalan ia terpincang-pincang. Tekad Priyo begitu besar untuk menyelesaikan setiap pendakian.

“Ati-ati mas yo, kalau sulit bisa pegangan saya,” ujar Cakra menawarkan diri. Ia pendamping pendakian termuda. Usianya baru menginjak 18 tahun.

Difabel pencinta alam (Difpala) merupakan tim yang inklusif. Anggota Difpala tak hanya penyandang disabilitas, melainkan juga orang-orang non disabilitas. Mereka satu kesatuan. Satu paket.

Keberadaan para pendamping di Difpala sangat penting. Dan hanya orang-orang sabar dan konsisten yang bertahan dalam tim. Mendaki gunung bersama banyak difabel bukan perkara mudah. Tekad Difpala bersemanyam dalam jiwa mereka.

Namun uniknya, sebagai pendamping tak harus non disabilitas. Penyandang disabilitas yang berkompeten pun bisa jadi pendamping. Salah satunya bernama Heru Iswanto. Ia seorang laki-laki Tuli. Tubuhnya tinggi tegap.

Heru tergolong pendiam, bukan sebab ia Tuli. Melainkan karakternya. Ia berpengalaman mendaki belasan gunung. Dari gunung Semeru, Gunung Arjuno dan gunung-gunung tinggi lainnya di Pulau Jawa, hingga gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat.

Di setiap pendakian gunung bersama Difpala, ia lebih sering memposisikan diri di barisan paling belakang bersama Ken. Seolah ia ingin memastikan tak seorangpun yang tertinggal dalam barisan pendakian.

Sementara itu, Agung Tyo memilih berada di posisi paling depan. Ia bertugas memandu perjalanan dan memastikan jalur aman untuk dilalui.

Difabel Pecinta Alam kemudian mampu mendaki belasan gunung di wilayah Jawa Timur. Gunung-gunung tersebut di antaranya Arjuno, Wedon, Budug Asu, Kawi, Butak, Paderman, Lorokan, Bukit Jabal, Penanggungan, Banyak, Bukit Srigading, dan beberapa lainnya. 

Keberhasilan Difpala ini selain tak lepas dari peran para pendamping pendakian, juga konsistensi mereka atas cara pandang, bahwa pendakian itu bukan soal disabilitas ataupun non disabilitas, melainkan soal kemampuan fisik, mental dan logistik. Kemampuan-kemampuan itu pun tumbuh kembang dari pelatihan rutin dan konsistensi diri terhadap tujuan Difpala. 

difpala bhandagiri

Belajar Bersikap

Suasana puncak Gunung Wedon, siang itu sebagian panas, sebagian lainnya rindang oleh pohon bambu. Anak-anak Difpala beristirahat di lokasi yang teduh.

Ada pula sebuah batu besar ceper disitu. Konon kabarnya dulu pernah ada orang bertapa di bati tersebut. Ada bekas dupa di atas batu itu, sepertinya beberapa hari lalu ada orang ritual. Batu ceper itu dipagari potongan bambu setinggi satu meter.

“Jadi bagaimana Pak Ken orang-orang Puskesmas itu?” ujar Erik membuka percakapan. “Orang-orang itu sudah diskriminasi.” Erik duduk di atas tanah tanpa alas.

“Baik, ada masukan dari teman-teman?” ujar Ken menawarkan.

“Ada pak Ken, ini terkait kesadaran disabilitas bagi tenaga kesehatan Puskesmas. Mereka bersikap seperti itu sebab tidak paham bahwa difabel dari sisi sosial bisa sama berkemampuan seperti warga masyarakat lainnya,” kata Widi. “Jadi langkahnya kita buat surat protes.” 

“Tak hanya itu, ini juga ada persoalan disabilitas di masa pandemi,” sambung Widi. “Tak ada edukasi pandemi untuk disabilitas. Padahal kawan-kawan Tuli, juga anak-anak disabilitas intelektual memerlukan teknik khusus agar paham apa itu Covid. Hingga saat ini juga belum ada giliran vaksinasi bagi penyandang disabilitas,” ungkap Widi.

“Posyandu Disabilitas juga macet,” celetuk Yayuk. “Padahal saya lihat posyandu balita dan posyandu lansia sesekali masih ada kegiatan. Lha kita ini, blas! Nggak ada perhatian!”

Lha iya, itu namanya pilih kasih!” sambung Sri Ekowati.

“Pancen jancuk!” seru Erik.

Jancuk dalam bahasa di daerah Malang atau Surabaya adalah mencakup ungkapan kesal, senang, lucu maupun keakraban. Sehingga maknanya relatif. Namun di luar Malang dan Surabaya, jancuk bisa dimaknai sebagai makian yang kasar. 

“Ayo Pak Ken, kita putuskan langkah kita apa? Apa ini bisa dituntut? Lalu menuntutnya kemana? Apa bisa? Mereka itu kan Pemerintah,” ujar Erik sambil berdiri dan melipat tongkat netranya.

Erik seperti menatap jauh, meski ia tak melihat.

“Diskriminasi harus dihentikan,” teriaknya sambil membanting tongkatnya. Kontan, tongkat itu mental dan menggelinding ke bawah.

“Waduh, mana tongkatku tadi,” kata Erik sambil jongkok dan meraba-raba tanah.

Ha..ha.. ! Anak-anak Difpala lainnya tertawa. Suasana tegang seketika mencair.

“Makanya jangan emosian,” ujar Yayuk.

Nampak Heru, pemuda Tuli, dengan sigap turun ke bawah. Ia mengambil tongkat untuk Erik.

“Lah bagaimana, pancen jiancik! Saya emosi kalau ingat diskriminasi surat kesehatan. Ditambah lagi dengar cerita teman-teman soal Posyandu Disabilitas,” kata Erik, nadanya sudah tak lagi tinggi. Ia juga tak lagi bilang jancuk, melainkan jiancik. Adalah kata jancuk yang diperhalus.

“Maaf pak, usul,” terdengar suara Priyo menyela.

Semua menoleh ke Priyo. Termasuk teman Tuli, Heru dan Sumiati. Nampak Priyo mempersiapkan bicara sambil mengelap tangannya yang basah berkeringat pada bajunya. Ya, dalam situasi tertentu, Priyo punya kecenderungan gugup dalam berbicara. Selain itu ia juga tremor atau gemetaran. Telapak tangannya juga sering kali basah oleh keringat.

“Ki-ki-ta jangan e-emosi pak, sa-sabar dulu. Ka-ka-lau menurut saya, untuk Posyandu Disabilitas, ki-kita datangi saja Kepala Desa. Ki-kita usul baik-baik, supaya Pos-yandu jalan kembali,” ujar Priyo.

“Pos-posyandu Disabilitas harus dipertahankan. Setidaknya harus tetap ada setelah pandemi. Ini harapan. Ini tekad!”

“Seumur hidup, dokter terapi disabilitas ada di desa dan gratis itu di Posyandu Disabilitas. Ini pertama di Indonesia!” tandas Priyo.

Semua terdiam. Sekira 5 detik. Seakan menelaah ucapan Priyo.

“Ada setan lewat, awas jangan melamun nanti kesurupan,” celetuk Ekowati. Semua tertawa.

“Mbak Sumiati, Mas Heru apakah ada usul?” Widi berkata dan menghadap kedua teman Tuli itu. Lalu berbicara dengan isyarat. Widi menerangkan situasi yang terjadi.

“Ok terimakasih,” jawab Sumiati. “Sebaiknya kita bertemu Kepala Desa dan Puskesmas, omong soal Posyandu Disabilitas. Kita juga omong soal vaksin. Kapan untuk disabilitas? Ini harus advokasi!”

Sumiati berusaha berbicara dengan suara. Nadanya terdengar tegas. Meski ia tuli dan kesulitan berbicara. Ia ingin kawan-kawan paham maksudnya.

“Ya, setuju!” sahut Erik.
“Setuju! Setuju! Ayo wes ladub! Tekad!” sahut yang lain.

“Sebentar, satu pertanyaan dari saya,” kata Darojat.

“Apa mas? Yuk cepetan, kita sudah mau turun ini,” tanya Kholil. Ia salah satu pendaki netra.

“Saya adalah Anggota Difpala yang pernah mengalami kusta, apakah masih diterima di kelompok ini?” tanya Darojat. Dari nada bicaranya ia nampak ragu. Rupaya kata-kata Kepala Dusun tentang tanah gatel dan kusta masih melekat di benaknya. 

“Walah! Sampayen itu telat kalau ngomong, lha kita sudah sering makan bareng dan nge-camp! Ha..ha.. Pak Ken juga sudah sering bilang bahwa kusta itu bisa sembuh total. Kusta juga paling sulit menular. Apalagi jika sudah minum obat, ia tak kan menular,” jawab Kholil ringan.

“Jian, kesuwen, bolak-balik dibahas. Ayo wes kita turun. Hapus stigma kusta!” teriak Erik.

“Siappppp!” sambut anggota Difpala lainnya.

Tekad Difpala

Salah paham

Waktu menunjukkan pukul 14.00. Anak-anak Difpala sepakat turun dari Gunung Wedon.

“Tunggu mas!” Terdengar suara agak keras. Nampak lima orang laki-laki. Rupanya warga dusun sekitar Gunung Wedon. Tiga orang bertopi dan satu orang berkopyah putih. Satu orang berikutnya tanpa topi, penampilannya paling rapi.

“Lagi giat apa mas?” tanya si pria rapi.

“Biasa pak, olahraga mendaki, merawat puncak, sambil cek tanaman penghijauan. Apakah hidup atau mati,” jawab Ken.

“Oh, begitu ya. Saya dengar-dengar kelompok disabilitas mau buat ekowisata ya? Saya dengar dari Pak Kasun,” kata si pria rapi.

Lanjutnya, “Sekedar kalian tahu ya, sudah sejak lama, lamaaaaa sekali, kami itu sudah berpikir, bahwa Gunung Wedon ini akan kami kelola sebagai obyek wisata.”

“Jadi ya, mohon biarlah warga dusun ini yang mengelola gunung ini. Apalagi gunung ini masuk di wilayah desa kami. Sementara kalian semua adalah orang-orang luar. Sampai di sini semoga paham. Maaf. Tapi silahkan saja tetap kegiatan disini, kalau hanya sekedar mendaki gunung,” ujarnya sambil tersenyum.

Anak-anak Difpala belum menjawab. 

“Oh ya ini apa maksudnya? Batu kok dipagari? Lha ini ada bekas dupa. Barusan ritual ya pak?” tanya si kopyah putih menyela. “Ini namanya musrik pak, menyuburkan kemusrikan!” lanjutnya sambil menggoyang-goyang pagar.

Para anggota Difpala terdiam. Seakan tak menyangka mendapat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun semua mata tertuju kepada Ken, sebagai yang dituakan di Difpala.

“Maaf pak,” ujar Ken menyela. “Kami kesini untuk pengijauan. Kalau warga desa mau buat wisata, seperti pernah juga Pak Kasun sampaikan ke saya, pasti kami bantu. Kami tak minat dan tak ada niat. Yang penting gunung ini hijau kembali dan lestari. Itu tujuan kami.”

“Selanjutnya, soal batu dipagari itu adalah pekerjaan kawan-kawan Pelestari Purbakala dan Budaya Indonesia atau PPBI. Kami tidak menyuburkan kemusrikan. Dupa-dupa itu juga sudah ada sejak lama.”

“Heh,” terdengar suara kecil tanda tak percaya atau mungkin meremehkan. Sementara tangannya masih menggoyang-goyang pagar bambu.

“Silahkan bongkar pagarnya jika bapak tidak suka, tapi jika batu itu sampai cuil bapak akan bermasalah dengan hukum,” ujar Ken tenang, namun suara itu seperti palu yang menghantam.

“Itu batu purbakala, dilindungi undang-undang. Kami juga berbadan hukum, organisasi yang sah. Difabel naik gunung dan penghijauan di Gunung ini juga atas ijin dan koordinasi Kepala Desa, Perhutani dan Muspika.”

Semua diam. Sunyi. Hanya terdengar suara gesekan antara pohon bambu yang tertiup angin.

“Sudah lebih 500 pohon batang pule kami tanam di gunung ini,” Erik menyela. “Bibit pohon pule pun dari Bapak Wakil Walikota Malang. Tidak minta sampeyan. Kami orang disabilitas pak yang merawat gunung ini. Kami sudah enam bulan penghijauan. Selama ini bapak-bapak kemana?”

Suasana makin sepi. Tak ada lagi yang nampak menggoyang-goyang pagar bambu.

“Nggih sampun, monggo,” isyarat Ken meninggalkan lokasi. Semua Difpala bergerak turun, meninggalkan mereka yang salah paham.

Kaki gunung Wedon meliputi beberapa dusun di wilayah Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan. Selama ini Gunung Wedon menjadi sasaran pencurian kayu. Sedangkan pada bagian bawah gunung nampak tumpukan sampah. Entah siapa yang membuang sampah hingga sebanyak itu. 

Tak ada pergerakan apapun dari warga sekitar untuk menjaga gunung. Tak nampak pula satu papan himbauan apapun dari Perhutani maupun dinas/badan terkait untuk larangan menebang pohon. 

Difabel Pecinta Alam rutin berlatih mendaki di Gunung Wedon. Tak hanya mendaki, mereka juga terpanggil untuk melakukan penghijauan. Meski sebagian warga sekitar mempermasalahkan keberadaan Difpala, namun tak mengubah tekad anak-anak muda difabel pecinta alam ini. . 

Tekad Difpala

Saat tak ada kepastian

Tindak lanjut diskusi di Gunung Wedon, beberapa anggota Difpala menemui Kepala Desa. Nampak berkujmpul dalam ruangan Bu Kades , ada Sekretaris Desa, Bidan Desa dan Perawat Desa. Semua mengenakan masker, sesuai protokol kesehatan.

“Walah.. Pak Ken, njenengan ini bikin repot saja!” ujar Bu Kades. “Kami ini sudah repot loh. Urusan pandemi bertubi-tubi. Sementara ada yang mati, sementara ada orang yang minta ijin buat resepsi pernikahan.”

“Lha ini kok njenengan minta ijin soal Posyandu Disabilitas,” tanya Bu Kades sambil melepas maskernya.

“Persoalannya adalah kebijakan yang jelas Bu, kalau kami jelas patuh pada himbauan Pemerintah. Kami hanya tanya, mengapa tidak ada Posyandu Disabilitas, sementara kami melihat Posyandu Balita dan Posyandu Lansia ada kegiatan,” terang Ken.

“Sudah Pak, sudah saya hentikan. Sekarang sudah nggak ada posyandu apapun yang jalan,” sahut Bidan Desa. Nampaknya ia ingin menghindari perdebatan.

“Baik, lalu untuk vaksinasi Covid-19 untuk penyandang disabilitas kapan? Ini sudah setahun pandemi. Kami juga belum pernah ada sosialisasi pandemi bagi disabilitas,” tanya Ken lebih lanjut.

“Maaf pak, kami hanya menjalankan tugas. Untuk vaksinasi saat ini belum untuk disabilitas,” jawab Perawat Desa.

“Ma-ma-af, i-ijin bicara,” kata Priyo. Se-sebenarnya disabilitas i-itu rentan ke-kena penyakit. Ja-jadi ha-ha-rus usul segera ada vaksinasi. Ka-karena saya lihat banyak orang-orang, terutama yang kerja-kerja sudah vaksin. Ka-kami belum.”

“Usul ke siapa mas? Kami hanya melaksanakan tugas. Tapi baiklah, coba kami tanyakan ke Dinas Kesehatan,” jawab Bidan Desa.

“Saya boleh bicara?” tanya Sumiati dengan khas suaranya. Sejak tadi Sumiati menyimak obrolan dengan aplikasi Transkripsi Instan. Aplikasi tersebut mampu mengubah suara menjadi tulisan. Meski kadang tak akurat, aplikasi tersebut sangat membantu Sumiati ketika tidak ada juru bahasa isyarat. 

“Ya mbak Sumiati, silahkan,” jawab Widi sigap. Di antara para anggota Difpala ia yang paling paham bahasa isyarat. Meski sebenarnya ia juga tak paham-paham amat.

“Kami tuli sangat takut Covid, orang banyak bicara tentang korona tapi nggak jelas. Kami belum dapat sosialisasi dari Pemerintah,” kata Sumiati. “Banyak kabar di media, hoax atau asli kami tak tahu.  Kami belum pernah ada, Pemerintah datang bersama juru bahasa isyarat untuk komunitas tuli agar paham Covid.”

Semua terdiam, seperti sedang memahami maksud Sumiati.

“Begini saja, kalau boleh kami gabung di satgas Covid,” ujar Widi. “Selama ini kami dari rumah ke rumah disabilitas untuk sosialisasi Covid-19. Maaf tanpa ijin dari siapapun. Ini inisiatif, sebab saya lihat tak ada layanan sosialisasi bagi disabilitas hingga hari ini. Kami siap bantu Pemerintah untuk sosialisasi Covid-19 bagi penyandang disabilitas.”

“Ya boleh saja Bu. Tapi kalau soal gabung ke satgas Covid sebaiknya langsung saja koordinasi dengan Pak Camat,” respon Bidan Desa.

Tak ada tanggapan, mereka yang hadir seperti berfikir langkah untuk disabilitas, namun tak ada daya sebab tak ada kewenangan di tingkat mereka. 

Nampak Erik memeriksa waktu di hapenya. 

“Jadi apa kesimpulan hari ini? Sepertinya nggak ada kepastian untuk nasib penyandang disabilitas,” tanya Erik menyela.

“Maaf, mas-nya orang mana? Saya belum pernah lihat mas di desa ini?” tanya Bu Kades.

“Persoalannya bukan saya orang mana bu,” jawab Erik agak meninggi. “Ini atas nama disabilitas. Saya memang bukan warga desa ini. Terus maunya bagaimana?”

“Loh, maksud bapak apa? Tolong pak, jaga etika,” sahut Bu Kades.

“Ibu yang mestinya jaga etika, di awal sampeyan sudah bilang kalau kedatangan kami ngrepoti,” sahut Erik tak kalah. Ia berdiri. Suasana tegang.

“Sudah, sudah cukup dulu bapak-bapak dan ibu-ibu, mohon maaf ya,” sela pak Sekdes menengahi. “Kami sudah paham maksud baik bapak ibu semuanya. Semua telah menjadi catatan dan akan ditindaklanjuti.”

tekad difpala

Dari rumah ke rumah

Pandemi terus berlangsung, dan tak pernah ada sosialisasi tentang Covid-19 bagi penyandang disabilitas, bahkan hingga hari ini. Tekad anak-anak Difpala memilih sikap mandiri. Mereka kunjungan ke rumah-rumah penyandang disabilitas untuk memberikan informasi yang benar soal covid-19 dan vaksinasi.

Namun berbagai tanggapan mereka terima:

“Golongan ngeyel, pandemi kok malah kunjungan lapangan!”

“Sudahlah, pasrah saja ke Pemerintah, biarlah disabilitas itu diurusi oleh Pemerintah. Difabel nggak usah divaksin nggak apa-apa, orang mereka juga nggak pernah kemana-mana.

Termasuk penolakan dari keluarga Penyandang Disabilitas:

“Maaf ya mas, mbak, babah wes, ora ngurus Covid! Orang anak saya itu disabilitas, nggak kerja, nggak naik pesawat, jadi nggak usah vaksin!

Namun bagi Difabel Pecinta Alam, tak ada alasan untuk berhenti. Meski apapun yang merintangi. Hingga pada suatu hari Difpala mendapat titipan paket sembako untuk disabilitas. Masih dari rumah ke rumah, Difpala berbagi paket sembako. Meski moral agak terbebani, sebab badan zakat meminta setiap penerima sembako harus difoto.

Untuk mempercepat pekerjaan, kerap kali Difpala dibagi menjadi beberapa tim distribusi. Hingga sampai pada sebuah rumah.

“Mohon maaf ya, mas dan mbak,” ujar tuan rumah. Nampak di ruang tamu terdapat foto beberapa kegiatan. Ia memang pengurus kelompok disabilitas setempat.

“Jujur, saya ini butuh sembako. Sebab sudah lama kegiatan kerja saya tak pasti. Masa pandemi ini sangat sulit. Tapi bolehkah saya terima sembako ini tanpa difoto?” ia bertanya.

“E-memang mengapa pak?” tanya Priyo. I-ini soalnya buat l-laporan ke badan zakat. Untuk b-bukti jika sembako sudah kami sampaikan.

“Mmm, begini, saya ingin bicara sama Pak Ken saja,” pintanya.

“Baik, saya panggil Pak Ken,”jawab Priyo.

Agak menyepi, laki-laki itu nampak berbicara lirih ke Ken. 

“Pak Ken, saya itu ada pesan aneh dari Bu Titik. Sampayen tahu Bu Titik? Itu loh, setahu saya ia relawan sosial pemerintah. Dulu ia juga pernah nyaleg, tapi gagal. Belum lama ia janji mau kasih saya paket sembako dan bantuan modal usaha. Tapi syaratnya kok aneh. Nggak boleh berteman dengan Pak Ken.”

“Loh, lha salah saya apa ya? Sebabnya apa?” tanya Ken. 

“Ya, nggak tahu. Pokoknya jika ketahuan kami bersama Pak Ken atau LINKSOS, maka bantuan-bantuan akan dihentikan. Katanya ia punya akses langsung ke kementerian,” jawabnya. “Jadi tolong pak ya, saya jangan difoto.” 

Seperti tercekat. Ken dan beberapa anak Difpala yang mendengar hanya terdiam. Prihatin, di tengah situasi sulit masih ada persoalan ego sektoral.

Difpala juga berkampanye di jaringan nasional. Atas nama Lingkar Sosial Indonesia mereka bergabung dalam jaringan Stafsus Presiden Angkie Yudhistia untuk percepatan vaksinasi Covid-19 bagi penyandang disabilitas di Jawa Timur, Tahun 2021.

“Kawan-kawan, hari ini kita menerima paket sertifikat apresiasi dari Stafsus Presiden Angkie Yudhistia atas peran kita dalam percepatan vaksinasi Covid-19 di Jawa Timur,” ujar Ken dalam suatu rapat koordinasi. “Ini adalah prestasi kalian!”

“Siappp! Semangat! Tekad!” seru anak-anak Difpala.

tekad Difpala

Misi Arjuno Inklusi

Pandemi belum usai, gempa bumi 6,7 SR menimpa Kabupaten Malang bagian selatan, April 2021. Jaringan organisasi di wilayah Dampit, Pagelaran dan Gondanglegi mengirimkan informasi bahwa rumah mereka dan lingkungannya mengalami kerusakan. 

“Jangankan istri, kaki palsu saya saja nggak ingat ada dimana,” kisah Sri, warga Pagelaran. Ia dan istrinya yang juga penyandang disabilitas berkunjung ke Omah Difabel. “Jadi ceritanya pas saya tidur, tiba-tiba ada goncangan keras. Saya terbangun dan panik.” 

“Sadar bahwa itu gempa, saya langsung melompat dan berlari dengan satu kaki, melompat-lompat. Hingga istri dan kaki palsu saya ketinggalan, haha..,” ungkap Sri sambil tertawa. Seluruh orang di Omah Difabel juga tertawa.

“Loh, sampeyan tidur di atas dipan? Mestinya tinggal masuk kolong saja pak.  Aman. Tapi kalau lari keluar rumah masih ada kemungkinan kena robohan,” tanggap Ken.

“Wah, nggak sempat mikir pak. Saya juga nggak tahu ada model melindungi diri seperti itu. Wes pokok kabur keluar, sampai istri ketinggalan, haha..,” ujar Sri mengulangi kisahnya. 

“Lucu sekaligus memprihatinkan. Data Dinas Sosial di Kabupaten Malang terdapat 16 ribu penyandang disabilitas,” ungkap Ken.” Malang itu rawan bencana alam, baik itu gunung meletus, gempa bumi, longsor bahkan tsunami. Seharusnya BPBD membuat pelatihan pengurangan bencana inklusif bagi penyandang disabilitas.”

“Kita buat pengajuan pelatihan saja ke BPBD,” usul Priyo. 

“Kita inisiasi saja, menggelar pelatihan tanggap resiko bencana secara swadaya, lalu mengundang BPBD atau PMI untuk mengisi pelatihan,” jawab Ken.

Tindak lanjut pertemuan tersebut, Difpala membentuk Tim Respon Sosial Bencana (Timresna). Mereka menggandeng BPBD, PMI, TNI dan Polri menggelar edukasi tanggap bencana serta melakukan distribusi ratusan paket sembako ke komunitas penyandang disabilitas. Unit ini kemudian bekerjasama dengan jaringan nasional Tim Respon Kemanusiaan (TRK) Inklusif untuk merespon beberapa bencana alam di Jawa Timur. 

Ada kemudahan menyertai bakti sosial mereka, namun seiring pula dengan hambatan dan tantangan yang juga selalu ada. Namun tak patah arang, anak-anak Difpala masih terus bekerja dan bekerja. Ekonomi harus dipulihkan. Hak kesehatan disabilitas harus terpenuhi. Posyandu Disabilitas harus terus disuarakan. Tekad itu rasanya sudah membumi. Untuk mewujudkan itu, Difpala menggelar Misi Arjuno Inklusi 2021.

Misi ini mengajak semua orang untuk mendaki gunung Arjuno dan  gunung-gunung di sekitarnya serta melakukan penghijauan bersama penyandang disabilitas. Di balik misi ini, ada strategi hapus stigma disabilitas, kampanye sadar pandemi, juga kampanye agar nama Posyandu Disabilitas tetap terdengar.

“Posyandu Disabilitasss!!! Jaya!! Difabel Pecinta Alam!! Lestari!!”

Dari satu puncak gunung ke puncak gunung lainnya, mereka selalu meneriakkan itu. Kemudian setelah turun gunung, mereka bertransformasi sebagai tim sosial respon bencana. Difpala menjadi motor penggerak distribusi ratusan paket sembako, atas nama Posyandu Disabilitas. Mereka juga mengadakan edukasi tanggap bencana ke komunitas-komunitas disabilitas. 

Peserta Misi Arjuno Inklusi terbuka bagi seluruh ragam disabilitas yaitu fisik, intelektual, mental, sensorik netra, dan sensorik rungu, termasuk orang yang pernah mengalami kusta. Kelompok difabel ini juga mengajak tim-tim terlatih seperti Mapala, komunitas pendaki gunung, Tim SAR, jurnalis dan lainnya. 

Kegiatan Difpala semakin masif dipublikasi. Terlebih LINKSOS bekerjasama dengan Dewa Web, layanan hosting terkemuka di Indonesia. Setiap orang bisa dengan mudah mengakses kegiatan Difpala melalui web yang beralamat di www.lingkarsosial.org

Pemerintah yang Terbuka

“Kami sebagai Camat Lawang sekaligus mewakili Muspika, sangat apresiasi terhadap kegiatan kawan-kawan disabilitas,” ujar Camat Lawang dalam sebuah pertemuan dengan para tokoh masyarakat.

“Banyak hal positif yang telah dilakukan, dimulai dari kontribusi terhadap penanggulangan Covid-19, pemulihan ekonomi melalui berbagai kegiatan wirausaha, hingga kegiatan olahraga dan melestarikan alam,” rinci Camat.

“Kami sangat mendukung kegiatan teman-teman disabilitas dalam naungan LINKSOS ini. Kami juga mendukung saat teman-teman ini memerlukan ruangan di kecamatan ini sebagai kantor. Bahkan kami sangat senang, harapannya bisa memudahkan kerjasama,” ujarnya. 

“Dan sebagai simboliknya, dengan ini kami serahkan kunci kantor kepada Pak Ken,” pungkas Camat bersemangat disambut tepuk tangan peserta pertemuan.

Difpala menyadari bahwa seluruh aktivitas yang mereka lakukan berkaitan dengan fungsi dan peran Pemerintah. Maka salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah melakukan perbaikan pelalayan dari dalam atau masuk ke dalam sistem birokrasi Pemerintah. 

LINKSOS berkantor di kantor Camat adalah upaya untuk memastikan bahwa Pemerintah terbuka terhadap peluang sinergi.  Maka sejak saat ini, November 2021 Difpala mengembangkan desa-desa inklusi dan Posyandu Disabilitas melalui sistem birokrasi Pemerintah Kecamatan. 

tekad Difpala

Rintisan Kecamatan Inklusif

Pagi itu, Difpala berkumpul di Pendopo Kecamatan Lawang. Tak seperti biasanya, ada banyak satpol PP berjaga. Berkumpul pula beberapa awak media.

Hadir juga para Kepala Desa dan Lurah di Kecamatan Lawang, Kepala Puskesmas Lawang, perwakilan RSJ Lawang, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan beberapa dinas lainnya.

Hari itu, tepatnya pada 23 Desember 2021, Wakil Bupati Malang meresmikan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kecamatan Lawang.

“Hari ini kami selaku Pemerintah Kabupaten Malang, mengapresiasi LINKSOS dan kerja-kerja nyata kawan-kawan disabilitas,” ujar Wakil Bupati Malang, didampingi Camat Lawang.

“Berbagai inovasi telah dikembangkan diantaranya Posyandu Disabilitas. Termasuk Difabel Pecinta Alam, adalah para penyandang disabilitas yang terampil dan tangguh. Mereka adalah motor penggerak inklusi di Kabupaten Malang.”

“Dan hari ini, kami resmikan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kecamatan Lawang, sebagai wadah pengembangan desa inklusi dan Posyandu Disabilitas. Semoga desa-desa inklusi dan Posyandu Disabilitas segera terwujud di Kabupaten Malang. Sukses untuk Kecamatan Lawang Inklusi!” teriak Wabup Malang membakar antusias peserta pertemuan.

Seluruh hadirin bertepuk tangan. Terlebih anak-anak Difpala. Di antara mereka saling bersalaman dan berpelukan.

Peresmian ULD Kecamatan Lawang adalah titik awal pencanangan Kecamatan Lawang Inklusif. Awalan tersebut juga ditandai dengan adanya Surat Keputusan Camat Lawang tentang Pengembangan Desa/Kelurahan Inklusi dan Posyandu Disabilitas. Selain itu terdapat pula penandatanganan kesepakatan kerjasama antara Camat Lawang, RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Puskesmas Lawang dan Lingkar Sosial Indonesia. 

Namun hari itu bukan akhir perjuangan. Tekad Difpala ingin Posyandu Disabilitas hadir di seluruh wilayah Indonesia.

MoU LINKSOS KND RI

MoU di Lereng Gunung Arjuno

Waktu terus berjalan, dan waktu itu pula yang menjadi saksi konsistensi Difabel Pecinta Alam (Difpala) dalam mengemban amanah kehidupan.

Halangan, tantangan dan hambatan adalah hal biasa bagi Difpala. Bahkan hambatan terbesar menurut anak-anak pecinta alam ini adalah masyarakat disabilitas yang masih menstigma diri. Sebagian masyarakat penyandang disabilitas masih menganggap diri sebagai orang yang harus dibantu. Maka kegiatan gerakan pemberdayaan seperti dilakukan Difpala, justru dianggap sebagai hambatan bagi mereka.  

Difpala adalah kelompok yang inklusif, hal dalam tatanan organisasi bahwa penyandang disabilitas dan non disabilitas adalah setara. Kepengurusan Difpala bukan atas dasar  disabilitas dan  non disabilitas, melainkan  berdasarkan kemampuan. Kecuali dalam hal tertentu, organisasi menerapkan kebijakan afirmatif untuk  meningkatkan peran dan  kapasitas penyandang disabilitas. 

Praktik-praktik baik Difpala mendapat pengakuan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI. Sejak akhir tahun 2021 hingga saat ini, KND tercatat telah lima kali berkunjung ke Malang. Tujuan kunjungan untuk memberikan dukungan advokasi terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Khususnya untuk Kabupaten Malang, KND tengah mendorong adanya Perda Disabilitas.

Hal yang unik, bahwa kunjungan kelima KND ke Malang adalah dalam even Jambore Nasional Difabel Pecinta Alam 2023. Dalam kesempatan itu KND dan LINKSOS melakukan penandatanganan kesepahaman atau MoU. Kerjasama kedua lembaga ini adalah di bidang advokasi kebijakan dan edukasi masyarakat terkait penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Tim Jambore Nasional Difpala dilepas oleh Muspika Lawang dalam sebuah acara sederhana di pringgitan Kecamatan Lawang. Jambore ini juga dalam koordinasi tiga Muspika di wilayah Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan. Masing-masing Muspika Lawang, Purwosari dan Purwodadi. Even juga melibatkan Puskesmas Lawang dan Puskesmas Nguling sebagai Tim P3K.

“Penandatangan nota kesepahaman ini merupakan bentuk kepercayaan, dukungan dan apresiasi KND terhadap LINKSOS,” ujar Ketua KND Dante Rigmalia di lokasi kegiatan.  “LINKSOS telah banyak melakukan praktik baik dalam upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas di antaranya Posyandu Disabilitas dan Difabel Pecinta Alam atau Difpala.”

Dante Rigmalia memberikan sambutan di bawah bentangan flysheet warna oranye. Sebelum itu, Dante bersama dua staf KND dan Difabel Pecinta Alam melakukan pendakian selama sekira dua jam. Titik awal pendakian adalah Goa Ontoboego menuju Putuk Lesung Gunung Arjuno. 

“Berekreasi, naik gunung, dan berkemah adalah sesuatu yang sangat baik untuk dilakukan oleh pecinta alam termasuk penyandang disabilitas,” tandas Dante.  “Karena dalam aktivitas seperti ini para penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan untuk bisa melakukan aktivitas sebagaimana non disabilitas.”

“Terdapat beberapa manfaat yang diperoleh oleh teman-teman penyandang disabilitas dengan berkegiatan seperti ini. Selain dapat menikmati alam, mereka juga bisa mengembangkan potensi dirinya, keberanian dan percaya diri,” terang Dante.

“Kegiatan Difpala juga bermanfaat bagi pengembangan problem solving yang harus dipecahkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan pecinta alam ini,” tandasnya. “Maka, kami sangat mengapresiasi LINKSOS dan juga teman-teman yang mendukung kegiatan ini.”

“Semoga apa yang dilakukan LINKSOS bisa menjadi praktik baik yang bisa dicontoh oleh teman-teman lainnya. Melibatkan penyandang disabilitas dalam aktivitas pecinta alam karena sangat bermanfaat untuk mereka,” pungkas Dante.

Dante Rigmalia sebagai Ketua KND dan Ken Kerta sebagai Ketua LINKSOS kemudian menandatangani kesepahaman kerjasama itu. Nampak salah seorang staf khusus Dante menujukkan contoh tanda tangan. “Saya penyandang disabilitas disleksia, sulit mengingat dan menghafal, hingga tanda tangan sendiri pun lupa. Beberapa kali saya ada masalah dengan bank, hehe,” terangnya sambil tertawa. 

“Hari ini sangat luar biasa. MoU diatas gunung, dengan fasilitas apa adanya, namun sangat bermakna. Saya sungguh terkesan,” ujar Dante memuji. 

“Iya Bu Dante. Saat ini kita berada di bawah flysheet produk Omah Difabel. Ini adalah gantinya pendopo, supaya kita tetap bisa diskusi di gunung dengan aman,” respon Ken. “Lalu yang memasang flysheet ini adalah Tim Perintis. Ada Priyo, Yulia dan Cakra. Pagi-pagi usai subuh tadi mereka berangkat dari Omah Difabel.  Ayo mbak Yulia, bercerita.” 

Yulia adalah penyandang disabilitas wicara. Perempuan ini masih baru bergabung sebagai anggota Difpala. Meski demikian, Yulia tergolong cekatan, memiliki motivasi belajar, serta mempunyai ketahanan fisik.  Hal  tersebut menjadi dasar ia ditugaskan sebagai Tim Perintis. 

“Iya, khawatir kalau tempat ini dipakai oleh pendaki lain,” jawab Yulia malu-malu.

“Selama satu minggu sebelum ini, jalur pendakian Gunung Arjuno tutup karena ada badai,” imbuh Priyo. Jadi ini hari pertama pendakian, diperkirakan akan ramai pendaki yang nge-camp di sini. Nah dari pada tempat ini kedahuluan dipakai orang lain, kita dahului saja.”

Sukses Jambore Nasional Difpala bersama KND, adalah berkah dari konsistensi anak-anak Difpala. Mereka anak muda yang bertekad kuat mendobrak ruang  terbatas dan membangun ekosistem yang inklusif bagi semua orang.

 

Similar Posts

Skip to content