
“Kalau hanya ada terapi dan muncul saat ada bantuan, itu belum bisa disebut Posyandu Disabilitas,” kata Founder Yayasan Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), Ken Kerta, lembaga yang mempelopori Posyandu Disabilitas pertama di Indonesia.1
Model itu dikenal sebagai Posdilan 7—akronim dari Posyandu Disabilitas dengan tujuh meja pelayanan—yang pertama dikembangkan di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Resmi diluncurkan tahun 2019, Posdilan 7 mengadopsi sistem layanan tujuh meja, mirip Posyandu Balita, tapi diperluas dengan layanan khusus disabilitas. Ia bukan layanan karitatif, melainkan bagian dari sistem kesehatan berbasis desa yang dibina oleh puskesmas dan dibiayai dari dana pemerintah lokal.
Tujuh Meja, Bukan Sekadar Nama
Di balik nama Posdilan 7 tersembunyi struktur layanan yang jelas, sistematis, dan menyeluruh. Bukan seperti terapi rumahan atau layanan episodik. Posyandu Disabilitas memiliki tujuh titik layanan meja1— layanan pendaftaran, meja 2— layanan pengukuran, meja 3— pencatatan, meja 4— konsultasi, meja 5— layanan kesehatan dasar, meja 6— terapi, meja 7— pemberdayaan sosial dan ekonomi.
Seluruh layanan ini bersifat gratis dan terbuka bagi semua jenis dan usia disabilitas, dari anak-anak hingga lansia. Beberapa wilayah bahkan menyediakan transportasi bagi peserta yang tinggal jauh.
Bukan Prakarsa Pribadi, Tapi Sistem Negara
LINKSOS menegaskan bahwa Posyandu Disabilitas harus masuk dalam struktur resmi desa atau kelurahan. Tanpa pembinaan dari puskesmas, kader yang diakui, serta alokasi dana dari APBDes atau dana kelurahan, sebuah layanan tak bisa disebut sebagai Posyandu Disabilitas—meskipun menggunakan nama yang sama.
Praktik pengaburan istilah ini mulai marak. Layanan terapi pribadi kadang menggelar kegiatan insidental, lalu menyebutnya sebagai Posyandu Disabilitas. Padahal, tindakan seperti itu bisa merugikan penyandang disabilitas karena menempatkan mereka sebagai obyek bantuan, bukan subyek yang berdaya dan terlibat.
Menyebar dari Lawang ke Nusantara
Model Posdilan 7 kini menjadi acuan di berbagai daerah. Sejak diinisiasi pada 2019 di Kabupaten Malang, konsep Posyandu Disabilitas telah menjalar ke tujuh provinsi dan sedikitnya 13 kabupaten/kota dengan total 24 pos pelayanan aktif, menurut data tidak resmi yang dihimpun LINKSOS dan pencarian daring.
Salah satu replikasinya yang menonjol adalah Posyandu Disabilitas Polehan di Kota Malang. Diresmikan pada 1 Desember 2022 bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional, pos ini lahir dari kerja sama antara pemerintah kelurahan, Dinas Kesehatan, Bappeda, dan LINKSOS. Seluruh pembiayaan berasal dari dana kelurahan—bukti bahwa kota besar pun bisa mengadopsi pendekatan berbasis komunitas desa.2
Selain itu, terdapat pula Posyandu Disabilitas di Kelurahan Kidul Dalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Meskipun tidak seluruhnya dibentuk bersama LINKSOS, beberapa pos mengadopsi panduan mandiri yang tersedia di laman resmi lingkarsosial.org, dengan kualitas dan konsistensi pelaksanaan yang beragam.
Sementara itu, di Kabupaten Malang—titik awal lahirnya Posyandu Disabilitas—terdapat beberapa pos aktif yang tersebar di Desa Bedali, Kelurahan Lawang, dan Desa Wonorejo, seluruhnya berada di Kecamatan Lawang. Satu pos lainnya berada di Desa Pakisaji, Kecamatan Pakisaji. Keempatnya menjadi rujukan layanan kesehatan berbasis komunitas yang mengakar di desa, bukan sekadar proyek insidental.
Inovasi yang Menjangkau Semua
Tidak hanya untuk penyandang disabilitas, Posyandu Disabilitas juga bisa melayani warga non-disabilitas yang berisiko, seperti orang dengan gejala stroke. Dengan layanan terapi dasar yang terjangkau dan terjadwal rutin, Posyandu ini juga berfungsi sebagai sarana pencegahan disabilitas baru di masyarakat.
Di Kabupaten Malang sendiri, saat ini ada enam Posyandu Disabilitas aktif. Setiap pos rata-rata melayani 50 hingga 70 peserta aktif per bulan. Kegiatan dilakukan oleh kader kesehatan—termasuk kader disabilitas—yang telah dilatih dan dibina secara berkelanjutan.
Menuju Sistem Kesehatan yang Inklusif
Bagi LINKSOS, Posyandu Disabilitas bukan sekadar layanan tambahan, melainkan bagian dari transformasi sistem kesehatan nasional agar benar-benar inklusif. “Kami ingin memastikan difabel tidak hanya menjadi penerima bantuan, tapi pelaku dalam sistem layanan publik,” ujar Ken.
Melalui pendekatan berbasis komunitas, sistematis, dan terintegrasi dengan pemerintah lokal, Posyandu Disabilitas menghadirkan solusi riil bagi penyandang disabilitas. Bukan kegiatan musiman. Bukan pula sekadar niat baik. Tapi sistem yang bekerja, menyapa mereka yang selama ini kerap tak terjangkau oleh layanan kesehatan arus utama.