Menyuarakan Harapan Lewat Gerakan Sahabat Autism

Menyuarakan Harapan Lewat Gerakan Sahabat Autism

2 minutes, 8 seconds Read
Menurut WHO, satu dari 160 anak berada dalam spektrum autisme. Ini bukan angka kecil, namun dalam kenyataannya mereka kerap terpinggirkan—karena mahalnya biaya terapi, minimnya dukungan sosial, bahkan karena kita tak benar-benar mengenal mereka. Sahabat Autism hadir membawa harapan: terapi gratis, pelatihan kerja, dan pertemuan rutin sebagai ruang berbagi bagi keluarga dengan anak autisme.
Ken Kerta
Ken Kerta
Founder Lingkar Sosial Indonesia | Pembina Sahabat Autism

Sabtu pagi, 28 Juni 2025 di Lembah Karang Duren, Pakisaji, Malang. Puluhan orang tua, pendamping, dan anak-anak dengan autisme berkumpul dalam satu forum. Bukan seminar biasa. Ini adalah ruang yang hangat—bukan hanya untuk mendengar, tapi untuk dipahami.

Mereka datang membawa satu harapan: tak lagi sendiri dalam perjalanan panjang mendampingi anak-anak dalam spektrum autisme. Forum itu bernama Sharing Sahabat Autism, inisiatif dari Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) bersama Malang Autism Center dan LPK Cipta Karya Wiyasa.

Di luar ruang ini, dunia kadang terasa sunyi bagi mereka. Meski menurut data WHO, satu dari 160 anak berada dalam spektrum autisme, banyak dari kita masih gagap membicarakan autisme, apalagi menyapa mereka yang mengalaminya. Padahal, mereka ada di sekitar kita—di sekolah, di rumah ibadah, di ruang tunggu dokter, di pasar, bahkan di halaman rumah sebelah.

Gerakan Sahabat Autism mencoba menembus kesunyian itu. Bukan dengan ceramah panjang, tapi dengan duduk bersama, berbagi cerita, dan menyusun langkah nyata. Dalam forum itu, terbangun tiga hal: pengakuan, penguatan, dan pemberdayaan.

Dari Cerita ke Aksi Nyata

Evy Oktaviani, salah satu orang tua peserta, menyebut pertemuan itu sebagai momen yang “menyenangkan dan menambah ilmu.” Tapi yang lebih penting, katanya, “kami tidak merasa sendiri.”

Pertemuan ini bukan sekadar ajang curhat. Ada hasil konkret:

  • Beasiswa pelatihan kerja untuk anak autisme dari LPK Cipta Karya Wiyasa.
  • Terapi gratis bagi keluarga kurang mampu yang disediakan oleh Omah Terapi Autis (OTA).
  • Pertemuan rutin dan pemberdayaan ekonomi untuk keluarga autisme yang dimotori LINKSOS.

Sebanyak 30 orang hadir, termasuk 10 anak dengan autisme, 14 orang tua dan pendamping keluarga difabel, serta sejumlah relawan, guru pendamping khusus, dan organisasi disabilitas. Hadir pulaa beberapa anak dari Panti Karya Asih yang sebelumnya telah mendapatkan bea siswa dari LPK Cipta Karya Wiyasa. 

Mereka berbicara soal kebutuhan pelatihan keterampilan, akses terapi, dan pentingnya dukungan sosial. Tapi yang paling kuat terasa adalah kebutuhan akan pengakuan: bahwa anak-anak ini punya hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang menyambut, bukan menyingkirkan.

Gerakan yang Terus Menyala

Sahabat Autism bukan satu-satunya jawaban, tapi bisa menjadi awal dari gerakan yang lebih besar. Gerakan yang mengajak publik tak hanya peduli, tapi terlibat.

Kita tak butuh belas kasihan untuk membangun dunia yang ramah spektrum. Kita butuh solidaritas, ruang aman, dan keberanian untuk mengakui: mereka bukan orang lain. Mereka bagian dari kita.

Similar Posts

Skip to content