
Ibu Sulastri, seorang perempuan berusia 79 tahun, masih tampak sehat dan penuh semangat. Hampir setiap hari, ia bersama putranya, Dwi Setyadi (56 tahun), pergi ke kebun yang terletak di Lapangan Tembak Bedali. Bagi mereka, bertani bukan sekadar mencari penghasilan, tetapi juga cara untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan.
Empat bulan lalu, suami Ibu Sulastri, Suwadji, meninggal dunia. Sebelumnya, almarhum juga ikut menggarap lahan di lapangan tembak. Kini, hanya ia dan Dwi yang meneruskan pekerjaan tersebut.
Bertani di tengah keterbatasan, petani lansia dan disabilitas
Dwi, yang akrab disapa dengan nama panggilannya, adalah penyandang disabilitas intelektual. Meski tidak bisa membaca dan menulis seperti orang lain, ia selalu patuh pada perintah ibunya.
Menjalani hidup sebagai orang tua tunggal dengan anak berkebutuhan khusus tidak membuat Ibu Sulastri patah semangat. Sebaliknya, ia merasa bangga karena tetap bisa mandiri sebagai petani lansia.1
“Saya bersyukur masih bisa bertani di Lapangan Tembak Bedali. Sebagai lansia, bertani bukan hanya memberi saya penghasilan, tetapi juga menjaga kesehatan. Kalau tidak ke kebun, badan saya malah sakit semua, bahkan mata juga terasa nyeri. Tapi begitu melihat hijaunya tanaman, tubuh saya terasa segar kembali. Dwi juga begitu. Jika tidak ke kebun, ia gelisah dan tidak tenang. Tapi begitu saya bilang, ‘Besok kita ke kebun,’ ia langsung kembali sehat dan bersemangat,” cerita Ibu Sulastri.
Baginya, kebun bukan sekadar tempat bekerja, tetapi juga ruang bermain yang menyenangkan bagi Dwi. Meskipun usia biologis putranya sudah tergolong lansia, usia mentalnya masih seperti anak-anak.
Sebagai petani lansia, Ibu Sulastri merasa sehat dan sejahtera. “Saya akan terus bertani selama diizinkan oleh tentara di sini, selama badan saya masih kuat,” harapnya. Ia juga merasa nyaman karena mendapat dukungan dari orang-orang di lapangan tembak. “Pak Mustofa, Mas Agung, Mas Bayu, dan bapak-bapak lainnya yang bekerja di sini semuanya baik,” tambahnya.
Setiap hari, anaknya yang lain, Ken, mengantarnya ke kebun. Selain itu, Ken juga membantu mendokumentasikan kegiatan bertani mereka untuk dilaporkan ke pengurus lapangan tembak dan kantor Rindam Kodam V Brawijaya di Rampa
Penerima manfaat program ketahanan pangan TNI AD
Sejak tahun 2012, keluarga Ibu Sulastri bertani di lahan Lapangan Tembak Bedali Lawang. Mereka merupakan bagian dari program ketahanan pangan TNI AD, yang mengubah lahan tidur menjadi lahan produktif dengan melibatkan masyarakat. Program ini tidak hanya membantu keluarga Ibu Sulastri, tetapi juga beberapa petani lainnya yang menggarap lahan di area Lapangan Tembak Bedali.2
“Pihak lapangan tembak tidak memungut hasil sedikitpun, seluruh hasil panen menjadi milik kami semua,” ungkap Sulastri. Bahkan, pernah juga kami dibantu bibit jagung dan pupuk.
Keluarga Ibu Sulastri tinggal di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Mereka menggarap lahan seluas sekitar 1.500 meter persegi, yang ditanami jagung dan kacang tanah secara bergantian untuk menjaga kesuburan tanah.
Bagi Ibu Sulastri dan keluarganya, bertani bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga sumber kebahagiaan dan kesehatan. Selama masih diberi kekuatan, mereka akan terus menjaga kebun dan menikmati hasil kerja keras mereka di Lapangan Tembak Bedali.