Jaringan pegiat dan organisasi penyandang disabilitas bersama BAPPENAS dan KSP, serta didukung penuh oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) menggelar Seminar Virtual Peluncuran Indikator Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Rabu, 28 April 2021 melalui Zoom Cloud Meeting.
Dokumen yang proses penyusunannya dilakukan sejak tahun 2018 tersebut akan menjadi rujukan bersama Pemerintah, Organisasi Penyandang Disabilitas maupun masyarakat sipil lainnya untuk terus memantau kemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
“Tak hanya sebagai alat ukur dan pemantauan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, namun hasil dari pemantauan tersebut akan menjadi rujukan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang inklusif serta menjaga semangat dan tujuan pembangunan berkelanjutan sehingga tak ada satu orang pun yang tertinggal,” tutur Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN / BAPPENAS, Slamet Soedarsono dalam sambutannya.
Dengan diundangnya seluruh pemangku kepentingan pemerintah pusat dan daerah perwakilan masyarakat serta mitra pembangunan dalam sosiliasi tersebut, dikatakan Slamet Soedarsono sangatlah strategis sebagai sarana kolaboratif antar pihak untuk bersama-sama melakukan penyempurnaan terhadap indikator pemenuhan hak penyandang disabilitas serta langkah-langkah percepatan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Hadir dalam sosialisasi tersebut selain jaringan pegiat dan organisasi penyandang disabilitas dari berbagai wilayah di Indonesia, juga Plt Minister Counsellor Politik dan Komunikasi Strategis Kedutaan Besar Australia, Shane Flanagan, serta perwakilan sejumlah lembaga dan kementrian diantaranya Vivi Yulaswati, Staf Ahli Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN / BAPPENAS, dan Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kantor Staf Presiden, keduanya sebagai pembicara kunci.
Mengulik isi dokumen
Dokumen Indikator Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas terdiri dari enam bagian yang saling terkait untuk membantu memahami hak disabilitas dan bagaimana memantaunya. Pada bagian pendahuluan dokumen tersebut memaparkan latar belakang pentingnya indikator pemantauan hak-hak disabilitas untuk mendorong pergeseran paradigma disabilitas menuju pendekatan berbasis hak asasi manusia yang berdampak mengubah arah kebijakan negara dan praktik pemenuhan hak oleh pemerintah serta penjelasannya
Pada bagian kedua, dokumen ini menyajikan analisis situasi penyandang disabilitas di Indonesia. Terdapat 10 sektor yang dipaparkan mulai dari kemajuan dan perkembangan regulasi hak disabilitas, data disabilitas hingga beberapa sektor pemenuhan hak disabilitas yang menggambarkan betapa permasalahan disabilitas merupakan isu lintas sektor.
Selanjutnya bagian ketiga menawarkan definisi kerangka konseptual dan rincian indikator hak disabilitas. Indikator struktur proses dan hasil kerja indikator ini mengukur ketersediaan dan kelengkapan regulasi pelaksanaan dan sejauh mana hasil pemenuhan dinikmati penyandang disabilitas.
Bagian keempat merupakan instrumen pemantauan yang lengkap, selain ratusan pernyataan identifikasi sub indikator pengukuran pemenuhan hak disabilitas, juga terdapat 758 pertanyaan pemantauan. Mengetahui sulitnya memahami konsep dan indikator serta pemantauannya, buku ini dilengkapi dengan 10 ilustrasi dan simulasi bagaimana indikator-indikator dipakai memantau hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu
Bagian berikutnya, memberikan panduan praktis tentang langkah-langkah memantau pemenuhan hak disabilitas sehingga akan didapatkan informasi seberapa serius dan seberapa baik kinerja Pemerintah memenuhi hak-hak disabilitas. Kemudian di bagian akhir, dokumen tersebut memberikan tambahan referensi demi membantu pembaca lebih memahami konsep paradigma disabilitas.
Latar belakang
Dasar penyusunan Indikator Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas bahwa penyandang disabilitas atau difabel merupakan warga yang memiliki hak setara dengan warga lainnya. Ratifikasi CRPD tahun 2011dan pengesahan Undang-Undang Disabilitas menjadi dasar pergeseran paradigma dari individu dan belas kasihan ke pengakuan atas hak disabilitas.
Disabilitas bukan lagi soal fungsi tubuh atau kemampuan melainkan respon lingkungan perilaku serta kebijakan dan sistem yang menghambat partisipasi secara setara. Dengan kata lain disabilitas terjadi ketika fungsi fisik dan atau mental yang berkurang dan berinteraksi dengan perilaku lingkungan maupun kebijakan dan sistem yang tidak mengakomodasi dan berpihak.
Berdasarkan Supas 2015 dan Susenas 2018, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berkisar antara 21 hingga 30 juta jiwa. Dalam hal ini untuk melindungi hak penyandang disabilitas negara mengesahkan regulasi dua Undang-undang 11 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang menjamin perlindungan bagi penyandang disabilitas di seluruh sektor penghidupan.
Namun faktanya, pelanggaran hak penyandang disabilitas masih terjadi dengan berbagai sebab. Yang pertama masih kuatnya cara pandang biomedik yang menganggap penyandang disabilitas adalah orang dengan kerusakan organ atau penderita sakit. Dalam hal ini surat Keterangan Sehat jasmani dan rohani kerap menjadi alat legitimasi pihak tertentu melanggar hak disabilitas
Penyebab kedua adalah masih minimnya pemahaman perangkat negara mengenai disabilitas serta ketidaktahuan cara mengakomodasi kebutuhan warga disabilitas yang beragam dalam ruang publik. Terjadinya pelanggaran hak disabilitas akan semakin merentankan penyandang disabilitas di sepanjang siklus hidupnya baik usia remaja maupun lansia.
Untuk menghindari berlapisnya kerentanan tersebut, diperlukan upaya untuk memantau dan memastikan negara memenuhi hak-hak disabilitas melalui keterlibatan masyarakat sipil. Sehingga dari sinergitas tersebut baik pemerintah maupun masyarakat sipil akan memiliki data akurat tentang kondisi pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dokumen Indikator Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas merupakan rumusan tawaran kebijakan dan program untuk menjawab kebutuhan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas secara paripurna. (Ken)