FOMO merupakan singkatan dari Fear Of Missing Out, yaitu perasaan cemas dan takut karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Istilah FOMO pertama kali dicetuskan oleh Patrick J. McGinnis pada tahun 2004 melalui artikelnya yang berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis ‘Two FOs”1.
Kecenderungan orang-orang yang mengalami fomo selain takut kehilangan momen, juga berimbas pada tindakan membandingkan diri sendiri dengan apa pun yang diposting orang lain di sosial media, tulis Patrick.
Saat ini, Pendaki FOMO menjadi pembahasan di media sosial. Pemantiknya adalah makin meningkatnya kasus kecelakaan pendakian, mulai dari dehidrasi, kelaparan, hipotermia, hingga tewas.
Berbagai kejadian tersebut menyibukkan tim evakuasi dan menjadi sorotan media massa. Setelah didalami, penyebab kecelakaan adalah mendaki gunung tanpa persiapan matang.
Langkah sederhana menghindari FOMO
Mendaki gunung lalu pamer di media sosial bisa jadi tampak keren. Namun jangan korbankan keselamatan demi mau ngetren saja. Bagi pendaki, perilaku FOMO setidaknya menimbulkan tiga kerugian besar.
Pertama, mengancam keselamatan diri dan tim. Kedua, terancam blacklist dari pengelola wisata gunung. Ketiga, kehilangan teman mendaki. Pendaki FOMO dipastikan ceroboh sehingga orang lain kapok untuk mendaki bersama.
Kiat agar tak menjadi Pendaki FOMO tidak sulit. Hanya memerlukan empat langkah. Pertama, pastikan pendaki memiliki perlengkapan standar, mulai dari sepatu gunung, sleeping bag, jaket, jas hujan, tenda dan lainnya.
Kedua, pelajari informasi tentang gunung yang akan dituju. Ketiga, persiapan mitigasi risiko sesuai informasi yang didapat. Keempat, ajak teman yang pernah ke gunung tersebut atau bersama pemandu lokal.
Oh ya, apa saja perlengkapan standar mendaki gunung? Sebelum mendaki gunung, siapkan fisik dan mental. Siapkan pula perlengkapan yang dibutuhkan, seperti:
- Pakaian dan jaket gunung
- Sleeping bag
- Tas carrier atau tas gunung
- Matras
- Sepatu gunung
- Tenda
- Perlengkapan masak
- Headlamp
- Kaos kaki
- Sarung tangan dan penutup kepala
Pentingnya SOP dan pemandu lokal
Di Malang, Jawa Timur, terdapat komunitas disabilitas pendaki gunung. Namanya Difabel Pecinta Alam (Difpala). Difpala merupakan unit pemberdayaan penyandang disabilitas Yayasan Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Sejak tahun 2020 hingga saat ini, mereka konsisten mendaki gunung dan selamat2.
Kelompok ini unik. Jika berbicara tentang penyandang disabilitas mendaki gunung, sudah terdapat sejak dulu, baik di Indonesia maupun luar negeri. Namun, jika berbicara kelompok disabilitas yang mendaki gunung secara konsisten dan berkelanjutan, Difpala LINKSOS adalah pionernya.
Uniknya lagi, para disabilitas pendaki gunung ini, termasuk Pendiri Difpala LINKSOS, Ken Kerta, awalnya bukan berbasis pendaki gunung. Mereka berbekal belajar secara otodidak di setiap pendakian, serta memperhatikan arahan pemandu lokal.
Ya, di setiap kegiatan, utamanya di gunung-gunung yang belum pernah didaki, Difpala LINKSOS selalu menggunakan jasa pemandu lokal. Jika belum ada kenalan pendaki lokal, solusinya mengajak pendaki yang pernah ke gunung tersebut.
Keberadaan pemandu sangat penting. Selain menjadi navigator, pemandu memiliki keterampilan dan pengalaman memitigasi risiko.
Tak hanya itu, Difpala LINKSOS juga menerapkan standar operasional prosedur (SOP) dan kurikulum pendakian. Demi keselamatan bersama, penegakan SOP dan pelaksanaan kurikulum dilakukan secara konsisten. Khususnya bagi pelanggar SOP akan mendapatkan sanksi, mulai dari teguran lisan, hingga pemecatan.
- Mengenal tentang FOMO https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/mengenal-tentang-fomo [↩]
- Difabel Pecinta Alam, Bakti Inklusi Bumi Lestari, https://lingkarsosial.org/difabel-pecinta-alam/ [↩]