
Perayaan wisuda tentu menjadi momen penuh kebahagiaan bagi setiap mahasiswa. Setelah melalui berbagai tantangan seperti bimbingan, revisi, dan proses pencetakan skripsi, akhirnya mereka dapat meraih gelar sesuai dengan jenjang yang ditempuh. Begitu pula dengan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Pada Rabu, 19 Februari 2025, kampus yang sebelumnya dikenal sebagai IKIP Surabaya ini menggelar Rapat Terbuka Wisuda Universitas Negeri Surabaya untuk ke-113 kalinya.
Acara sakral tersebut mengusung tema “Wisudawan UNESA Tangguh, Inovatif, Kolaboratif, dan Adaptif Menyongsong Indonesia Emas 2045”. Wisuda ini berlangsung di lantai 4 dan lantai 5 Graha UNESA, Kampus 2 Lidah Wetan, Surabaya. Sebanyak 1.548 wisudawan, bersama masing-masing dua orang pendamping keluarga, memenuhi gedung megah tersebut.
Prosesi Wisuda UNESA ke-113 dan Sorotan bagi Wisudawan Disabilitas
Acara Wisuda UNESA ke-113 berjalan lancar sesuai susunan acara yang dipandu oleh Master of Ceremony. Hingga akhirnya tiba pada prosesi pengukuhan wisudawan, momen yang paling dinantikan. Di antara ribuan wisudawan, terdapat dua sosok yang menarik perhatian:
Pertama, seorang wisudawan yang tidak dapat menghadiri prosesi wisuda karena telah berpulang sebelum acara digelar. Al-Fatihah untuknya. Kedua, seorang wisudawan tunanetra total yang berjalan ke panggung dengan tongkat strip merah, didampingi seseorang di depannya.
Jika ditarik mundur beberapa menit sebelum namanya dipanggil, terlihat seorang perempuan di samping wisudawan tunanetra tersebut. Namun, secara tiba-tiba terjadi pergantian pendamping tepat sebelum ia melangkah ke panggung. Pergantian mendadak ini cukup membingungkan, terkesan tidak terkoordinasi dengan baik.
Akibatnya, Muhammad Dzulfikar, wisudawan disabilitas netra dari Prodi Pendidikan Luar Biasa, tampak kebingungan. Tidak ada pengarahan sebelumnya, dan di atas panggung, ia hanya digerakkan tubuhnya tanpa instruksi yang jelas.
Prosesi foto bersama Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan pun berlangsung sangat singkat, jauh dari ekspektasi dan kepuasan. Setelah itu, saat menuruni tangga panggung, pendampingnya terlihat kurang memahami cara mendampingi seorang tunanetra total. Alih-alih memberikan instruksi verbal atau metode yang tepat, pendamping justru memegangi tubuh Dzulfikar, yang membuatnya merasa tidak nyaman dan kebingungan.
Label Kampus Inklusif yang Masih Dipertanyakan
Sebagai kampus yang mengklaim dirinya sebagai “Kampus Inklusif,” kejadian ini tentu sangat disayangkan. Beberapa pertanyaan pun muncul. Bagaimana Unit Layanan Disabilitas (ULD) UNESA bekerja? Apakah saat gladi bersih tidak ada arahan khusus bagi wisudawan dengan disabilitas? Sejauh mana UNESA telah mengimplementasikan konsep inklusivitas dalam acara akademik besar seperti wisuda? Semoga ke depannya, label “Kampus Inklusif” benar-benar dapat diaplikasikan sepenuhnya. Hal ini penting agar setiap mahasiswa, termasuk yang memiliki disabilitas, bisa merasakan pengalaman wisuda yang lebih layak, nyaman, dan setara. Demi UNESA yang benar-benar “Satu Langkah di Depan!”1
Editor: Ken Kerta