Persoalan Sosial di Kampung Kusta

Persoalan Sosial di Kampung Kusta

6 minutes, 44 seconds Read
Persoalan sosial di Kampung Kusta tidak sederhana, tak hanya soal diskriminasi, namun juga kemiskinan struktural dan kokohnya dinding stigma.
Ken Kerta
Ken Kerta
Penulis/ Pendiri LINKSOS

Sekilas tentang kusta

Kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh mycobacterium leprae. Penyakit menular tahunan ini sesungguhnya tidak mudah menular. Penularan hanya bisa terjadi melalui udara dengan kontak erat dalam jangka waktu lama dan berkelanjutan.

Obat kusta namanya MDT atau Multy Drug Terapi. World Health Organization (WHO) telah merekomendasi kombinasi obat ini. Orang yang telah mendapatkan intervensi obat ini, tidak bisa menularkan kusta.

 

 

Analisis Masalah Sosial di Kampung Kusta

Mengenal Kampung Kusta

Kampung kusta adalah sebutan warga sekitar karena awalnya seluruh warga dusun mengalami kusta. Konon kabarnya, pada masa penjajahan Belanda dulu, mereka mengumpulkan orang yang mengalami kusta dari berbagai asal. Penderita kusta mengalami isolasi di suatu tempat terpencil untuk memutuskan mata rantai penularan.

Menurut sejarah, sejak jaman sebelum masehi, penderita kusta telah mengalami pengasingan, penistaan dan diskriminasi. Kemudian, mereka mampu bertahan hidup dengan obat seadanya dan berkembang turun temurun dari pernikahan sesama yang mengalami kusta.

Secara umum di Indonesia terdapat sekira 60 kampung kusta. Hingga 1950-an Pemerintah Indonesia mulai membangun panti pengobatan dan perawatan kusta serta layanan sosial yang lebih baik. Di Jawa Timur khususnya, terdapat tiga titik kampung kusta yaitu dusun Babat Jerawat di Surabaya, dusun Sumberglagah di Mojokerto dan dusun Nganget di Tuban.

Belajar di Dusun Sumberglagah

Salah satu kampung kusta yang pernah saya kunjungi adalah Sumberglagah. Jauh dari apa yang sebelumnya saya bayangkan.

Sebelumnya kusta saya kenal sebagai penyakit kuno dalam pelajaran sekolah dasar pada 1980-an. Penderita kusta bisa mengalami disabilitas. Mereka mengalami mati rasa dan pemendekan jari jemari atau kiting. Pengetahuan ini begitu melekat hingga kekhawatiran bisa saja muncul kapanpun ketika bertemu dengan orang yang mengalami kusta.

Pertama kali memasuki dusun Sumberglagah tidak nampak tanda-tanda kengerian dan kemiskinan. Beberapa pemuda tampan dan gadis cantik nampak beraktivitas selayaknya sebuah dusun. Terlihat bangunan-bangunan rumah permanen. Sebagian dari mereka bahkan memiliki toko, mobil dan sepeda motor.

Tak ada kesan kampung kusta di sini. Namun ketika lebih dekat ngobrol dengan warga dusun dengan usia sekira 50- 60 tahun, dari ciri fisiknya saya baru mengetahui. Mereka mengalami disabilitas akibat kusta, rata-rata pada jari-jari tangan yang memendek atau kiting.

Awal mula kedatangan saya di dusun tersebut. Pada 2014 untuk pertama kalinya, seorang warga di dusun tersebut meminta bantuan Lingkar Sosial (LINKSOS). Menurutnya masih ada diskriminasi kelompok masyarakat dengan disabilitas kusta tempat ia tinggal.

Sekilas Dusun Sumberglagah

Dusun Sumberglagah berada di Desa Tanjung Kenongo Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Sekira 104 Kepala Keluarga (KK) atau sekira 700 jiwa menghuni dusun tersebut. Semuanya merupakan pendatang dari daerah lain. Khususnya warga asal Kabupaten Mojokerto mendominasi lebih dari 25 persen. Secara umum, 70 persen penghuni dusun tersebut pernah mengalami kusta dan sudah sembuh, 30 persen sisanya merupakan keluarga atau anak cucu.

Awal mula adanya dusun ini, orang-orang yang yang berhasil sembuh dari kusta enggan pulang ke kampung asal. Mereka memulai kehidupan barunya jauh dari sanak saudara dan teman dekat. Menempati tanah Pemerintah seluas 51.050 m2 yang berada tepat di sebelah timur Rumah Sakit Kusta Sumberglagah.

Alasan warga enggan pulang ke kampung halaman, karena mereka mengalami penolakan dan diskriminasi dari tempat asal. Apalagi di tempat baru saat ini, mereka mendapat perhatian pemerintah berupa fasilitas seperti lahan pemukiman, sawah dan bahan sembako. Mereka lebih nyaman tinggal dan bersosialisasi dengan sesama OYPMK.

Semakin banyak OYPMK menetap di daerah Sumberglagah beserta anak cucu. Namun dalam jangka panjang, mereka riskan mengalami penggusuran lahan. Sebab menumpang di lahan milik pemerintah.

Stigma Masyarakat

Aktivitas sehari-hari warga dusun Sumberglagah yang nampak adalah bertani, menjaga warung/toko serta pengajian rutin. Warga dusun hampir tidak melakukan aktivitas bersama desa sekitar. Bahkan beberapa pemuda mengaku menyamarkan identitas, mengaku sebagai warga dusun lain ketika keluar desa karena khawatir mengalami penolakan.

Perekonomian warga berasal dari pertanian dan perdagangan serta bantuan rutin pemerintah berupa sembako per-bulan. Beberapa warga mengaku melalukan aktivitas mengemis, namun melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Sekira 40 persen warga bekerja sebagai petani, selebihnya mengaku kerja serabutan. Perdagangan menjadi kerja sambilan dengan membuka warung sembako.

Sementara para pemuda banyak mengalami pengangguran. Stigma kusta sebagai penyakit yang berbahaya menyebabkan warga dusun sulit memperoleh pekerjaan. Yang mengejutkan, beberapa pemuda mengaku berprofesi sebagai tukang ojek khusus pengemis. Mereka melakukan antar jemput dan pindah lokasi para pengemis. Wilayah sasaran mereka diantaranya Surabaya, Malang dan Blitar.

Terbatasnya akses sosial dusun Sumberglagah terhadap lingkungan sekitar berpotensi menghambat perkembangan ekonomi, melahirkan kemiskinan, pendidikan rendah, kesehatan yang buruk serta berbagai persoalan lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum bagi para penggiat organisasi kusta, banyak pengemis berasal dari kampung kusta. Stigma yang membayangi hidup mereka menyebabkan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun tak semuanya, beberapa diantara mereka tidak mau mengemis dan hidup dari pekerjaan yang layak.

Para pegiat kusta sebagian memilih tidak mengungkap fakta ini. Atas pertimbangan dampak makin bertumpuknya stigma yang akan dialami OYPMK. Aktivitas mengemis merupakan wujud budaya kemiskinan atau multi struktural.

Perbedaan pandangan antara pemerintah, tokoh tua dan tokoh muda

Stigma masih menjadi topik utama dalam perikehidupan orang dengan disabilitas kusta. Peran pemerintah selama ini belum menemui titik yang konkret dalam memberikan hak bagi kusta.

Upaya pemerintah diantaranya pada 2014 yang mengubah nama tempat pasien kusta dirawat dari Rumah Sakit Kusta menjadi Rumah Sakit Infeksi. Tujuannya untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang penyakit kusta yang sudah terlanjur berkonotasi negatif. Agar masyarakat tidak segan-segan datang ke rumah sakit kusta meskipun untuk mendapatkan layanan kesehatan umum.

Namun dari upaya ini menimbulkan perbedaan pandangan dan sikap. Sebagian warga yang merasa dirugikan.

Yang pertama, untuk apa istilah kusta diganti infeksi. Kami tidak malu disebut orang kusta, karena memang ini adanya, kata seorang tokoh masyarakat. Kedua, istilah kusta mendatangkan rejeki, kami bisa membuat proposal untuk pembangunan dusun dan menurunkan sembako dari perusahaan-perusahaan. Membuat lebih baik infrastruktur kampung kusta dibanding dusun/desa sekitarnya.

Namun berbeda lagi dengan pendapat beberapa anak muda yang menginginkan perubahan. Mereka membangun jaringan dengan organisasi peduli kusta agar kampungnya terbebas dari stigma, termasuk menghadirkan Lingkar Sosial pada 2014.

Dukungan organisasi sosial

Endro Susmanto, mantan Kordinator Wilayah Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) Jatim, pada 2013- 2017, mengakui bahwa orang yang mengalami kusta kerap diidentikkan dengan pengemis. Dan faktanya memang, sebagaian OYPMK sengaja memanfaatkan hambatan fisiknya untuk mendapat belas kasihan. Faktanya pula kota tempat ia tinggal, Blitar menjadi salah satu tujuan aktivitas tersebut.

Di saat kami berjuang agar kawan- kawan bisa mandiri melalui komunitas pemberdayaan, di saat itu pula ada yang mempengaruhi untuk mengemis saja, ungkap Endro (28/1) usai peringatan Hari Kusta Sedunia 2018 di Blitar.

Endro menyerukan kepada warga kusta agar membangkitkan semangat kemandirian hidup. Selain itu, Pemerintah juga semestinya memberikan solusi yang tepat agar OYPMK bisa hidup layak tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Utamanya hak pelayanan kesehatan dan perekonomian agar kami bisa setara dengan yang lainya.

Kunjungan kegiatan mahasiswa dan organisasi peduli kusta sering ada di dusun ini. Namun stigma negatif kusta belum mampu terkikis total karena berbagai hal. Beberapa organisasi yang pernah berkegiatan di Sumberglagah di antaranya Lingkar Sosial (Linksos), Leprosy Care Community Universitas Indonesia (LCC UI), serta organisasi lokal Pemuda Pemudi Peduli Kusta (P3K) Mojokerto.

Lingkar Sosial bergerak lintas batas menghubungkan satu organisasi dengan organisasi lainnya untuk advokasi bersama. Anak-anak mahasiswa yang yang memotori LCC UI kerap membuat work camp di kampung-kampung kusta untuk menghentikan diskriminasi. Tidak ketinggalan, warga setempat bergerak melalui P3K Mojokerto. Semua kegiatan bermuara pada hapus stigma dan stop diskriminasi.

Tak hanya di Jawa Timur, jauh sebelumnya, organisasi NLR, GPDLI, YTLI, dan Permata telah melakukan kampanye dan advokasi sebagai upaya mengatasi persoalan sosial di kampung kusta.

Kerjasama lintas sektor sebagai solusi

Komunitas atau organisasi sosial telah menginisiasi upaya hapus stigma dan pemberdayaan warga. Hal yang semestinya menjadi tanggungjawab negara. Maka, Pemerintah harus mendukung upaya ini. Mengatasi persoalan sosial di kampung kusta memerlukan sinergitas lintas sektor.

CSR dan Program Keberlanjutan

Coorporate Social Responbility atau respon sosial perusahaan yang lebih terarah. Selama ini perusahaan sekitar dan pemerintah lebih banyak menurunkan bantuan sembako daripada upaya pemberdayaan. Artinya perusahaan masih menempatkan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) sebagai obyek bantuan. Contoh penerapan CSR antara lain bisa melalui pembinaan olahraga, koperasi, wirausaha dan lainnya.

Pemerintah wajib mengadakan pemberdayaan dengan proses berkelanjutan dari pelatihan, permodalan, kontrol usaha, evaluasi, pelatihan lanjutan, dan seterusnya. Proses pemberdayaan ini harus melibatkan perangkat desa dari tingkat RT serta organisasi kusta sebagai fungsi kontrol. Hal ini untuk memastikan OYPMK mampu mandiri dan berkembang usahanya.

Similar Posts

Skip to content