Saran untuk Justice for Disability

1
3 minutes, 30 seconds Read
Listen to this article

Sebagian besar penyandang disabilitas tidak sempat berfikir tentang akomodasi yang layak di pengadilan ketika masih dalam keadaan miskin, sakit dan tidak berpendidikan. Adil dan sejahtera itu satu paket, jadi harus diperjuangkan bersama.

Konsorsium Justice for Disability (JFD) bekerja sama dengan LBH Disabilitas Indonesia menggelar workshop seputar akses keadilan disabilitas berhadapan dengan hukum, 7-8 Juni 2023 di Malang. Tujuan workshop secara umum untuk meningkatkan akses keadilan bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.

Workshop juga bertujuan meningkatkan kapasitas dan pengetahuan mengenai advokasi kebijakan di Jawa Timur dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Tak hanya itu, workshop juga membahas strategi dalam mendorong peraturan daerah mengenai pemenuhan hak penyandang disabilitas di Jawa Timur serta memperkuat jaringan advokasi kebijakan.

 

Sebaiknya melibatkan dinas terkait

Selengkapnya, workshop Capacity Building ini bertema “Mendorong Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur dalam Pemenuhan Hak Hak Penyandang Disabilitas serta Perlindungan Hukum dan Bantuan Hukum bagi Penyandang Disabilitas.” Dalam kesempatan ini, pascaworkshop beberapa peserta memberikan masukan.

“Pelajaran yang bagus dalam workshop tersebut terkait peraturan daerah, psikologi, kebijakan serta strategi advokasi,” puji Ananta, salah satu peserta dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kota Malang.

Ananta menyarankan agar dalam acara selanjutnya juga mengundang dinas terkait, misal Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan lainnya baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi. Agar kami sebagai subyek dan bukan obyek, menyampaikan informasi dan data langsung kepada pemangku kebijakan.

Harapan senada disampaikan oleh perwakilan HWDI Malang, Siska Budianti. Ia berharap berbagai masukan dari penyandang disabilitas dalam workshop bisa sampai kepada pemangku kebijakan. “Saya nitip pesan saja soal perspektif disabilitas dan etika berinteraksi dengan disabiltas bisa dimasukkan dalam diklat calon PNS dan syarat kenaikan jabatan dimasukkan dalam Raperda,” kata Siska sapaan akrabnya.

 

Pelibatan disabilitas dalam penyusunan Raperda

Peserta lainnya, Widi Sugiarti berharap pelibatan lintas komunitas dalam kegiatan Justice for Disability berkelanjutan. Manager Program Lingkar Sosial Indonesia LINKSOS ini mengatakan wajib hukumnya melibatkan penyandang disabilitas dalam penyusunan Raperda Disabilitas baik di lokal Kota/kabupaten maupun Jawa Timur.

“Akan ada banyak masukan jika kami dilibatkan secara penuh dalam penyusunan Raperda Disabilitas, sebab kami organisasi disabilitas adalah pelaku advokasi,” tandas Widi. Jangan sampai Raperda hanya copy paste saja, sehingga tidak ada manfaat nyata bagi penyandang disabilitas dalam konteks kebutuhan lokal.

Widi mencontohkan advokasi di bidang kesehatan. Terdapat praktik baik di Malang yaitu Posyandu Disabilitas. Inovasi ini bermaksud memangkas birokrasi pemenuhan layanan kesehatan dasar penyandang disabilitas yaitu terapi.

“Selama ini terapi disabilitas hanya terdapat di faskes tingkat III sebagai layanan sub spesialistik, misalnya fisio terapi. Sementara terapi itu kebutuhan dasar penyandang disabilitas. Seharusnya terapi dasar bagi penyandang disabilitas ada di faskes tingkat I, sehingga kami tidak perlu berurusan dengan birokrasi rujukan yang panjang. Bagi kami keluarga disabilitas dengan hambatan mobilitas hal ini memerlukan biaya transportasi dan kebutuhan lainnya yang tak sedikit.

Widi menjelaskan, Posyandu Disabilitas merupakan layanan kesehatan berbasis kebutuhan ragam disabilitas dan bersumber daya masyarakat. Posyandu Disabilitas memiliki layanan terapi gratis di desa/kelurahan. Namun sayangnya, adanya terapi hanya bersifat bantuan saja dari rumah sakit, sebab tak ada regulasi yang mewajibkan layanan terapi di faskes tingkat I.

“Kami ingin terlibat dalam penyusunan Raperda agar solusi seperti Posyandu Disabilitas ini diatur dalam regulasi, sehingga memilki tata kelola yang lebih baik dan dibiayai oleh negara,” pungkasnya.

 

Keadilan dan kesejahteraan itu satu paket

Sementara itu, dalam kesempatan terpisah Pendiri Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), Ken Kerta mengapresiasi upaya konsorsium Justice for Disability (JFD) dan LBH Disabilitas. Ken mengungkap bahwa advokasi akses keadilan disabilitas berhadapan dengan hukum di lokal Malang masih lemah karena berbagai faktor. Hadirnya JFD di Malang adalah sebuah harapan baru.

“Pemahaman akses keadilan penyandang Disabilitas berhadapan dengan hukum selama ini masih difokuskan pada masalah peradilan yang berkaitan dengan Aparat Penegak Hukum atau APH, dan menurut kami itu tidak cukup,” kata Ken Kerta (9/6 2023) di Jakarta.

Ken mengungkap, sebagian besar penyandang disabilitas tidak sempat berfikir tentang akomodasi yang layak di pengadilan ketika masih dalam keadaan miskin, sakit dan tidak berpendidikan. Adil dan sejahtera itu satu paket, jadi harus diperjuangkan bersama.

Ken juga berharap, Konsorsium Justice for Disability dalam kegiatannya tak hanya melibatkan APH dan Dinas Sosial saja, melainkan juga melibatkan dinas terkait kebutuhan dasar, misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Tenaga Kerja.

“Kami siap berkontribusi penuh dan berbagai peran untuk mencapai tujuan Konsorsium Justice for Disability dalam memperjuangkan akses keadilan disabilitas berhadapan dengan hukum,” pungkas Ken.

(admin)

 

Similar Posts

Skip to content