Sebagai bentuk komitmen pada upaya pemberdayaan difabel dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, Lingkar Sosial Indonesia kembali meluncurkan inovasi, kali ini produk ramah lingkungan, yaitu batik ciprat dengan pewarna alami. Bahkan realisasi gagasan produk zero waste atau tanpa limbah ini juga didorong oleh keprihatinan adanya pandemi Covid-19.
Berbeda dengan produk batik ciprat lainnya yang menggunakan pewarna sintesis atau kimia buatan, workshop pemberdayaan masyarakat Omah Difabel Lingkar Sosial menggunakan air rebusan daun, kayu dan kulit pohon sebagai bahan pewarna.
Terdapat tiga hal penting yang kita capai inovasi ini, yaitu yang pertama pasar baru bagi produk batik ciprat dengan pewarna alami. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat sekira 15 kelompok difabel produsen batik ciprat dengan pewarna sintesis, dan kami memulainya dengan pewarna alami yang lebih ramah pada lingkungan.
Yang kedua kontribusi positif bagi lingkungan sebab limbah dari produk ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk atau kompos bagi tanaman. Sehingga produk batik ciprat dengan pewarna bahan alami termasuk dalam kategori zero waste atau tanpa limbah.
Dan yang ketiga adalah dukungan kami terhadap dunia atas upaya new normal atau tatanan kehidupan baru dalam mensikapi pandemi Covid-19, bukan hanya soal kebiasaan menggunakan masker, mencuci tangan serta melakukan physical distancing, melainkan sikap dan perilaku hidup yang lehih seimbang dan ramah lingkungan.
Teknis pembuatan batik ciprat dengan pewarna alami
Secara teknis pembuatan batik ciprat ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu pertama persiapan warna, kedua pencipratan lilin atau malam pada kain, ketiga pewarnaan, keempat perebusan kain untuk menghilangkan lapisan lilin, dan terakhir pencucian dan pengeringan.
Untuk persiapan warna, kita bisa menggunakan sumber daya alam secara terbatas dengan prinsip daur ulang. Secara terbatas artinya tidak perlu melakukan eksploitasi alam seperti penebangan pohon, pengalian mineral dalam tanah dan lain-lain. Sedangkan daur ulang artinya bisa dipergunakan berulang kali, yang terakhir ampas atau limbahnya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Untuk mendapatkan warna coklat misalnya dengan memanfaatkan kulit batang mahoni, warna merah dari batang secang, warna hijau dari daun pohon jambu biji atau daun tanaman kenikir, serta perpaduan beberapa bagian pohon dan tanaman untuk menciptakan warna yang unik.
Omah Difabel berharap khususnya di bidang permodalan dan keberlanjutan usaha, agar inovasi berdampak lingkungan dan pemberdayaan ini didukung oleh Pemerintah dan CSR Perusahaan serta masyarakat luas.
Pers rilis ini dibuat oleh Yayasan Lingkar Sosial Indonesia, Senin 1 Juni 2020 di Omah Difabel, Dusun Setran, Desa Bedali, Kec. Lawang, Kab. Malang. Informasi lebih lanjut, wawancara, foto dan video hubungi Ketua Pembina Lingkar Sosial Indonesia, Kertaning Tyas di whatsapp 0857 6463 9993