Gratiskan Biaya Berobat hingga Jemput Pasien ke Rumah

4 minutes, 39 seconds Read
Listen to this article

4 December 2019 9:45 am

Jiwa sosial Kertaning Tyas tergolong tinggi. Dia tergerak fokus menjadi pendamping kaum disabilitas setelah melihat sendiri lemahnya layanan kesehatan bagi mereka. Sejak 2014, dia mendirikan Komunitas Lingkar Sosial (Linksos).

Baca sumber berita: https://radarmalang.id/gratiskan-biaya-berobat-hingga-jemput-pasien-ke-rumah/

NUGRAHA PERDANA

Nama Kertaning Tyas lumayan dikenal di kalangan penyandang disabilitas. Terlepas ada yang bersuara minor terhadapnya, tapi kiprahnya dalam memberikan perhatian bagi penyandang disabilitas patut diapresiasi. Dia adalah salah satu yang menginisiasi lahirnya Posyandu Disabilitas di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.

Dia juga mencetuskan Desa Inklusi hingga menjadikan Bedali sebagai inisiator program desa inklusi di Indonesia. ”Harapannya, Posyandu Disabilitas tersebut guna menjamin kesetaraan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas dan dapat diterapkan di desa-desa seluruh Indonesia,” kata Kertaning Tyas saat ditemui kemarin.

Posyandu Disabilitas itu dirancang memberi kesehatan maksimal pada anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas. Pendiriannya juga sudah disepakati dalam Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) Bedali Rabu lalu (20/11).

Posyandu itu juga didukung elemen masyarakat mulai dari perangkat desa, Badan Permusyawaratan Daerah (BPD), bidan desa, perawat desa, tim penggerak PKK, karang taruna, serta perwakilan penyandang disabilitas.

Selain itu, dukungan penuh dari dinas sosial, RSJ Radjiman Wediodiningrat, dan Puskesmas Lawang. Sementara dari organisasi non-pemerintah hadir pula Forum Malang Inklusi dan Baitul Maal Hidayatullah (BMH).

”Musyawarah tersebut menghasilkan perencanaan kegiatan pelayanan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan secara gratis, layanan fisioterapi, konseling, antar jemput penyandang disabilitas dari rumah masing-masing ke lokasi posyandu. Serta yang unik adalah pemberdayaan ekonomi pasca rehabilitasi,” tandas pria asal Bedali Lawang ini.

Pendirian Posyandu Disabilitas ini bermula ketika dia mendengar keresahan para penyandang difabel saat mengadakan pelatihan kewirausahaan. Mereka curhat soal layanan kesehatan minim, ketersediaan alat kurang, dan butuh transportasi dari rumah ke posko rehabilitasi.

Lalu dia melalui Linksos membuat Posyandu Disabilitas. ”Posyandu ini selain memberi layanan kesehatan gratis, juga ada fisioterapi, konseling, parenting, kepastian tempat terapi, dan antar jemput bagi difabel yang memerlukan ke lokasi posyandu,” kata peraih Hasta Komunika Award 2016 ini.

Posyandu ini sekaligus juga menjadi tempat pelatihan wirausaha, permodalan, dan pemasaran produk difabel dan kader posyandu.

Dirinya menceritakan, awal terjun di kegiatan sosial itu setelah bertugas meliput kondisi desa tertinggal di Sumatera Selatan pada 2010. Saat itu dia tergerak untuk menjadi bagian dari solusi persoalan itu. Terutama masalah kesehatan warga disfungsi sosial dan kaum disabilitas. ”Dari meliput desa tertinggal yang tidak memiliki akses kesehatan hingga niat tersebut tiba dan ingin berbuat baik di Malang. Hal tersebut menjadi beban moral bagi saya,” jelasnya.

Dari situlah terpanggil jiwanya untuk mendirikan Komunitas Lingkar Sosial (Linksos). Ini adalah organisasi penggerak inklusi. Berdiri pada tahun 2014 di Malang sebagai sebuah perkumpulan yang fokus pada upaya pemberdayaan penyandang disabilitas melalui kelompok kerja.

Organisasi ini juga komitmen menggalang gerakan inklusi di Malang Raya. Tahun 2016 bersama lintas komunitas, Lingkar Sosial mendirikan Forum Malang Inklusi. Pada tahun 2017 organisasi ini kemudian berbadan hukum yayasan.

Awal berdirinya komunitas ini terfokus pada kegiatan pembentukan kelompok kerja difabel untuk membuka peluang kerja baru bagi penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan Ken melihat masih banyaknya pengangguran dan pekerjaan yang layak menjadi masalah krusial bagi penyandang disabilitas.

”Meski undang-undang telah mengamanahkan kuota 1 persen difabel bekerja pada sektor swasta dan kuota 2 persen pada sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun rendahnya tingkat pendidikan rata-rata penyandang disabilitas serta minimnya keahlian mengakibatkan kesempatan untuk mengakses hal tersebut terbatas,” katanya.

Menjawab persoalan di atas, kelompok kerja difabel dibangun guna membuka kesempatan kerja baru bagi kelompok berkebutuhan khusus tersebut. Misi kelompok kerja ini adalah pemberdayaan penyandang disabilitas melalui optimalisasi SDM dan SDA yang tersedia.

Untuk pembiayaan dari kegiatan komunitasnya, Ken mengaku lebih banyak bersifat swadaya masyarakat berupa dana pribadi anggota, dana patungan antar anggota, serta dukungan masyarakat. ”Selain itu, sejak Mei 2019 Lingkar Sosial Indonesia bermitra dengan NLR (until No Leprosy Remains) untuk proyek Membangun Pokja Wirausaha Disabilitas,” ungkapnya.

Tantangan Lingkar Sosial dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat tentang disabilitas. Sebagian dari mereka menganggap organisasi penggerak inklusi ini banyak event dalam rangka pamer, mencari eksistensi, dan menjual isu-isu disabilitas. Ken sendiri bukanlah seorang penyandang disabilitas sehingga membuat heran banyak orang dan cukup menjadi perhatian ketika dia disebut pendiri Linksos.

Hal tersebut menimbulkan kecurigaan tersendiri di kalangan disabilitas. Banyak penyandang disabilitas yang menyukai kehadirannya. Namun, tak sedikit pula yang tidak menyukainya. Sehingga pada awal mendirikan Linksos, tidak sedikit isu-isu negatif yang muncul dan mengarah kepada Ken.

”Saya pernah dikira ingin mengambil keuntungan dalam kesempitan karena memanfaatkan teman-teman difabel, padahal tidak. Tapi, saya lebih banyak diam dan tidak merespons dan terus bekerja untuk membuktikannya langsung di lapangan yang hal ini akhirnya menimbulkan rasa percaya dari kawan-kawan yang lain,” kata pria kelahiran Madiun itu.

Kemudian di awal tahun 2019, Lingkar Sosial Indonesia menginisiasi lahirnya Forum Lintas Organisasi regional Jawa Timur, yaitu Forum Jatim Inklusi (FOJI). Ini forum lintas organisasi yang sepakat mendorong terciptanya Malang Raya ramah disabilitas pada ranah kesehatan.

Kegiatan pertama yang dilakukan Forum Jatim Inklusi adalah menggelar aksi simpatik bersama dinas kesehatan dalam peringatan World Leprosy Day 2019 di Lamongan. Lingkar Sosial Indonesia juga bergabung dalam Global Partnership of Zero Leprosy sebuah kelompok kerja sama internasional yang sepakat untuk mengakhiri kusta atau hansen.

”Selain itu, Linksos berjejaring dan berkolaborasi dengan Aliansi Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa sebagai respons cepat melawan kampanye partai politik yang dinilai mengeksploitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai objek. Lahirnya aliansi ini juga didasari atas keresahan para penggiat kesehatan jiwa atas berbagai perundungan yang menimpa ODGJ,” ungkapnya.

Lingkar Sosial Indonesia terlibat juga di sejumlah gerakan disabilitas nasional dan internasional. Salah satunya, pada Mei 2019 Linksos ikut berpartisipasi dalam FGD Organisasi Penyandang Disabilitas bersama Clinton Health Acces Initiative (CHAI), Kementerian Sosial RI, Bappenas, dan lintas jaringan nasional DPO.

Mereka membahas permasalahan data disabilitas, tantangan, potensi dan solusi dalam pemenuhan teknologi dan alat bantu disabilitas menuju Indonesia Inklusi 2030 di Jakarta.

Pewarta : * Copy Editor : Dwi Lindawati. Penyunting : Abdul Muntholib

 

Similar Posts

Skip to content