Gotong Royong Permodalan untuk Omah Difabel

3 minutes, 6 seconds Read
Listen to this article
dari kiri: x banner Omah Difabel, Sinta, Fenny, Ezra, Ken, Ayah, Widi, Yayuk, dan Ekowati, mereka sedang memegang hasil percobaan membuat batik ciprat, Rabu 31/3 2021 di Bengpro Bedali Indah
Omah Difabel merupakan program wirausaha Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Para difabel yang bergabung didalamnya sungguh beruntung, tak usah repot-repot cari sponsor kegiatan, lintas sektor sudah mendanai kegiatan mereka. Saya sebagai Pembina melihat hal ini sebagai “buah laku,” atau hasil perjuangan berpegang pada prinsip. Sejak berdirinya organisasi ini, tahun 2014 kami bertekad swadaya masyarakat. Dadi wong ojo njalukan ning paweha, atau menjadi orang jangan kebiasaan meminta-minta tetapi memberilah! Demikian ajaran yang saya tanamkan kepada anggota.

Beberapa bidang usaha yang didanai oleh lintas sektor yaitu:

  • Produksi telor asin, didukung SMAN 3 Malang melalui kegiatan donasi Pagelaran Seni Citra Smanti (PSCS)
  • Produksi keset, didukung Kementerian Dalam Negeri BEM, LKM FISIP Universitas Brawijaya melalui kegiatan yang bernama Jingga Berbagi
  • Produksi Kopi Herbal KOERJA, didukung mahasiswa Program Studi (Prodi) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) melalui Program Holistik Pembinaan dan Pemberdayaan Desa (PHP2D)
  • Produksi Batik Ciprat, didukung oleh BMH Jatim Gerai Malang, juga didukung oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasigi) Universitas Brawijawa,  melalui kegiatan Sociology Solidarity Scholarship2020
  • Produksi Masker dan Hazmat, didukung oleh KSR PMI Universitas Negeri Malang melalui Program Holistik Pembinaan dan Pemberdayaan Desa (PHP2D). Sebelumnya di awal pandemi, sekira Maret 2020 produksi masker dan hazmat bekerjasama dengan PKRS RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang sehingga distribusinya meluas hingga luar Jawa, yaitu Sumatera dan Kalimantan

Tak hanya oleh lembaga, Omah Difabel juga disponsori oleh orang-orang baik. Sebut saja Nur Asrori warga Singosari, ia yang mengawali bisnis produksi keset. Lalu Suhadak, difabel juga warga Singosari yang menginisiasi bisnis kopi. Kemudian Joko Kurnianto warga Lawang, ia memberikan modal awal produksi Topeng Malangan. Lantas teranyar Anggra Dwi Sintawati, warga Lawang yang kini tengah membangun wirausaha budidaya ulat untuk bahan kosmetik.

Serta bukan hanya permodalan, Omah Difabel LINKSOS juga mengakses berbagai macam pelatihan wirausaha baik dari Pemerintah, swasta, maupun komunitas.

Perjalanan mengubah cara pandang

“Ayo mas, membuat proposal ke Dinas Sosial, cari bantuan,” demikian kata-kata itu duluuu kerap kali terdengar, tepatnya sejak tahun 2015. Sementara saya lebih terbiasa memberi juga tidak sabaran menunggu proses birokrasi anggaran. Saya menyadari proses birokrasi bahwa mengusulkan anggaran ke Pemerintah tahun ini bisa cair tahun depan, itupun kalau cair, sebab dinas pemerintah mestinya juga punya skala prioritas.

Maka kebijakan saya adalah swadaya saja, yang persoalan utamanya bukan birokrasi namun terkait visi dan misi organisasi. Sebab akan sangat lucu jika mendirikan organisasi pemberdayaan masyarakat tapi kerjaannya cari-cari bantuan sosial.

Maka diputuskan pada tahun 2015 LINKSOS membentuk kelompok kerja (pokja) difabel berbasis swadaya masyarakat. Strategi pemenuhan kebutuhannya adalah saling sharing job, sharing jaringan, dan sharing modal.  Organisasi juga memutuskan tidak menfasilitasi anggotanya mencari bantuan sosial. Lantas hasilnya? Ada respon negatif dan positif.

Respon negatif, secara bertahap para anggota pokja difabel mundur alon-alon dan nyaris habis. Tepatnya dari 15 orang mrotol jadi 2 orang, difabel pasangan suami istri. Alasan pengunduran diri sebab kecewa ikut organisasi kok nggak dapat bantuan, lalu beberapa mereka nampak berpindah ke komunitas yang sarat dengan program-program bansos. Ya, bukan soal dan tak ada yang salah.

Respon positif, difabel pasangan suami istri yang tersisa sebagai anggota pokja difabel hingga saat ini, sebut saja Suhaedin dan istrinya. Dari dua orang tersebut kini tumbuh kembang menjadi 327 warga dampingan LINKSOS. Dari ratusan orang itu tentu dengan berbagai level kesadaran, ada yang sudah berprinsip mandiri, ada juga yang masih kental dengan stigma diri.

Harapan saya sederhana, ayo komunitas difabel semuanya tumbuh kembang secara mandiri, jika ingin belajar strategi merangkum jaringan boleh kok magang di LINKSOS. Dan kepada Pemerintah mari tingkatkan program kualitas pemberdayan bagi difabel. Selama ini banyak pelatihan yang selesai pelatihan ditinggal begitu saja tanpa pembinaan. Kami siap bekerjasama untuk program pemberdayaan berkelanjutan. (Ken)

 

Similar Posts

Skip to content