Dialog Nasional Kesehatan Disabilitas dan Kusta, 20/12 2022 di Ibis Style Malang bersama Pelita, LINKSOS, NLR, Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, KND, dan Tim Stafsus Presiden
Dialog Nasional Kesehatan Disabilitas dan Kusta, 20/12 2022 di Ibis Style Malang bersama Pelita, LINKSOS, NLR, Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, KND, dan Tim Stafsus Presiden

Dialog Nasional Kesehatan Disabilitas dan Kusta di Malang

3 minutes, 36 seconds Read

Masih tingginya angka kusta di Indonesia dan stigma melatarbelakangi adanya Dialog Nasional bertajuk Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas dan Kusta, Selasa, 20 Desember 2022 di Malang.

 

Dialog menghadirkan penanggap dari Staf Khusus Presiden RI, Komnas HAM, Komnas Disabilitas dan Kementerian Kesehatan RI. Kegiatan secara hybrid ini terlaksana atas kerjasama Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), Konsorsium Pelita Indonesia, dan NLR Indonesia.

 

Kasus baru kusta di Indonesia masih menempati urutan ke 3 setelah India dan Brazil dengan jumlah sekitar 17 ribu per tahun. Pada tahun 2010, Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 atau 10,71% di antaranya ditemukan dengan deformitas atau disabilitas tingkat 2. Angka tersebut menunjukkan bahwa kusta masih memerlukan perhatian yang lebih serius dalam upaya pengendalian penularan, dan stigma sosial yang masih tinggi.

 

Pemaparan narasumber

 

Dipandu oleh moderator Unita Werdi Rahajeng,  tiga narasumber memaparkan beberapa topik seputar hak kesehatan disabilitas dan kusta. Narasumber pertama Kertaning Tyas  dari LINKSOS dengan topik pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan disabilitas dan kusta. Ia juga mengulas praktik baik Posyandu Disabilitas di Kabupaten Malang serta Kader Kusta di Kabupaten Pasuruan.

 

Kemudian pemateri kedua, Bejo Riyanto dari Konsorsium Pelita. Ia mengangkat soal pemenuhan hak kesehatan bagi penyandang disabilitas. Topik ini mengungkap beberapa persoalan kesehatan di antaranya akses dan ketersediaan obat-obatan khusus yang terbatas utamanya yang ada di daerah. Bejo juga membahas  alat bantu sebagai kebutuhan penyandang disabilitas yang seharusnya dijamin.

 

Pemateri ketiga, Angga Yanuar dari NLR Indonesia mengulas seputar Zero Exclusion Program. Beberapa rekomendasi penting disampaikan oleh pemateri ini di antaranya bahwa Indonesia memerlukan peta jalan kusta yang mengacu pada global leprosy strategy 2021-2030. Angga Yanuar juga menyebut bahwa kelangkaan obat kusta MDT di beberapa puskesmas menuntut tindakan pencatanan dan pelaporan yang lebih terintegrasi.

 

Menyimak ulasan penanggap

 

Yustitia Arief dari tim Staf Khusus Presiden (SKP) menandaskan bahwa penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak disabilitas dan kusta tidak lepas dari perpektif HAM yang melekat tiap manusia. Menurutnya, komitmen Negara terhadap pemenuhan hak disabilitas dan kusta sudah tercermin dari berbagai peraturan yang sudah ada diantaranya PP Nomor 70/2019 tentang perencanaan dan penyelenggaraan pemenuhan hak disabilitas.

 

“Disana ada tujuh sasaran strategis, termasuk akses dan pemerataan layanan kesehatan,” terang Yustitia Arief.  Ada empat kebijakan di dalam sasaran itu di antaranya peningkatan kemampuan penyedia layanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas dan praktik baik seperti posyandu disabilitas dan edukasi pada penyedia layanan kesehatan.

 

Sementara itu, Anis Hidayah dari Komnas HAM memberikan beberapa catatan penting terkait realitas isu kusta yang masih sangat di pinggir dari pada isu disabilitas lainnya.  Di antaranya adalah kesediaan data yang terbatas, nampak dari adanya data-data lama yang masih digunakan. Menurut Anis data sangat penting sebagai dasar tindak lanjut untuk menjamin hak-hak disabilitas dan kusta.

 

“Layanan kesehatan juga bukan hanya pengobatan, tetapi akses yang mudah, kualitas akses yang terjangkau, serta bagaimana resiliensi yang berbasis masyarakat sebagai sebuah gerakan ini penting untuk didukung,” ujar Anis Hidayah. Komnas HAM menaruh isu disabilitas sebagai salah satu dari sembilan isu protitas dan mendarong pemeringtah memiliki paradigma inklusif tentang kusta.

 

Kita mendrong agar pemerintah segera meratifikasi optional konvensi internasional yang menentang  penyiksaan sebab masih terjadi praktik pada teman-teman disabilitas atas nama rehabilitasi dan pengobatan.

 

Selaras disampaikan Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan, Eva Susanti bahwa Penyandang disabilitas harus memiliki hak memperoleh standar kesehatan tertinggi yang bisa dicapai tanpa diskriminasi. Direktorat berharap bantuan dan kerjasama dari organisasi profesi untuk mencapai pelayanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas agar terjangkau di seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas dapat menikmati proses pelayanan kesehatan.

 

 

Tanggapan peserta

 

Beberapa peserta Dialog Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Penyandang Disabilitas dan Kusta, baik secara online maupun offline menyampaikan beberapa tanggapan dan pertanyaan. Di antaranya disampaikan oleh Kepala Puskesmas Nguling, dr Eko Santoso Machfur.

 

“Menurut saya istilah OYPMK atau istilah orang yang pernah mengalami kusta ini masih bersifat minor, lebih baik diubah menjadi bahasa yang lebih familier, jadi tidak ada kata ‘bekas’,” kata Eko sapaan akrabnya. Untuk menghilangkan stigma, harus sering menampilkan hal-hal baik yang mampu mengangkat derajat mereka di sisi sosial.

 

Sepakat disampaikan Angga Yanuar, menurutnya menampilkan pesan baik dan menguatkan citra tentang kusta itu memang menjadi satu hal yang harus dilakukan bersama. “Kami tengah memproduksi model-model KIE serta meminta beberapa kepala daerah untuk bertestimoni dengan video singkat untuk mempromosikan penghapusan diskriminasi kepada OYPMK,” tukasnya.

 

(admin)

 

Video Dialog Nasional Pemenuhan Hak Kesehatan Disabilitas dan Kusta

 

 

 

 

Similar Posts

Skip to content