hirza

Saya Ingin Menjadi Difabel Lagi

3 minutes, 45 seconds Read
Pengakuan difabel yang ingin bertaubat dan kembali ke hakikatnya.
hirza
M. Hirza Barizi
Penulis adalah Anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala)

“Apa yang berubah sekarang?” mahasiswi itu melanjutkan pertanyaannya.

Saya menjelaskan bahwa memasuki usia dua puluhan rasanya saya lebih pintar tapi di sisi lain lebih malas.

Di wawancara seperti ini, selain berlatih ilmu bercakap, memungkinkan saya untuk mengumbar aib.

“Ratusan buku sudah saya baca, dan ratusan jam saya habiskan presentasi di kelas. tapi kok malah dulu saya lebih mengalir dalam berbicara dan menulis,” saya memberi contoh.

“Ada yang terkait disabilitas?” tanyanya lagi.

Terkait disabilitas. Saya terdiam. Pertanyaan-pertanyaan disabilitas selalu menambah beban tambahan di pikiran. Saya bingung mau berkata apa. Karena saya jarang memikirkan tentang disabilitas.

“Perubahan?” ia memberi klu tambahan.

di wawancara seperti itu juga memungkinkan saya untuk berefleksi (baca: mengorek aib sendiri). Saya tersenyum pahit. Tubuh menegak. Penemuan besar siap meluncur dari mulut saya.

“Kamu tahu, gak?” kata saya dengan gaya penutur cerita handal yang tak mau segera mengungkap “mungkin kamu gak percaya ini. Memang terdengar gak masuk akal.”

“Apa itu?”

“Kamu percaya, gak? Ada namanya perasaan excited menjadi difabel. Sulit dijelaskan. Tapi seperti perasaan euforia seolah mendapat jati diri baru.”

Saya memberi jeda. Membiarkan lawan bicara mencerna pengungkapan itu. Merasa senang menjadi difabel untuk pertama kali. Oh, siapa sangka mendengar itu. Dalam kepercayaan awam, mungkin dalam banyak kasus memang demikian, masa-masa awal menjadi difabel pasti terdengar suram dan putus asa.

“Aku dulu waktu baru-baru jadi tunanetra semangat  untuk cari tahu banyak hal tentang disabilitas. Begitu juga membagikan ilmu itu ke orang sekitar. Bisa dibilang advokasi, walau hanya keluarga atau lewat media sosial.”

Ia mengerti dari nada bicaranya yang ikut semangat. “Ya, ya. Seperti temanku dulu yang didiagnosis kesehatan mental dan sering memposting tentang kondisinya. Tapi sekarang tidak lagi.”

Grup-grup WhatsApp tunanetra dari seluruh Indonesia dan luar negeri yang tak tersisa satu pun di ponsel saya, kecuali grup kampus. Halaman Facebook tentang teknologi untuk tunanetra yang tak lagi pernah saya kunjungi. Dan riwayat pencarian internet yang isinya tak ada tentang disabilitas.

Bahkan sampai tingkat pikiran ketidakpedulian itu melanda. Tak lagi saya mengkhayal lingkungan yang ramah difabel dengan trotoar dan angkutan umum yang aksesibel. Tak lagi saya mengkhayal bersantai keliling kota seorang diri. Sementara dalam interaksi dengan orang lain, dulu saya yang angkat bicara dan bahkan hampir konfrontasional ketika menghadapi perilaku yang tak sesuai terkait disabilitas, kini cenderung memahami dan menerima.

Menutup wawancara Zoom itu, lebih banyak pertanyaan daripada kejelasan yang saya peroleh. Tidak, bukan banyak pertanyaan melainkan hanya ada satu, namun begitu besar. Apa yang melemahkan kepedulian saya tentang isu disabilitas? Dengan kata lain, kepedulian tentang saya sendiri?

Karena saya orangnya positif maka tuduhan pertama mengarah pada penerimaan diri. Saya sudah nyaman sebagai tunanetra sampai-sampai tidak lagi sadar dirinya seorang difabel. Transisi telah berjalan sempurna.  Hirza melihat dirinya sebagai manusia biasa.

Tapi penerimaan diri juga ada kemungkinan negatifnya yang kita sebut kepasrahan. Jangan-jangan saya kehilangan harapan akan terwujudnya khayalan dan aspirasi saya. Atau, passion saya memang bukan di sana. Nyatanya, bisa jadi ada 1001 alasan tergantung teori mana yang kita pakai. Dan karena akar masalah belum ditemukan, saya tak akan berpura-pura memaparkan resep menyembuhkannya. Untuk sementara, mengakui adanya masalah ini sudah cukup.

Dan kita juga perlu mengakui masalah ini selain pada ranah pribadi juga bisa menjangkiti pergerakan sosial dan politik secara luas. Katanya demokrasi Indonesia menurun mutunya setelah memuncak pasca Reformasi. Persepsi korupsi Indonesia merosot. Ini bukan pembenaran atas keadaan saya, tetapi peringatan. Konsistensi harus menang melawan “anget-anget tahi ayam,” yang secara akurat menggambarkan penyakit yang tak pernah lepas dari segala usaha manusia.

Secara tak sengaja mungkin kita sampai pada akar masalah tersebut. Saya adalah manusia, seperti halnya orang lain yang terlibat dalam pergerakan dan pembuatan kebijakan disabilitas. Manusia yang memiliki emosi, mood, dan prioritas yang berubah-ubah. Peradaban manusia telah membentuk cara untuk mengatasi berbagai rupa kekurangan sifat manusia. Ia adalah sistem. Contohnya saja sistem absen di sekolah dan kantor yang memaksa seseorang bangun di pagi hari. Ya, seorang murid yang bolos bisa menitip absen ke temannya. Tetapi setidaknya guru bisa mencocokan daftar hadir dengan siswa yang datang ke kelas dan hukuman bisa diberikan.

Kan, disabilitas sudah berwujud dalam sistem di Indonesia? Pemerintah mengundangkan peraturan pro-pemberdayaan. Lembaga seperti Komisi Nasional Disabilitas berdiri. Dan macam-macam inisiatif lainnya. Tetapi ada perbedaan antara sistem terbentuk dan sistem berfungsi. Postingan santai ini tidak menyelidiki lebih lanjut. Sistem adalah buatan manusia. Maka barangkali sistem juga bisa diturunkan ke diri individu. Apakah itu pemenuhan kebutuhan, atau jati diri, atau kewarganegaraan (civic duty), saya perlu menemukan sistem pribadi yang ampuh untuk menggerakkan dan mendisiplinkan semangat disabilitas yang saya rindukan itu.

Similar Posts

Skip to content