di bawah kepak hati Novel karya Anita FN Sukardi

Di Bawah Kepak Hati

26 minutes, 51 seconds Read
Listen to this article
Menerima kenyataan, tidaklah mudah. Namun, takdir harus tetap dijalani. Seberat apa pun itu, manusia patut legowo atas segala kehendak-Nya. Tuhan pasti telah mengukur kemampuan setiap hamba. Menjalani hidup sebagai seorang difabel netra baru, tidak gampang. Bahkan teramat berat. Tapi, Bulan Aksa Putri harus ikhlas menerima garis tangannya. Dan percaya, bisa melewati cobaan ini. Berdamai dengan kegelapan, harus dilakoni. Gadis itu yakin, dalam gelap ada cahaya. Kehilangan indera pengelihatan, membuat ketajaman mata batin terasah. Dia melihat dunia serta mendeskripsikan suasana, dengan mata hati.
Anita FN Sunardi
Anita FN Sunardi
Penulis Novel Remaja "Di Bawah Kepak Hati", Penerbit Laditri Karya ISBN 978-623-326-3

Kenangan Sang Bintang

Langkah ini terhenti, tepat di sebelah nisan bertuliskan satu nama. Perlahan, kuraba batu berukir itu dengan jemari kanan. Sementara lengan kiri ini, memeluk nisannya erat. Bening di pipi jatuh lagi, seiring hati mengeja huruf tertera. Bintang Putri  Aksa. Sengaja memang, aku meminta Papa untuk membingkai nama itu dengan huruf braille. Agar mudah terbaca. Terutama olehku. Dan setiap kali ke sini, selalu saja rindu mengalir. Terlebih tatkala mengenang segala kenangan, yang sampai detik ini masih lekat dalam ingatan.

Ratusan hari telah kulampaui, tapi tak juga surutkan memori. Rasa bersalah pun menggelembung, hingga mampu menyesakkan dada. Terlebih bila mengingat peristiwa itu. Hari nahas yang telah merenggut senyum kebahagiaan keluarga kita. Harusnya diri ini dapat mencegah. Senja itu, patutnya kamu berdiam di rumah. Menunggu hari bahagia tiba.

Namun sayang, takdir berkata lain. Tuhan ternyata lebih menyayangi. Dan kamu pergi membawa keceriaan. Meninggalkanku dalam duka serta kegelapan. Andaikan waktu dapat kuputar, ingin rasanya kuubah garis nasib. Namun,  kenyataan bukanlah kata andai yang dapat diubah semaunya. Kenyataan adalah sebuah realitas. Pahitnya kini telah memeluk.

Kecelakaan itu merampasmu. Menempatkanku pada sisi ruang tak pernah terbayangkan. Jauh dari impian. Dan di sisa hidup, hari-hari harus kulalui dengan sangat berbeda. Kemarin, warna-warna dunia masih jelas dalam pandangan. Namun, kini telah sirna. Menyisakan gelap tak berujung. Pekat menyelimuti. Merundung masa depan.

Benturan keras mengenai bagian kepala, mengakibatkan areal otak yang berfungsi menangkap bayangan pada mata, rusak. Menjadikan penglihatanku tak berfungsi. Mata ini tak mampu melihat apa-apa lagi. Hanya gelap tersisa. Masih tergambar jelas dalam ingatan, saat terakhir kebersamaan. Waktu itu aku dan kamu duduk di teras. Menikmati suasana. Seingatku, sejak kecil kamu memang pengagum senja. Dalam keindahan jingga, ada keeksotisan dan kedamaian. Inilah katamu, ketika kutanyakan alasannya.

“Senja itu menyimpan berjuta inspirasi. Kau akan temukan ide kala menatap senja. Percayalah pada saudaramu ini,” sambungmu meyakinkanku. “Kau ini seorang penulis, Bulan. Harusnya imajinasi  lebih peka tentang keindahan senja,” ujarmu sambil menatapku lekat. Senyum ini mengembang mendengarnya.

“Aku memang menggeluti dunia literasi, tapi bukan berarti ingin menjadi penulis. Hanya sebatas editor. Enggak gampang menghasilkan sebuah karya tulis. Cukup buatku, menikmati goresan pena orang.” Datar tanpa ekspresi, mulutku berucap. Tatapan ini menembus sepinya jalan kampung depan rumah. Sesaat ujung mata ini menangkap senyuman di bibir mungilmu. “Menulis itu harus dengan hati. Bukan sekadar merangkai kata menjadi kalimat.” Kembali, aku bersuara seraya mengalihkan pandangan ke arahmu.

“Terserah kaulah. Tapi menurutku, dilihat dari sudut mana pun, senja itu indah. Ayo, kita buktikan!” katamu cekatan meraih tangan kiriku dan membawa langkah kita beriringan ke pinggir teras. Cahaya jingga seketika menerpa wajah. Hangat kurasakan. Sempat ujung mata ini melirik. Mendapati kamu tengah terpejam. Semburat senja menerpa wajah. Membuatmu tampak cantik sekali. Membawa kulum senyum di bibir ini.

“Kenapa? Mau jadi salah satu pengagumku?” tanyamu tiba-tiba. Tanpa membuka mata, ternyata kamu tahu, ada yang tengah memperhatikan. Tak ayal, itu membuatku mencibir.

”Gr,” ucapku singkat, pelan tapi jelas menyentuh telinga. Perlahan, sepasang mata indahmu terbuka dan mengarah padaku. Binarnya menunjukkan rasa tak percaya atas apa yang kamu dengar. Dan dengan acuh tak acuh pula, aku balas tatapan itu.  Detik berikut, kita pun tertawa kecil. Dan hampir berbarengan menatap ke depan, terpejam serta  kembali menikmati suasana senja. Tak dapat aku memungkiri, ternyata ucapanmu benar. Lambat laun, kedamaian menyelinap di antara relung. Membawa tenangnya jiwa seorang insan. Rasa ini pun larut dalam suasana. Kerap seperti itu, kamu selalu dapat menularkan segala kebiasaan padaku.

Kita ditakdirkan lahir identik. Kembar yang serupa. Dari wajah hingga bentuk tubuh, hampir semua sama. Namun, dari segi watak dan sifat, jauh berbeda. Kamu sosok periang, modis, supel, dan mudah beradaptasi.  Banyak yang menjadi teman. Bahkan sahabat. Juga penyuka senja. Menurutku, ini adalah sebuah kebiasaan unik. Namun di sisi lain, kamu gampang menyerah, bosan, dan acuh. Pun keras kepala.

Jauh berbeda dengan diri ini, yang cenderung lebih tertutup. Banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Sering tenggelam pada aktivitas buku-buku. Dan menyukai kesederhanaan. Hanya segelintir orang yang bisa menjadi teman. Sebab diri ini tak banyak bicara. Segala yang terasakan, sebagian besar kutuang dalam bentuk tulisan. Dan tersimpan rapi di almari buku. Namun jujur, tak ada niatan untuk menjadi seorang penulis. Sebab yang digoreskan oleh jemari ini, hanya sekadar ungkapan jiwa. Suara hati. Berdasarkan apa yang kulihat, rasa, dan pikirkan.

Kita memang terlahir kembar. Hanya berselang beberapa saat, untuk dapat menghirup udara segar dunia. Papa memberimu nama, Bintang Putri Aksa. Sementara padaku, Mama sepakat memberi nama, Bulan Putri Aksa. Bermakna, sepasang benda langit yang selalu memancarkan cahaya. Walau sinar itu, sama-sama didapat dari pantulan matahari. Inilah filosofi yang terangkum dari orang tua dalam nama kita. Bagi siapa saja, tatkala pertama kali melihat si kembar ini, pasti akan terkejut. Bahkan, mereka sering dibuat terkecoh. Terutama para tamu yang untuk pertama kali datang ke rumah.  Dan hal itu sering kita jadikan bahan permainan. Hingga Mama selalu marah karena ulah itu.

Tentu, bukan hanya watak dan sifat berbeda. Tetapi kebiasaan serta penampilan kita juga tak sama. Kamu, Bintang Putri Aksa, mempunyai kebiasaan membiarkan rambut lurus hitam sepunggung. Dengan poni tipis di atas alis tergerai, menari tertiup angin. Siapa pun yang memandang, akan langsung jatuh hati. Kamu penyuka celana jeans. Selalu terlihat modis dalam setiap penampilan. Meski lebih terkesan tomboi. Berat badanmu ideal. Berkulit hitam manis. Kata Mama, itu karena kamu suka bermain di bawah terik matahari. Pipimu tembam. Jemari ini sering bertingkah iseng mencubitnya, bila gemas menguasai.

Sementara aku, Bulan Putri Aksa, yang terlahir sesaat sebelum kamu, adalah seorang gadis berpenampilan sederhana. Berkacamata dengan bingkai biru. Dalam keseharian, lebih suka memakai rok, dipadu blus lengan panjang. Rambut kita sama panjang. Tetapi dari pada menggerai, tangan ini lebih terampil mengikatnya. Sebab terasa ringkas dan nyaman. Terlebih bila diri harus berkutat dengan naskah, yang jelas membutuhkan konsentrasi.

Karena penampilan ini, kamu sering mengatakan aku gadis desa yang tersesat di tengah kota. Namun, hati ini tak pernah mempermasalahkannya, apalagi merasa tersinggung. Sebab tahu, kamu hanya bercanda. Namun, di balik perbedaan itu, kita satu, sehati, dan sejiwa. Selalu ada bila yang lain membutuhkan. Tak pernah dendam, meski pertengkaran sering mewarnai. Kamu adalah belahan jiwaku. Begitu juga sebaliknya.

* * *

Beberapa menit larut dalam siraman senja, benak ini teringat sesuatu. Tubuhku mulai bergerak pelan. Ingin beranjak dari ujung teras. Namun, ternyata tangan kiri ini masih ada dalam genggamanmu, membuatku berpaling. Menatapmu yang ternyata masih terpejam dengan bibir menyisakan senyuman.

“Mau ke mana kau?” tanyamu lirih tanpa mengubah posisi.

“Ada yang harus kukerjakan,” jawabku sambil mencoba melepas genggaman. Kamu mulai membuka mata, memiringkan kepala, dan membalas tatapanku. Masih dengan tersenyum, kamu menggeleng. Kening ini terlipat. “Ada apa, Bintang? Izinkan aku pergi,” ujarku pelan. Erat genggamanmu mulai terlepas. Namun, belum lagi tubuh ini mengubah posisi, terdengar suara mengiba.

“Aku ikut,” ucapmu tanpa basa basi. “Sudah satu minggu tak keluar. Bosan rasanya di rumah, Bulan.” Terdengar rengekkan dari samping. Persis seperti suara anak kecil yang minta dibelikan permen oleh sang Ibu. Wajah yang tadi terlihat cantik karena bias senja, kini berubah polos seperti balita. Lucu sekali. Hal itu membuatku tak bisa menahan tawa. Dan tatkala melihat respon ini, kamu ubah posisi berdiri. Menghadapku. Serta rmeraih dan menggenggam dua tangan ini, sambil menjejak-jejakkan sepasang kaki bergantian. Kamu kian merajuk.

“Dasar manja! ini hanya ke toko buku sebentar. Setelah itu, akan kutemani kamu sampai malam midodareni nanti. Sebab besok dan di hari berikutnya, ada Mas Raditya yang siap menjaga seumur hidupmu,” bujukku seraya mencubit kecil pipi tembammu. Gemas sekali rasanya.

“Tidak, pokoknya aku ikut!”

“Maksa banget sih, ini Anak!” tukasku kesal. “Sekarang kamu sedang dipingit, Bintang. Dilarang ke mana-mana. Pamali. Orah elok kata Mama.” Dengan logat Malangan, diri ini mencoba mengingatkan. Usai mengucapkan kalimat tersebut, tanpa buang waktu, bergegas kuambil langkah meninggalkanmu. Ternyata kamu masih mengekor dan seolah tak peduli omelan yang keluar dari mulutku.

Seperti biasa, apa yang menjadi keinginan dan maumu tak ada yang bisa mencegah. Termasuk Mama, yang kebetulan berada di ruang tamu. Dan pasti dengan jelas, mendengar obrolan kita. Terlebih sewaktu masuk rumah sekaligus berpamitan. Beliau pun berusaha mengingatkan kembali, tentang larangan keluar di saat tengah dipingit. Namun, kamu tetap membandel. Dan beralasan, pergi hanya sebentar. Juga ada aku yang akan menjaga. Akhirnya, dengan berat hati, Mama hanya bisa menatap kita berdua, berjalan beriringan menuju garasi yang berada di samping rumah.

“Kalau kamu merasa bosan, mengapa enggak telepon Mas Radit? Tunanganmu itu, pasti dengan senang hati akan setia berbagi cerita, meski hanya lewat handphone. Itu bisa melepaskanmu dari kejenuhan.” Sambil mengeluarkan sepeda motor dari garasi, bibir ini bertutur memberi ide.

Kamu menggeleng. “Hari ini Mas Radit sibuk. Banyak yang harus dikerjakan bersama keluarga besarnya. Belum lagi persiapan pengajian nanti malam. Pokoknya dia tidak bisa diganggu,” ucapmu dengan mulut mengerucut serta terus

mengekoriku. Sementara dengan pelan, kudorong motor hingga depan pagar rumah yang telah terbuka.

“Enggak takut kalau nanti terjadi sesuatu pas kamu melanggar pantangan pingitan seperti yang orang tua dulu katakan?” tanyaku seraya meloncat kecil, duduk di jok bagian depan, lalu memutar kunci. Menstarter. Kupalingkan pandangan ke belakang. Tatapan ini lurus ke arahmu.

Kamu yang masih berdiri di samping sepeda motor terkekeh. Mengibaskan tangan kanan di hadapanku dan berkata, “itu mitos, Sayang.” Sesaat kemudian, rona wajahmu mulai berubah serius. “Kau masih percaya dengan hal-hal yang demikian?” tanyamu dengan bola mata menyelidik. Bibir ini bungkam. Tak tahu harus menjawab apa. Sesaat tanpa kata, tubuh tinggimu meloncat kecil, duduk di jok belakang.

Aku menggeleng. “Tapi enggak ada salahnya menuruti kata orang tua,” selaku masih memandang ke belakang. Menatapmu. Namun, kamu bergeming. Tetap ingin ikut. Sedangkan diri ini, tak mungkin menunda pencarian. Buku itu harus segera kudapatkan. Sebab isinya sangat menunjang naskah yang kuedit. Dan selekasnya kusetorkan ke penerbit.

Rasa serba salah mengurung. Benak ini sempat membayangkan, bila nanti terjadi sesuatu, yang pertama merasa bersalah dan disalahkan pasti aku. Dan karena hal itu, pikiran ini menjadi tak karuan. Namun, mulutku membisu. Lagi pula, percuma berdebat denganmu. Ujungnya, diri inilah pihak yang harus mengalah. Seperti itulah kamu. Kerap keras kepala. Tak pernah percaya akan sesuatu di luar logika. Berbanding terbalik denganku. Bila diperkenankan, jujur dalam hati, aku masih mempercayai sugesti itu.

Akhirnya, dengan kebimbangan menggelayut, motor yang membawa kita ke toko buku melaju pelan. Suasana jalan raya cukup padat. Maklum, ini adalah jam pulang kantor. Dan jalan yang kita lalui, adalah jalan utama. Sehingga dapat dipastikan akan selalu padat. Motor yang kubawa bergerak dengan tenang. Dari kaca spion, netra ini sempat beberapa kali melirikmu tengah asyik dengan benda pipih di tangan.

“Pegangan yang erat, Bintang.” Aku mengingatkanmu. Namun, hanya kamu anggap angin lalu peringatan itu. Dan tetap fokus pada benda dalam genggaman. “Setidaknya, lingkarkan satu lenganmu di pinggang ini,” sambungku kemudian.

Kepalamu terangkat sesaat dan sedikit condong ke depan. Dengan posisi miring kamu berujar, “Cerewet! udah jalan saja. Keburu malam.” Ada dua detik kita saling bertatapan melalui kaca spion. Di detik berikut, mata ini kembali fokus ke depan lagi. “Ada banyak chat yang masuk. Terutama dari teman-teman. Sekadar mengucapkan selamat. Dan itu wajib kubalas,” selamu membela diri. Sepersekian detik berlalu, kembali kamu tertunduk. Memainkan jemari di atas keyboard. Kepala ini hanya bisa menggeleng. Napas berat keluar dari rongga hidung. Tingkahmu semakin membuat hatiku khawatir. Dalam diam, diri ini menyenandungkan doa. Berharap keselamatan selalu menyertai kita.

Tampak di kejauhan, terlihat senja keemasan mulai mengabu. Melewati jalan yang bukan lagi jalan protokol, suasana berangsur lengang. Karena jarak toko buku tinggal hanya beberapa puluh meter lagi, kecepatan motor ini sedikit kunaikkan supaya segera sampai ke tempat tujuan. Namun, tiba-tiba dari arah samping kiri melintas sebuah motor berkecepatan tinggi. Degan jarak yang sangat dekat. Berusaha menyelip. Tak dapat dihindari, senggolan antara setang kemudi dua motor pun terjadi. Entah karena terkejut atau memang tak menduga, motorku hilang keseimbangan. Serta oleng ke kanan. Telinga ini sempat mendengar teriakanmu. Memaki sang pengendara motor tersebut. Tapi tak digubris. Ia terus berlalu tanpa rasa bersalah. Rupanya kamu pun sama denganku. Diliputi keterkejutan.

Dari arah depan, kulihat sebuah mobil sedan melaju kencang. Sementara motor ini tak dapat kukendalikan. Ia terus oleng.  Seolah memapak kendaraan di depan yang terus melaju. Dalam kepanikan, mulut ini masih sempat memekikkan istigfar sebelum hantaman keras tak terelakkan terjadi. Suara dua benda saling bertabrakan. Begitu nyaring di telinga. Membuat ngeri siapa pun yang menyaksikan.

Rasanya tubuh ini terpelanting ke kanan, berguling-guling beberapa kali, sebelum akhirnya kepalaku membentur tembok rumah seorang warga dengan keras. Kecerobohan telah kulakukan, tidak memasang pengait helmet dengan sempurna. Sehingga benda pelindung kepala itu pun terlepas. Di detik berikutnya, semua terasa gelap. Namun, sebelum tak sadarkan diri, telinga ini sempat mendengar teriakanmu. Melebur di antara decitan ban mobil yang direm mendadak. Itulah saat terakhir aku mendengar suaramu. Sebelum kesadaran ini benar-benar menghilang.

Hampir dua minggu dalam keadaan koma. Tubuhku tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Benturan keras itu, mengakibatkan gegar otak. Dan sewaktu tersadar, semua berubah menjadi gelap. Indera penglihatan ini tak berfungsi lagi. Musnah sudah keindahan dunia. Warna-warna itu, kini berganti satu kegelapan.

Namun, tak cukup sampai di situ. Rupanya Tuhan masih memberi cobaan lain. Kenyataan pahit dan terberat harus kucecap. Realitas itu adalah kepergianmu. Dan inilah kehilangan terbesar dalam hidup. Bagai hilangnya separuh jiwa. Setengah napas ikut terkubur bersama jasadmu. Satu hal kerap kulakukan, menyesali yang terjadi. Menangis terus meratap. Mengutuk diri. Rasa tak percaya pun selalu menghinggapi. Semua seperti mimpi buruk, yang berubah menjadi kenyataan.

*

Kerinduan karena mengenangmu, adalah alasan utama mengapa diriku selalu ada di sini. Di samping pusara. Memeluk batu bertuliskan namamu. Seperti di senja ini, air mata kembali deras mengalir. Bibir bergetar lirih memanggil. Hati menyulam doa. Jutaan pengharapan kulambungkan, semoga Tuhan menempatkanmu di taman surga. Kenangan akan kebersamaan kita, tak lekang oleh waktu. Duka ini pun masih menempel di sepanjang hari. Rasanya belum sanggup menjalani hidup tanpamu. Namun, kenyataan memaksaku harus menerimanya.

Siraman sisa cahaya senja masih hangat terasa. Menyapu lembut wajah sembab ini. Penggalan hari yang selalu kamu nanti dan nikmati, ternyata ia juga sebuah suasana waktu yang membawamu pergi untuk selamanya. Sebenarnya diriku masih betah menemani dan berbincang apa saja di sini. Bercerita tentang isi hati, seperti yang selalu kita lakukan di hari kemarin. Namun, sepertinya waktu cepat bergulir. Memapah senja menuju gelap. Di sampingku, tangan lembut Mama menyentuh pundakku. Ingin mengajak pulang. Meski berat kuanggukkan kepala.

Perlahan tangan kanan ini meraba-raba. Mencari tongkat penyangga, yang kini menjadi teman setiaku. Mama pun membantu. Mengambilkan dan meletakkan benda itu dalam genggamanku. Kami melangkah beriringan. Beliau memeluk pundak ini. Membawaku keluar dari areal pemakamanmu. Angin yang bergesekan dengan daun kamboja menyentuh telinga. Terdengar seperti simfoni berbisik pilu. Nada itu menyentuh hati ini. Menghadirkan kembali selimut nestapa untuk setengah jiwa, yang masih bersemayam di tubuh ini. 

Bangkit dari Keterpurukan

Fajar mulai terang. Meski dingin menyelimuti. Titik bening sisa hujan kemarin, mungkin masih menempel di atas lembaran daun-daun hijau tanaman beraneka ragam, yang sengaja Mama letakkan dalam pot. Penghias teras rumah. Perlahan aroma kesegaran menusuk indera penciuman. Merasuk rongga pernapasan. Membawa damai, tatkala udara dingin itu menembus relung hati. Seolah tengah menemukan harapan baru, kuresapi kesegaran udara. Hingga aromanya memenuhi aliran darah. Kunikmati dengan hati bahagia. Ternyata, suasana pagi mampu menyingkirkan duka yang selama ini membelenggu.

Tuhan telah menyalakan api semangat. Dan hangatnya mampu menjadi lentera hari-hari gelapku kemarin. Tak ada lagi air mata terbuang. Sebisa mungkin, setiap detik harus berhiaskan senyuman. Seperti kali ini, bibirku mencoba bersenandung. Menyanyikan sebuah lagu nostalgia tahun sembilan puluhan. Papa yang berada di samping, duduk di kursi teras, dan tengah membaca koran, turut mendengarkan. Sesaat beliau pun berkomentar, “Suara kamu merdu juga, Nduk. Bakat terpendam ini.” Pelan terdengar kertas dilipat. Sepertinya Papa meletakkan korannya di atas meja teras. Tak lama berselang, terdengar pula tegukan dari kerongkongan. Beliau menyeruput teh yang tadi dihidangkan oleh Mama. Telinga ini mulai terlatih. Bisa lebih mudah mendeskripsikan suasana melalui suara. Mengenali, menghafal, dan merekam setiap bunyi yang ada di sekitar. Akan tetapi, memang itulah kebiasaan beliau dari dulu. Sebelum beraktivitas yang lain, selalu menyempatkan waktu untuk membaca berita. Diselingi suguhan teh hangat, tentunya.

Bibir ini hanya tersenyum mendengar pujian itu. Bersama pagi yang dingin kulanjutkan bersenandung. Papa pun betah mendengarkannya. Seolah tak ingin beranjak, beliau juga turut berdendang. Terlebih ketika kunyanyikan sebuah lagu berjudul “Hitam Putih Fotomu” yang dilantunkan oleh Ratih Purwasih. Dan kutahu, itu adalah lagu kenangan semasa awal mengenal Mama. Diri ini semakin bersemangat, tatkala tak lama kemudian Mama bergabung.

“Suaramu merdu juga, Nduk,” celoteh Mama mengulang kalimat Papa. Dan membuatku semakin tersipu.

“Tadi Papa juga ngomong gitu, Ma,” sela Papa semangat. Kini mereka berdua memelukku. “Apa sebaiknya kita panggilkan guru vokal?” lanjut beliau.

“Mama sih terserah Bulan. Kalau memang ada minat, ya kita dukung.” Sambil membelai rambutku beliau berujar. “Tante Yuan, teman SMU Mama, pasti dengan senang hati akan membantu. Selain biola dan piano, dia punya kursus tarik suara juga. Bagaimana, Nduk?”

“Bulan manut saja, Ma.” Aku mengangguk. Meski sejujurnya hati ini ragu, tetapi apa salahnya mencoba hal baru. Siapa tahu, ini dapat menjadi gerbang masa depan.

“Ya wes, nanti Mama telepon Tante Yuan.” Sambil menuntunku masuk ke rumah, Mama berucap, “sarapan dulu, yuk!”

Dan anggukkanku menjadi jawaban. Sementara, Papa segera pamit untuk berangkat ke kantor.

Jarum jam terus berjalan. Menjelajah hari menuju sore. Seperti biasa, aku duduk di ruang keluarga yang cukup nyaman. Selain kamar pribadi, inilah tempat favoritku dan kamu dulu. Karena di sini, sesibuk apa pun Papa, Mama, kamu, dan aku. Kita selalu menyempatkan waktu berkumpul selama satu jam sebelum tidur. Dan saling berbagi cerita tentang semua kegiatan yang telah dilakukan seharian.

Gambaran lekat yang masih kuingat tentang ruang itu, sangat sederhana. Tanpa ornamen berlebih. Hanya ada nakas kecil dihiasi vas bunga dan lampu belajar di sebelah. Di sampingnya ada almari bersekat-sekat tanpa pintu. Tempat menyimpan buku, yang ditata sedemikian rupa agar mudah mengelompokkannya. Baik itu tentang agama, mau pun novel. Ada juga majalah kedirgantaraan berjejer rapi di sana. Karena selain tempat berkumpul seluruh anggota keluarga, ruangan itu juga berfungsi sebagai musala serta perpustakaan mini.

Lantai ruangan beralaskan karpet, dihiasi beberapa bantal. Juga boneka beraneka bentuk yang diletakkan di sudut. Setelah menjadi seorang difabel, di ruangan ini pula, hampir sepanjang hari, kuhabiskan waktu untuk belajar membaca dan menulis memakai huruf braille. Tak mudah, tetapi lambat laun jemari ini mulai terbiasa melakukannya. Alat yang kugunakan biasanya disebut, reglet dan stylus

Reglet merupakan alat yang digunakan untuk menulis huruf braille serta terdiri dari dua pelat dapat dibuka tutup. Dan disatukan dengan engsel. Di mana terdapat lubang-lubang yang tidak tembus. Digunakan untuk mencetak titik-titik timbul pada kertas yang cukup tebal. Alat ini bisa terbuat dari pelat besi, tetapi pada umumnya terbuat dari plastik.

Ukuran reglet bermacam macam. Mulai dari yang kecil, sedang, dan besar. Yang membedakan hanya jumlah selnya saja. Bila yang ukuran kecil dapat menjepit sekitar seperempat kertas, sedangkan yang ukuran besar bisa menjepit seluruh bagian kertas. Sehingga tak perlu memasang dan melepas untuk baris selanjutnya.

Sementara stylus adalah, alat berbentuk paku dengan ujung yang tumpul. Berfungsi untuk menusuk kertas yang telah dijepit dengan reglet. Stylus ini juga bisa disebut dengan istilah lain yakni pen.

Cara menggunakan kedua alat ini adalah, mempersiapkan terlebih dahulu reglet, stylus, dan kertas. Perlahan menjepit kertas dengan reglet. Namun, sebelum itu harus kupastikan posisi keduanya sejajar dan kertas tepat terjepit di sisinya. Sehingga tulisan braille rata. Tak menanjak atau menurun.

Kemudian jemari ini mulai bergerak, dengan menusukkan stylus pada kertas secara pelan. Karena bila terlalu keras atau kasar, bisa membuat kertas berlubang. Dan setelah selesai menulis, kubuka reglet serta membalikkan kertas agar dapat kubaca dengan cara diraba. Meski awalnya terasa sulit, keinginan untuk belajar, mendorongku terus melakukannya. Ada banyak kata tersimpan di benak, ingin kurangkai menjadi sebuah kalimat. Mungkin jemari tak begitu pandai merangkai, tetapi tak mungkin tangan ini berdiam.

Telaten dan sabar, dua hal yang wajib kupunya. Sekali lagi semua butuh proses. Dan syukur tak terhingga, dari waktu ke waktu, tangan ini semakin mudah melakukan. Meski apa yang kutulis tak seindah goresan milik pujangga. Namun, itu sebuah gambaran rasa yang ada. Sebuah kejujuran keluar dari relung jiwa. Kalimat yang kutulis, mungkin dapat disebut puisi. Dan ini membuat diri semakin semangat, tatkala ada yang berkenan membacanya. Entah itu Mama, Papa, atau juga Saras ––sepupu yang sering berkunjung ke rumah.

Menurut mereka, tulisanku layak disebut karya literasi. Puisi yang sempurna. Namun, kurasa mereka berlebihan. Sebab apa yang tertulis, hanya sekadar ungkapan hati saja. Bukan goresan bait-bait puisi, layaknya karya sastra. Seperti saat ini, telah kutuntaskan beberapa bait. Dan bibirku bergumam membacanya.

Letak Diriku.

Siapa aku?

Tak mengira akan berada di sini

Takdir telah menghempaskan diri ke titik nadir

Kegelapan menjadi payung selamanya

Tiada pilihan kedua

Hanya mampu menjalani dengan ikhlas

Letak diriku sebagai manusia

Hanya mampu menggenggam garis nasib dari Sang Ilahi

Bukan untuk diratapi

Tapi lebih harus dimaknai

Cobaan adalah sebuah tangga

Tantangan menuju yang terlatih

“Wah! Bagus sekali puisi kamu, Nduk,” ujar Mama tiba-tiba. Mungkin karena terlalu berkonsentrasi, tak kusadari kapan beliau masuk. Serta sempat mendengar gumamanku.

“Hanya tulisan sederhana, Ma,” jawabku sambil mengulum senyum. Dengan menggunakan ketajaman mata batin, keberadaan beliau di samping dapat kurasakan. “Dulu tak pernah terpikir untuk menulis puisi. Bintang sering memaksa, tapi konsentrasiku saat itu hanya pada edit naskah. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini ada keinginan menggoreskan kata menjadi puisi.” Penjelasan ini keluar dari hati. Dan itulah apa adanya.

Mama membelai rambutku lalu kembali berkata, “Ndak papa, mungkin baru kali ini kamu temukan jiwa Pujanggamu. Lanjutkan saja. Asah terus kemampuan itu.” Kuanggukkan kepala menjawabnya. Tak lupa menyunggingkan senyuman termanis untuk beliau. Sesaat hening. Yang terdengar hanya embus napas kami. Di menit berikut, ada nada pesan masuk dari handphone Mama. Telinga ini segera mendengar beliau memencet tombol-tombol. Kurang dari satu menit, Mama pun berujar, “Ada pesan dari Tante Yuan. Katanya, dia bersedia memberimu les vokal dan akan ke rumah dua kali seminggu. Dimulai minggu depan. Bagaimana, Nduk? Kamu setuju?”

Seketika dengan penuh semangat, untuk yang kesekian kalinya, kuanggukkan kepala. Belajar hal baru adalah sebuah kewajiban buatku. Pasti akan menambah pengalaman dan yang terpenting, dapat menghilangkan kejenuhan. Bahagia itu menyelusup. Menyelimuti ruang marah di tubuh ini. Ucap syukurku tak putus, untuk setiap karunia yang telah terlimpah.

“O iya, Nduk. Tadi Mama dapat pesan. Nanti malam Masmu akan mampir. Dia baru pulang dari Jakarta.” Sambil tetap membelai rambut ini beliau berkata. Mendengar kalimat itu membuatku sejenak tertegun. Raut murung, seketika kutampakkan di wajah ini. Suasana pun hening. Bibirku enggan menanggapi. Seolah mengerti sesuatu berkecamuk di benak ini, Mama pun melanjutkan ucapannya. “Temui saja. Bagaimanapun, dia sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini.” Terdengar beliau mengambil napas dan mengeluarkannya pelan.

“Sekadar berbincang biasa, enggak masalah. Tapi kalau menyangkut hal yang satu itu, Bulan belum siap, Ma.” Berat rasanya mengatakan. Namun, Kedua orang tuaku harus tahu, apa yang ada di hati ini. Tak mungkin kututupi. Terlebih sampai membohongi mereka.

“Ya sudah, ndak apa-apa. Lebih baik secepatnya kamu bilang ke Masmu. Biar dia mengerti dan ndak ada salah paham,” ujar Mama lagi. Untuk menanggapi ucapan Mama, tak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk. “Ya wes, Mama ke depan dulu. Mau nyirami kembang,” imbuh beliau. Beberapa saat kemudian, aku merasa ada suara gerakan di samping, sepertinya Mama telah beranjak dari tempatnya.

Setelah sesaat berlalu, pikiran ini mulai dihinggapi sesosok bayangan. Sewaktu kamu masih ada dan semua berjalan normal, benakku cukup familier dengan wajahnya. Dia sering sekali datang ke rumah dan sangat luwes berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Terutama denganmu. Awalnya kalian hanya menjalin persahabatan, tapi kelamaan dan akhirnya, menjadi sepasang kekasih. Umur dia, lima tahun di atas usia kita. Mungkin karena itu, dia lebih gampang ‘momong’ kamu. Yang kadang bertingkah manja. Kita mengenalnya dari kecil. Sebab dia adalah anak teman Papa dan Mama.

Gambaran yang masih terekam dalam ingatan tentangnya, mungkin hanya sekadar saja. Karena waktu itu, diri ini tak terlalu peduli dan selalu menganggap tak lebih sebagai seorang Kakak. Namun, kurasa dia tergolong lelaki baik, pembawaannya tenang, dan bertanggung jawab. Meski menurutku, terkadang terlalu protektif juga.

Dulu kamu sering berseloroh. Ketimbang jadi tunanganmu, dia lebih pantas menjadi kekasihku. Karena menurutmu, kami banyak kemiripan. Berkaca mata dan kutu buku. Itu pendapatmu, yang sungguh kuanggap gila saat itu. Sebab kurasa, kalianlah pasangan paling serasi yang pernah kulihat. Selain orang tua kita, tentu. Namun, kini candamu itu berubah menjadi bumerang buatku.

Sekarang tatkala memikirkannya, hati terasa tak tentu. Pertanyaan pun mengembang. Bagiku, satu tahun terlalu singkat untuk menghapus segala kenangan tentangmu. Bahkan sampai kapan pun, kenangan kamu akan selalu ada. Tapi mengapa tidak untuknya? Hingga dia harus menyeretku, ke tempat di mana dulu kamu sempat menjadi penghuni. Begitu mudahkah baginya melupakanmu? Bagaimana sanggup diri ini menggantikan posisimu? Tak habis pikir, apa maksud lelaki itu? Lagi pula, mana masuk akal, seorang yang mapan sepertinya, mau memperistri gadis buta sepertiku. Deretan pertanyaan itu, kini memenuhi pikiranku. Hingga tanpa sadar, kubuang sejenak napas tak percaya.

Seberapa dalam hati manusia, memang tak ada yang bisa menebak. Demikian juga dengan isinya. Namun, satu hal yang paling aku benci, adalah sebuah pengkhianat. Begitu mudahkah dia berpaling darimu? Melupakan segala kenangan tentangmu. Akan tetapi, benarkah hal yang dilakukannya saat ini termasuk pengkhianatan cinta kalian? Dia bermaksud mencari pengganti setelah kamu tiada. Mencari cinta serta kebahagiaan baru, yang mungkin akan ditemukan pada wanita lain. Dan itu, sekali pun tak dia lakukan selama kamu masih ada dulu. Namun,  mengapa aku menganggapnya sebagai sebuah pengkhianat? Apakah salah, yang sekarang dilakukannya?

Setiap manusia berhak untuk hidup bahagia. Begitu juga dengannya. Namun, haruskah wanita yang dipilih menggantikanmu itu adalah aku? Lantas apa alasan yang mendasari? Mungkinkah karena kemiripan wajah? Entahlah. Kepala ini berdenyut-denyut memikirkan. Sekali lagi dalam kegelisahan, coba kuambil napas panjang. Benakku terus berkutat dengan Tanya, tetapi jawaban yang aku mau, tak kunjung datang.

Namun, kejujuran harus tetap kupegang. Tak ingin memaksa diri sendiri. Karena memang di hati ini tak pernah mempunyai rasa apa pun terhadapnya. Mungkin juga belum. Di usia yang telah menginjak dua puluh lima tahun ini, aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Mungkin karena hati ini selalu berprinsip, diri akan merasakan cinta pada seseorang di waktu yang tepat. Atau mungkin juga aku belum merasa menemukan seseorang yang cocok.

Namun, bukan itu sebenarnya. Mungkin dulu diri ini terlalu protektif. Dan dalam memilih teman, terutama teman pria sangat selektif. Hanya ada beberapa nama saja, yang masuk daftar sebagai sahabat. Tapi sayang, sejak diri menjadi seorang difabel netra, mereka pun jarang menjalin komunikasi. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Atau mungkin karena mereka malu, mempunyai teman yang telah menjadi seorang difabel netra sepertiku.

Entahlah. Tak ingin terlalu larut dalam pikiran negatif, kualihkan saja perhatian pada handphone yang tadi tergeletak di samping. Sepertinya benda pipih itu berbunyi. Mungkin ada pesan WhatsApp masuk. Cekatan, tangan ini meraba-raba. Mencari keberadaan benda itu. Dan segera memungutnya setelah menemukan.

Benar saja, melalui aplikasi pembaca layar, bisa kutahu ada pesan masuk. Chatting dari seorang teman tertera. Segera, aku mengeklik logo hijau tersebut.

“Assalamualaikum. Apa kabar Mbak?” Operator ponsel bersuara serta menyebut nama sang pengirim pesan. Aplikasi pembaca layar, sangat memudahkanku dan teman-teman difabel netra lain dalam berkomunikasi. Bukan hanya di ponsel, aplikasi ini juga dapat digunakan di komputer dengan cara mengubah pengaturannya terlebih dahulu

“Wa’alaikum salam, Mbak Yesi. Alhamdulillah saya sehat.” Dengan bantuan aplikasi pembaca layar talk back smart voice, diri ini menulis balasan untuknya. Begitu mudah jemariku mengetik sebab di benak telah hafal dengan letak huruf-huruf terlampir di keyboard ponsel.

Mbak Yesi, dia adalah salah seorang difabel netra tangguh. Aku mengenalnya sewaktu Papa mengajak berkunjung ke balai pelatihan kerja, khusus menampung mereka yang mengalami kebutaan. Tepatnya, RSBN (Rehabilitasi Sosial Bina Netra). Letak tempat tersebut di Janti, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Di bawah naungan Dinas Sosial Jawa Timur. Berkapasitas seratus lima puluh orang.

Di sana menampung khusus difabel netra. Baik dari lahir, maupun disebabkan oleh faktor lain, misalnya karena kecelakaan seperti yang kualami. Anak didik yang diperbolehkan masuk ke panti tersebut, minimal berusia lima belas tahun. Untuk maksimalnya, sekitar 45 tahun. Yang terpenting, mereka masih mempunyai semangat belajar, pantang menyerah menghadapi kenyataan. Mereka berasal dari seluruh Jawa Timur. Tujuan Papa mengajakku ke tempat itu, tak lain hanya ingin membuka wawasan, pengetahuan, dan menyadarkanku, bahwa diri ini tak sendiri. Banyak juga yang senasib. Bahkan lebih parah dari yang kualami.

Di panti, kemandirian siswa binaan sangat diterapkan. Terutama kemandirian pribadi. Setiap siswa didik diajarkan mengerjakan semua kegiatan keseharian sendiri. Misalnya, mencuci baju, menyapu, mengepel. Bahkan memasak Terpenting lagi adalah, harus bisa baca tulis braille. Selain itu, ada satu kegiatan yang juga wajib diikuti. Seperti OM atau orientasi mobilitas. Di situ, diajarkan bagaimana cara berjalan menggunakan alat bantu.

Sebagai langkah pertama, para siswa harus bisa menghafal areal panti yang luasnya sekitar empat sampai lima hektar serta menghafal letak kelas-kelas di sana. Diajarkan pula, berbagai macam olah raga. Namun, kegiatan yang menjadi hal utama di tempat tersebut adalah, para siswa diberikan pengetahuan tentang teknik pijat. Baik pijat Refleksi, massage, dan Shi Atsu.
Satu kegiatan yang mungkin akan menjadi sebuah pilihan profesi, yang bisa digeluti dan menunjang masa depan siswa. Kelak, bila mereka telah menamatkan pendidikannya di panti.

Teringat kembali cerita Mbak Yesi, membuatku semakin mengaguminya. Dia sosok periang. Selalu terdengar ramah pada siapa pun. Ketika bertemu di panti, sempat bertukar nomor ponsel. Sejak itu, kami sering berbagi cerita. Mbak Yesi termasuk difabel baru sama sepertiku. Walau berbeda sebab. Dia mengalami kebutaan di usia 15 tahun. Analisa dari dokter, kebutaan yang dialaminya diakibatkan tingginya glukosa yang menyerang indera penglihatan.

“Awalnya mataku sakit banget, Mbak.” Dia mengawali kisahnya, saat kami saling berbalas pesan dengan voice notes. “Sudah dibawa ke mana saja. Ya, ke dokter dan alternatif. Tapi ndak ada hasil. Mata ini tetap kabur-kabur. Dan dalam tempo satu tahun, mataku ndak bisa melihat sama sekali. Rasanya ingin mati saja. Merasa sudah ndak betah lagi menahan sakit,” sambungnya dengan logat Malang kental.

Karena hal itu, pihak keluarga berikhtiar membawanya ke seorang kiai. Dari sanalah, usaha pengobatannya mulai menunjukkan hasil. “Dari Pak Kiai itu, sakit di bagian mataku berangsur hilang. Makan apa-apa boleh. Dan yang lebih penting lagi, hati jadi lebih tenang. Bisa menerima keadaan. Ikhlas menjalani ujian.” Kembali kudengar suaranya yang renyah.

“Inilah jalan hidup manusia, Mbak. Ndak bisa ditebak. Yang awalnya seorang berfisik normal, tapi takdir mengubahnya menjadi difabel. Ndak ada yang bisa dilakukan, selain sabar, legowo, dan ikhlas menerima garis tangan,” lanjutnya diselingi tawa.

Satu hal yang pernah terjadi padaku, juga dialami oleh Mbak Yesi, dalam menjalani hari-hari sebagai seorang difabel baru. Sulit berdamai dengan kegelapan. Minder atau kurang percaya diri. Terlebih bila bertemu orang lain. Namun, setelah masuk panti semua berubah. Pelan, dia belajar menyesuaikan dan mendamaikan diri dengan keadaan. Serta tak merasa sendiri. Karena di panti, masih banyak teman sepenanggungan.

Dalam setiap pesan yang dikirimnya, Mbak Yesi tak pernah bosan mengingatkanku untuk tetap terus semangat dalam menjalani hidup. Begitu pun kali ini. Setelah menanyakan kabarku, dia juga berpesan agar aku selalu bersabar dan tak lupa menjaga kesehatan. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang.

“Iya, Mbak. Siap,” jawabku singkat. Dia benar. Apa pun yang terjadi, diri ini harus tetap semangat. Harapan harus terus dipupuk agar tumbuh dan berbunga bahagia. Ada rasa haru menyelinap. Syukur ini menghunjam jiwa. Tuhan selalu mempertemukanku dengan orang-orang baik. Seperti Mbak Yesi salah satunya. Walau seorang difabel netra, dia seorang yang sangat mandiri. Sosoknya petut kujadikan contoh.

Berprofesi sebagai seorang pemijat, dia telah bisa merenovasi rumah orang tuanya. Hal ini semakin membuatku kagum. Ketika diri bertanya, alasan mengapa bersedia menggeluti profesi ini, dengan tenang Mbak Yesi berujar,

“Mulanya sempat ragu. Masa iya, aku mau jadi tukang pijat. Tapi setelah teringat kembali nasihat guru pembimbing di panti, yang mengatakan bahwa, ini sebuah profesi mulia. Hatiku ndak ragu lagi. Karena pemijat, adalah orang yang secara ndak langsung telah membantu pengobatan orang lain.”

Diri ini kembali termenung. Lantas segera membenarkan semua ucapannya. Dari Mbak Yesi, lagi-lagi aku belajar. Setiap profesi bila bertujuan mulia adalah baik. Selama itu dilakukan dengan niat hati yang ikhlas. Poin satu ini membuatku tersadar, secepatnya harus menemukan sesuatu yang dapat kujadikan pekerjaan. Penunjang masa depan. Sebab tak selamanya diri harus bergantung pada orang tua.

Senyum mengembang. Semangat menyala. Dan hati kian yakin. Langkah pasti harus kuambil. Keterbatasan ini bukan penghalang. Namun, ia adalah pemompa untuk terus berkembang dan maju. Tak ada lagi kata menyerah. Hanya ada keinginan untuk bangkit dari kegelapan. Badai pasti berlalu. Pelangi itu akan kuukir indah.

Membaca lebih lanjut

Ingin membaca lebih lanjut novel “Di Bawah Kepak Hati,” karya Anita FN Sunardi? Silahkan kontal admin web. 

Similar Posts

Skip to content