Jurnalisme Karitatif

Difabel Melawan Jurnalisme Karitatif

3 minutes, 30 seconds Read

Jurnalisme karitatif adalah peliputan dari sisi belas kasih. Meski bermaksud menumbuhkan empati namun tidak berdampak baik bagi penyandang disabilitas.

Memahami istilah

Jurnalisme adalah kegiatan mengumpulkan data, mengolah, hingga mempublikasi. Sedangkan karitatif artinya belas kasih.

Berangkat dari realitas bahwa setidaknya ada dua model peliputan isu disabilitas, yaitu advokatif dan karitatif. Berbeda dengan karitatif, bahwa model advokatif bertujuan menciptakan dampak baik pemberitaan.

 

Melihat contoh pemberitaan

Contoh peliputan dari sisi belas kasih: Simak Ekspresi Kebahagiaan Penyandang Disabilitas saat Menerima Bantuan

Dua pokok pemberitaan tersebut adalah penyandang disabilitas sebagai obyek bantuan merasa senang, serta menganggap baik dan berjasa pemberi bantuan.

Pemberitaan semacam ini biasanya tidak memuat edukasi bahwa alat bantu disabilitas merupakan hak penyandang disabilitas. Pewarta juga tidak memberikan skema bantuan agar penyandang disabilitas bisa mengakses haknya.

Mudahnya, orang maupun lembaga banyak memanfaatkan jurnalisme karitatif untuk pencitraan.

Selanjutnya contoh liputan advokatif: Jalan Ijen di Malang Belum Ramah Difabel. Liputan tersebut merupakan respon dari beberapa pemberitaan tentang trotoar di Kota Malang tersebut, di antaranya Pemkot Malang Bangun Pendestrian Ramah Difabel.

Sebabnya, penulis menilai liputan tentang Jalan Ijen tidak seimbang, karena hanya mewawancara walikota.

Walikota menyebut pendestrian ramah difabel, sementara realitasnya berbeda. Berdasarkan hasil audit aksesibilitas Forum Malang Inklusi, Jalan Ijen belum mendukung keamanan, kenyaman dan kemandirian penyandang disabilitas.

 

Berangkat dari cara pandang

Cara pandang media terhadap penyandang disabilitas mempengaruhi model pemberitaan. Beberapa cara pandang yang populer di antaranya medical model, charity model, social model dan human right model.

Cara pandang medik

Medical model atau cara pandang medik, melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang mengalami kelainan fisiologis dan psikologis atau sebagai orang sakit. Cara pandang ini tepat diterapkan di Rumah Sakit dan menjadi dasar tindakan pengobatan dan rehabilitasi.

 

Penyandang Disabilitas sebagai obyek amal

Selanjutnya charity model, adalah menempatkan penyandang disabilitas sebagai obyek amal. Rasa kasihan dan menganggap penyandang disabilitas lemah menjadi dasar cara pandang tersebut.

Cara pandang charity model berasal dari medical model yang salah tempat. Bahwa ketika cara pandang medik diterapkan dalam pergaulan sosial, yang muncul adalah pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah orang sakit. Kemudian orang merasa kasihan, mengganggap penyandang disabilitas lemah, bahkan menilainya sebagai beban lingkungan.

Dalam realitasnya, charity model memiskinkan penyandang disabilitas baik secara struktural (kebijakan) maupun kultural (budaya). Akibat cara pandang ini, penyandang disabilitas banyak kehilangan kesempatan untuk hidup yang lebih baik, serta mengalami ketertinggalan di segala bidang.

 

Gagalnya kebijakan dan respon lingkungan

Berikutnya social model, cara pandang ini menilai disabilitas sebagai akibat gagalnya kebijakan dan lingkungan dalam merespon keragaman.

Penyandang disabilitas dalam konteks identitas warga negara termasuk dalam keragaman. Dalam hal ini mereka memiliki keragaman fisik, intelektual, mental, dan sensorik.

Ketika kebijakan dan lingkungan dapat merespon keragaman tersebut, maka tak ada lagi keterbatasan (disabilitas). Misal adanya ramp bagi pengguna kursi roda, tersedianya juru bahasa isyarat bagi Tuli, dan lainnya.

Menurut social model, solusi seluruh persoalan disabilitas ada dalam kebijakan dan lingkungan.

Hak asasi manusia

Kemudian human right model atau cara pandang berdasarkan hak asasi manusia. Cara pandang ini mutlak bahwa penyandang disabilitas adalah identitas warga negara dan wujud keragaman, yang tak ada alasan bagi siapapun untuk mengurangi penikmatan hak-haknya.

Penerapan human right model selaras dengan social model.

 

Liputan yang diharapkan

Lantas liputan seperti apakah yang diharapkan? Penulis menyajikan konsep sederhana. Namanya API, yaitu advokatif, partisipatif, dan informatif.

Advokatif sebagai tujuan/misi pemberitaan di dalamnya termuat elemen partisipatif dan informatif. Terkait dengan pemberitaan disabilitas, partisipatif adalah melibatkan penyandang disabilitas sebagai narasumber. Sedangkan informatif adalah bersifat menerangkan, mengedukasi dan memberikan skema bantuan.

Misalnya liputan bantuan sosial kursi roda. Isi liputan yang diharapkan adalah: (1) pernyataan penyandang disabilitas tentang pentingnya kursi roda dalam kehidupan sehari-hari (2) apakah bantuan sudah sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas? (3) pernyataan pejabat/pemberi bantuan tentang bagaimana teknis memperoleh bantuan kursi roda bagi penyandang disabilitas yang membutuhkan (4) informasi bahwa alat bantu disabilitas adalah hak penyandang disabilitas.

 

Bagaimana bentuk perlawanan difabel?

Judul tulisan ini adalah Difabel Melawan Jurnalisme Karitatif. Kata melawan adalah diksi yang saya pilih untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap ketidakpahaman dengan pengetahuan.

Tulisan ini sesungguhnya lebih pada penyadaran publik bahwa sudah saatnya mengakiri penempatan difabel sebagai obyek belas kasih.

Bagaimana mengakhirinya? Yang pertama, kepada rekan-rekan penyandang disabilitas, mari sampaikan informasi tanpa kesan belas kasihan. Informasi bisa dalam bentuk pernyataan saat diwawancara, maupun menulis opini/pendapat di media. Kedua, untuk kawan-kawan jurnalis, mari menulis untuk perubahan baik! (Ken)

Similar Posts

Skip to content