Alas Lali Jiwo adalah hutan pinus yang menyimpan kisah mistis, terutama di kalangan pendaki. Beberapa pendaki dilaporkan sempat hilang di Alas Lali Jiwo, dan ada juga yang ditemukan dalam keadaan linglung. Bahkan ada pula temuan jenazah pendaki yang tinggal kerangka1.
Secara harfiah, Alas Lali Jiwo berarti Hutan Lupa Jiwa. Jika dikaitkan dengan mitos angkernya hutan tersebut, kerap kali lekat dengan kisah pendaki yang tersesat dan hilang. Seakan, jiwa-jiwa pendaki itu lupa dengan raganya. Atau sebaliknya, ragawi melupakan jiwanya.
Dalam pemahaman ilmu Jawa kuno, saat jiwa dan raga tak lagi manunggal, atau tak lagi dalam satu tujuan, maka kehidupan akan mengalami banyak halangan. Maka ada pesan kepada para pendaki, saat mendaki gunung manapun, tidak boleh sombong, mengeluh, menantang, merusak serta melanggar norma adat setempat.
Letak Alas Lali Jiwo
Alas Lali Jiwo terletak di Gunung Arjuno. Tepatnya setelah Pos 7 Jawadwipa hingga mendekati Puncak Ogal Agil Gunung Arjuno. Kawasan ini berupa hutan pinus yang sejuk. Beberapa pohon nampak berlumut. Namun semakin mendekati puncak, suasana hutan makin terbuka dan terang oleh sinar matahari.
Sedangkan Gunung Arjuno berada di tiga kawasan kabupaten, yaitu Malang, Pasuruan dan Mojokerto. Gunung Arjuno berdampingan dengan Gunung Welirang, atau dikenal sebagai Arjuno Welirang. Kompleks pegunungan ini dalam pengelolaan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Raden Soerjo, Jawa Timur.
Luas kawasan Tahura mencapai 27.868,30 hektar. Meliputi luas kawasan hutan lindung 22.908,3 hektare, dan kawasan Cagar Alam Arjuno-Lalijiwo 4.960 hektare.
Pantangan di Alas Lali Jiwo
Terdapat beberapa pantangan yang perlu dihindari saat berada di Alas Lali Jiwo. Pendaki tidak boleh bersikap sombong, merusak situs peninggalan, berbicara kasar, serta suka mengeluh.
Pantangan lainnya, pendaki tidak boleh memakai pakaian berwarna merah, serta mendaki dengan kelompok berjumlah ganjil.
Mengutip beberapa informasi media. Beberapa pendaki dilaporkan sempat hilang di Alas Lali Jiwo. Ada juga yang ditemukan dalam keadaan linglung. Mereka yang hilang atau tersesat di jalur ini diduga telah melanggar pantangan-pantangan yang ada di Gunung Arjuno.
Sejarah yang jauh dari mistis
Selain persoalan mistis dan mitos ada versi lainnya. Sejarah sebenarnya nama Hutan ‘Lali Jiwo’. Menurut situs sejarah Belanda javapost.nl, ‘Lali Djiwo’ bukan dinamai oleh orang Jawa, melainkan oleh seorang Skotlandia yang bernama Duncan de Clonie MacLennan2.
Lali Djiwo awalnya merupakan nama sebuah pondok persinggahan. Letak pondokannya berada di tengah hutan, jauh terisolasi dari peradaban.
Dia ingin menamai pondokannya itu dengan nama yang puistis, ‘Vergeet uw Ziel’ dalam bahasa Belanda, atau ‘Forgotten Soul’ dalam bahasa inggris. Artinya jiwa yang terlupakan.
Namun akhirnya MacLennan berubah pikiran dan menggunakan bahasa lokal sehingga diterjemahkannya menjadi ‘Lali Djiwa’, atau jiwa yang terlupakan (bukan diartikan sebagai ‘lupa diri’), karena lokasi pondokannya yang sangat terisolir dan seakan terlupakan. Kemudian seiring waktu, hutan di sekitarnya dinamakan Alas Lali Jiwo.
Pengalaman melintasi Alas Lali Jiwo
Untuk pertama kalinya, pada bulan Agustus 2024 saya bersama dua anggota Difpala, Cakra dan Kholil berhasil mencapai puncak Ogal Agil Gunung Arjuno. Menuju puncak berketinggian 3.339 mdpl, kami melintasi Alas Lali Jiwo.
Pendakian Gunung Arjuno ini merupakan bagian dari misi Difpala Seven Summits. Difpala adalah unit pemberdayaan disabilitas Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) di bidang pelestarian alam dan lingkungan3.
Pengalaman melintasi Alas Lali Jiwo, saya sendiri merasakan kedamaian dan aura persahabatan. Damai sebab sunyi dan senyapnya hutan. Rindang, sejuk dan relatif dingin. Meski suhu badan panas akibat mendaki namun dingin suhu lingkungan membuat pendaki harus tetap berjaket.
Aura persahabatan juga terasa. Secara spiritual, saya merasa diterima oleh para penghuni Gunung Arjuno, baik yang kasat mata maupun maya. Tidak ada masalah serius, melainkan hanya persoalan mengatur langkah dan nafas.
Sebab semakin tinggi mencapai puncak, semakin berat langkah, semakin tipis ketersediaan oksigen. Terlebih trek yang terus menanjak. Nafas ngos-ngosan tak terhindarkan.
Melewati kritis di Tanjakan Sambat
Tanjakan sambat merupakan bagian dari trek pendakian Gunung Arjuno yang menantang. Sambat artinya mengeluh. Trek ini terus menanjak dan menanjak, sehingga sebagian pendaki kerap mengeluh.
Mengeluh memang alamiah, namun tanpa sadar suka mengeluh akan melemahkan mental dan menurunkan kekuatan, serta membuyarkan fokus. Terlebih Tanjakan Sambat masih bagian dalam Alas Lali Jiwo, suka mengeluh adalah salah satu pantangan.
Kami sempat mengalami masa kritis di tanjakan sambat menuju puncak. Kholil, semakin ke arah puncak, fisiknya semakin melemah. Seperti mengalami serangan jantung, dada kirinya sakit. Aku hanya bisa mengambil langkah menenangkan. Memberikan motivasi. Memijat-mijat pundaknya, lalu mendaki kembali pelan-pelan hingga berhasil mencapai puncak.
Hambatan tak hanya itu. Cakra beberapa kali harus kembali ke bawah sebab tongkatnya ketinggalan di tempat-tempat saat istirahat. Ia memang tak biasa memakai tongkat, jadi wajar jika kelupaan.
Namun saya pikir tak lagi wajar ketika ia harus keempat kalinya ketinggalan tongkat. Ia tak lagi kuijinkan mengambil tongkat atng tertinggal itu. Pertimbangannya adalah resiko tersesat dan kecelakaan dalam pendakian.
Kiat sehat dan selamat di Alas Lali Jiwo
Kami akhirnya sampai di puncak dengan selamat. Rasa bahagia nampak dari raut wajah Cakra dan Kholil. Perjuangan, kekompakan dan semangat mereka telah terbayar di ketinggian 3.339 mdpl, Puncak Ogal Agil Gunung Arjuno.
Kiat sehat selamat saat melintasi Alas Lali Jiwo, pada prinsipnya sama dengan kiat keselamatan di gunung-gunung lainnya. Khususnya gunung dengan trek yang relatif menanjak. Selain standar mitigasi, terdapat kiat sehat selamat.
Kiat itu, mudahnya disebut sebagai Lokalwalola, akronim dari kearifan lokal, manajemen waktu, manajemen logistik, dan manajemen langkah.
Kearifan lokal, hargai kearifan lokal yang berlaku di wilayah tersebut. Misalnya tidak boleh mengenakan pakaian warna merah. Tidak ada sulitnya. Namun jika tidak sepakat, tidak perlu diungkapkan atau tidak boleh membuat aksi-aksi yang menantang.
Menantang kearifan lokal relatif menimbulkan sikap sombong. Kaitannya, sikap sombong memecah fokus dan konsentrasi, sehingga rawan kecelakaan dalam pendakian.
Manajemen waktu, hindari pendakian di malam hari, sebab resikonya lebih tinggi. Manajemen logistik, pastikan stok makanan dan minuman cukup. Yang sering terjadi adalah kekurangan air minum.
Khususnya terkait Alas Lali Jiwo, perjalanan dari Pos V Makutoromo menuju Puncak Ogal Agil Gunung Arjuno, satu orang pendaki setidaknya membawa air 4,5 liter atau tiga botol besar air mineral.
Selanjutnya manajemen langkah. Langkah yang terlalu cepat, membuat nafas ngos-ngosan. Jantung berdetak kencang, dan jika dipaksakan terus bisa menyebabkan hilang kesadaran.
Multi Mitigasi
Sejak tahun 2020, saya dan teman-teman penyandang disabilitas mendaki gunung. Kelompok kami namanya Difabel Pecinta Alam (Difpala).
Mendaki gunung bersama kelompok disabilitas, tentu lebih berisiko daripada mendaki dengan kelompok orang tanpa disabilitas. Namun sejak tahun 2020 hingga saat ini, pendakian kami sehat selamat.
Sebabnya, kami menerapkan multi mitigasi atau pengurangan resiko berlapis. Multi mitigasi ini sesuai dengan kebutuhan ragam disabilitas. Misalnya adanya alat bantu disabilitas yang layak, pendamping pendakian yang paham disabilitas, ketersediaan obat antipsikotik, dan keperluan lainnya.
- Sederet Pendaki yang Tersesat di Alas Lali Jiwo Gunung Arjuno https://www.detik.com/jatim/wisata/d-6346816/sederet-pendaki-yang-tersesat-di-alas-lali-jiwo-gunung-arjuno [↩]
- Kebenaran Sejarah Hutan Lali Jiwo di Gunung Arjuno Yang Jauh Dari Kata Mistis https://www.abesagara.com/2019/01/sejarah-sebenarnya-hutan-lali-jiwo-gunung-arjuno-yang-tidak-mistis.html [↩]
- Survei Gunung Arjuno Persiapan Difpala Seven Summits https://lingkarsosial.org/survei-gunung-arjuno-persiapan-difpala-seven-summits/ [↩]