Sejarah Pembentukan Difpala dan Kilas Balik 2020-2022

Sejarah Pembentukan Difpala dan Kilas Balik 2020-2022

5 minutes, 22 seconds Read
Listen to this article
Sejarah Difpala adalah kisah tentang keberanian, inklusi, dan semangat pelestarian alam yang tumbuh di tengah tantangan pandemi.
Ken Kerta
Ken Kerta
Founder Lingkar Sosial Indonesia

Difabel Pecinta Alam (Difpala) merupakan kelompok pendaki gunung pertama di Indonesia. Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) mendirikan Difpala pada Juli 2020 di Malang, Jawa Timur, sebagai respons terhadap pandemi Covid-19. Sebagai bagian dari LINKSOS, Difpala berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat untuk melestarikan alam dan menjaga lingkungan hidup.

Mengenal Omah Difabel

OMAH DIFABEL

Kegiatan Difpala bermula dari Omah Difabel, sebuah rumah pemberdayaan di Dusun Setran, Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Para Pendiri LINKSOS mendedikasikan rumah tersebut sebagai tempat perlindungan bagi penyandang disabilitas yang terdampak pandemi. Omah Difabel di masa pandemi menciptakan lapangan kerja dengan memproduksi masker dan pakaian hazmat. 

Para penjahit masker dan hazmat meliputi penyandang disabilitas dan masyarakat sekitar. Kala itu, Omah Difabel menjadi pusat strategi advokasi, kampanye kesehatan pandemi, sosialisasi covid-19 dan vaknisasi, serta bekerjasama dengan filantropi untuk distribusi bantuan ratusan paket sembako untuk membantu penyandang disabilitas yang membutuhkan. 

Pandemi dan Hambatan Multi Penyandang Disabilitas

OMAH DIFABEL (2)

Saat pandemi, masyarakat dunia diliputi ketakutan dan kepanikan, termasuk masyarakat disabilitas. Namun, lebih dari itu, penyandang disabilitas mengalami hambatan ganda. Pertama, akses informasi. Penyandang disabilitas, khususnya bagi mereka yang memiliki hambatan pendengaran, intelektual, dan mental, sering kali kesulitan mengakses informasi tentang pandemi. Kedua, akses vaksinasi. Penyandang disabilitas kerap terpinggirkan dalam pelayanan vaksinasi karena harus bersaing dengan masyarakat lainnya.

Bahkan, hambatan penyandang disabilitas melampaui itu. Jauh sebelum Covid-19, penyandang disabilitas telah menghadapi isolasi sosial akibat stigma yang membatasi partisipasi mereka di berbagai bidang, termasuk pelestarian alam. Bahkan, penyandang disabilitas akibat penyakit tertentu seperti kusta dan gangguan jiwa khususnya, mengalami stigma ganda. Hal ini menyebabkan eksklusi sosial. Gerakan Difpala memberikan mereka kesempatan untuk keluar dari isolasi sosial dan menikmati udara kebebasan.

Berdamai dengan Pandemi

Pendiri Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS), Ken Kerta dan Widi Sugiarti, memandang pandemi sebagai fenomena kerusakan alam, sehingga manusia sebagai penghuni bumi bertanggung jawab untuk memulihkannya. Manusia juga harus meningkatkan imunitas untuk tetap bertahan menghadapi pandemi.

Keyakinan ini mendorong mereka memulai gerakan kembali ke alam melalui aktivitas pendakian gunung, penghijauan, dan pembersihan jalur pendakian dari sampah plastik. Gunung pertama yang mereka daki adalah Gunung Wedon, sebuah bukit berketinggian 660 mdpl yang terletak di perbatasan Malang-Pasuruan. Akses pendakian gunung ini melalui Dusun Turi, Desa Turirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.

Pada awalnya, sebelum nama Difpala ditetapkan, kelompok ini dikenal sebagai Kelompok Kerja Pemuda atau Pokja Pemuda. Wadah ini ada sebelum pandemi dan menjadi ruang pemberdayaan anak muda disabilitas anggota LINKSOS.

Bagaimana Awal Mula Mendaki?

Sejarah Difpala Longmarch Difabel 23 Agustus 2020

Ken Kerta dan Widi Sugiarti, sebagai pendiri LINKSOS yang memprakarsai pembentukan Difpala, bukanlah pendaki gunung. Mereka belajar mendaki gunung seiring waktu, sambil mendampingi proses belajar penyandang disabilitas.
Pada awalnya, mereka tidak mendaki gunung, melainkan berlatih di alam terbuka, seperti perbukitan dan air terjun. Kegiatan ini mereka namai Longmarch Difabel. Aksi jalan jauh ini mendapat dukungan dua relawan perempuan, Fuji Rahayu dan Sri Eko Wati. 

Keduanya adalah rekan Widi sebagai Kader Posyandu Disabilitas Desa Bedali. Yayuk dan Eko, sapaan akrab mereka, turut mendampingi Difpala sejak cikal bakal belajar mendaki hingga anak didik mereka menjadi penyandang disabilitas pendaki yang terlatih. Sejarah Difpala mencatat tiga perempuan tersebut sebagai sosok yang berjasa.

Langkah lainnya adalah mengajak warga lokal sekitar gunung dan pendaki yang berpengalaman. Rokim adalah warga lokal Gunung Wedon yang turut mendampingi pendaki disabilitas berlatih di Gunung Wedon. Kemudian, Agung Prasetyo adalah pemandu pendakian pertama di Gunung Butak.

Difpala menerapkan sistem inklusif, di mana peran pendamping tidak ditentukan oleh status disabilitas, tetapi berdasarkan kemampuan mitigasi, navigasi, dan pengalaman pendakian. Dengan demikian, dalam perjalanannya, pendaki disabilitas yang sebelumnya menerima pendampingan dapat bertransformasi menjadi pendamping pendakian. Sistem ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang, tanpa memandang keterbatasan fisik maupun status sosial.

Semangat penyandang disabilitas

Sejarah Pembentukan Difpala dan Kilas Balik 2020-2022

Ezra Juniawan, penyandang disabilitas mental akibat epilepsi, menyatakan kehidupannya berubah menjadi lebih baik sejak mendaki gunung. “Saya sudah di-lockdown oleh ibu sejak sebelum corona karena epilepsi. Tidak boleh bekerja, disuruh di rumah saja,” ujarnya pada Kamis (24/12/2020) di Omah Difabel. Namun, sejak bergabung dengan LINKSOS,  Ezra merasa hidupnya menjadi lebih berguna. Ezra merupakan penyandang disabilitas pertama di LINKSOS yang melakukan survei dan pendakian gunung. “Saya juga diajak Pak Ken untuk pertama kalinya merintis olahraga pendakian gunung,” ungkapnya. 

Ketika itu, kami survei Gunung Wedon pada bulan Juli 2020, di Desa Turirejo Lawang, Kabupaten Malang. Tinggi gunung sekitar 660 mdpl, namun terus menanjak, sehingga cocok untuk lokasi berlatih hingga saat ini. “Saat ini, di LINKSOS memberikan kepercayaan kepada saya sebagai pelatih keterampilan pembuatan keset, juga pendamping pendakian gunung untuk difabel di Sekolah Alam Gunung Wedon,” ujar Ezra. 

Keberhasilan dan Tantangan

GUNUNG KAWI 2020

Waktu terus berjalan, Pokja Pemuda berhasil mendaki beberapa gunung yang lebih tinggi, di antaranya Gunung Butak (2.868 mdpl) dan Gunung Kawi (2.603 mdpl). Bahkan,sejak turun dari Gunung Butak, kelompok ini memiliki sebutan baru, yaitu Timsus Pendaki Difabel. Nama ini sebagai motivasi untuk terus berlatih, mendaki, dan mengampanyekan hapus stigma disabilitas.

Namun, seiring dengan itu, tantangan dan hambatan harus mereka hadapi. Kritik dan tuduhan, seperti anggapan bahwa kegiatan ini mengeksploitasi penyandang disabilitas atau bahkan dianggap hoaks, sempat menghampiri. LINKSOS tidak proaktif merespons hal tersebut; mereka lebih fokus pada rencana keberlanjutan dan mitigasi.

Seiring itu, LINKSOS juga menyadari risiko pendakian bersama penyandang disabilitas, terutama bagi penyintas kusta, penyintas epilepsi, dan penyintas kesehatan mental. Oleh karena itu, Difpala selalu merencanakan multi mitigasi dan penegakan standar operasional prosedur (SOP) dalam setiap kegiatan. LINKSOS juga memperkuat prinsip kemandirian dan keswadayaan. Sejak berdirinya pada tahun 2020 hingga 2022, 75 persen pembiayaan Difpala berasal dari pendiri, sedangkan selebihnya adalah keswadayaan anggota.

DIFPALA 2020

Momentum nama baru Difpala

Tantangan Difpala juga berasal dari internal organisasi yaitu masalah perspektif. Beberapa anggota Timsus Pendaki Difabel menganggap puncak gunung adalah tujuan utama, sedangkan latar belakang berdirinya komunitas bukanlah soal keinginan mendaki gunung.

Pemahaman ini harus segera diluruskan. Pada prinsipnya, setiap pendaki adalah abdi alam; mereka wajib melestarikan alam melalui kegiatan konkret, seperti penghijauan. Untuk itu. pada akhir tahun 2020, setelah turun dari pendakian Gunung Kawi, menjadi momentum lahirnya nama baru, yaitu Difabel Pecinta Alam (Difpala)

Nama ini memiliki dua tujuan penting. Pertama, mengingatkan fundamental berdirinya komunitas, yaitu tugas mulia untuk memulihkan, menjaga, dan merawat alam. Kedua, memberikan wadah yang lebih luas bagi penyandang disabilitas, mengingat tidak semua penyandang disabilitas mampu mendaki gunung. Difpala menguatkan program penghijauan di kaki gunung, kampanye media sosial, dan kegiatan lainnya yang bisa diakses oleh seluruh penyandang disabilitas tanpa terkecuali.

Sejarah Difpala adalah kisah tentang keberanian, inklusi, dan semangat pelestarian alam di tengah tantangan pandemi. Difpala membuktikan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga menjadi pelopor dalam gerakan pelestarian lingkungan.

Longmarch Pokja Difabel

Similar Posts

Skip to content