Motivasi mendaki gunung setiap orang pasti berbeda, mulai dari olahraga, mencari ketenangan, merawat alam, hingga sekadar mengikuti tren media sosial. Seperti belakangan ini, muncul istilah pendaki FOMO (Fear of Missing Out), yakni mereka yang mendaki hanya karena takut ketinggalan momen yang sedang viral.
Lantas, apa motivasi saya dalam mendaki gunung? Jawabannya mungkin berbeda dari kebanyakan pendaki lainnya. Motivasi utama saya bukan sekadar mencapai puncak atau menikmati panorama alam, melainkan untuk mendampingi teman-teman disabilitas dalam merasakan pengalaman mendaki yang inklusif.
Biasanya, pendaki mengabadikan momen mereka dengan dokumentasi, lalu menyimpan di ponsel atau mengunggah ke media sosial. Namun bagi saya, kebersamaan dan perjuangan mendampingi teman-teman difabel mendaki gunung jauh lebih bermakna daripada sekadar menapaki puncak. Prinsip keselamatan menjadi prioritas utama, karena para pendaki difabel menghadapi tantangan yang berbeda dari pendaki lainnya.
Inilah yang melatarbelakangi lahirnya Difabel Pecinta Alam (Difpala), sebuah komunitas yang saya dirikan sebagai wadah bagi penyandang disabilitas untuk menikmati alam dengan aman dan setara. Bersama Difpala, kami membuka ruang bagi teman-teman difabel untuk menaklukkan keterbatasan, menguatkan mental, serta membangun solidaritas melalui aktivitas pendakian.
Mendaki gunung bagi kami bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang keberanian, kebersamaan, dan ketekunan. Difpala berupaya menerapkan prinsip mendaki yang ramah lingkungan—leave no trace, menjaga kelestarian alam, serta mengedukasi pendaki lain agar lebih peduli terhadap lingkungan.
Dari setiap pendakian, saya selalu belajar bahwa alam bukan hanya tempat untuk dinikmati, tetapi juga harus menjaganya. Dengan keterbatasan yang ada, kami ingin membuktikan bahwa mencintai alam adalah hak semua orang. Melalui Difpala, kami berusaha menginspirasi lebih banyak orang untuk tidak hanya menjadi penikmat alam, tetapi juga menjadi bagian dari solusi dalam menjaga kelestariannya.