Katak direfleksikan sebagai penikmat lingkungan. Sampai suatu waktu terlambat menyadari bahwa air tempat dia menikmatinya sudah mulai menghangat, bahkan mendidih memasaknya tak berdaya.
Berang-berang adalah refleksi pekerja keras, yang terus mencoba menciptakan lingkungan hidupnya dan orang lain untuk berbiak. Dia bekerja membangun bendungan, meski suatu ketika bendungan nya hancur total diterjang banjir atau dibersihkan oleh petugas irigasi, dia akan kembali membangun.
Elang adalah pengamat yang sangat tajam. Dengan luas pandang di bawahnya hampir tak berbatas, memburu katak atau berang-berang, namun juga tidak terlalu peduli dengan kematian katak di air hangat atau kehancuran bendungan buatan berang-berang.
Katak, Berang-berang dan Elang
“Iya masih banyak ditemukan, pasien kusta dengan reaksi berat tidak tertangani dengan baik. Kami mencoba mendampingi ke layanan kesehatan , tapi tidak seperti yang saya alami dulu.”
Saat kami alami reaksi, betul-betul dilayani dengan baik, diperiksa semua, apa kemungkinan penyebab reaksinya. Sekarang tidak ada lagi layanan seperti itu.
Bahkan kami bawa ke rumah sakit besar di Makassar, yang diperiksa hanya BTA-nya saja. Padahal kita ingin tahu apa pencetus dia punya reaksi sehingga kita bisa tangani agar tidak reaksi terus menerus.
Begitu kisah pak Al-Kadri dari Makassar. Ia menjawab pertanyaan moderator pada talkshow peluncuran Yayasan NLR Indonesia di Bidakara Jakarta, 15 Juni 2023 lalu.
Sebuah pernyataan antara keputus asaan (karena bukan ahli pengobatan reaksi kusta) dan terus melanjutkan layanan kepada sesama para penyandang kusta di daerah tempat dia berkarya.
Layaknya seekor berang-berang yang membangun dam, untuk perlindungan diri dan beranak pinak. Sekaligus melindungi diri di musim dingin yang akan datang.
Bagi berang-berang membangun kembali dam adalah survival, dan menyerah bukan pilihan. Aliran deras sungai bukan hambatan untuk membuat bendungan.
Hasil bendungan yang dibuat berang-berang dapat menahan air. Memberikan kesempatan spesies lain berkembang biak seperti katak, capung, ikan, berbagai tumbuhan air. Menghasilkan sebuah ekosistem baru yang alamiah dan berbuah.
Berang-berang terus berkarya membuat habitat. Sementara katak hanya penikmat sekaligus merana jika habitat nya musnah.
“Masalah kusta itu seperti sepeda, dengan dua roda, yang depan adalah kesehatan sedangkan roda belakang adalah stigma. Yang harus diselesaikan dengan beriringan.
Untuk urusan kesehatan ini sudah tidak ada issue karena kusta sudah bisa disembuhkan. Antibiotik tersedia untuk membunuh kuman. Jaman saya menderita dulu kita cuman makan satu obat : dapson. Tapi untuk roda belakang ternyata belum selesai.”
Pak Alkadri melanjutkan : ”Kalau untuk masalah stigma, tentu orang yang mengalami sendiri perlu bangun, sayangnya orang kesehatan masih ada yang menstigma. Bagaimana bisa meyakinkan orang banyak jika orang kesehatan sendiri tidak yakin dan masih ada ketakutan pada mereka.
Perlu sekali, tidak ada lagi diskriminasi di Puskesmas atau layanan kesehatan.” Memang telusuran Eva Haverkort & Anna T. van ‘t Noordeinde[1], menunjukan bahwa tidak semua petugas kesehatan bersedia melayani penderita kusta.
Sering karena rasa was was tertular. Meski memang ada variasi antar negara, wilayah, sarana kesehatan, dan jenis petugas kesehatan.
Peneliti juga menemukan faktor-faktor yang mendorong persepsi positif terhadap kusta: sebagai lelaki, pernah mendapat pelatihan kusta. Sudah lulus lebih dari lima tahun, dan berpengetahuan tentang kusta. Mereka-mereka ini lebih berpersepsi positif terhadap kusta.
Pak AlKadri melanjutkan : ”Untuk membangunkan orang-orang yang terkena kusta, kami memberikan pendampingan. Agar mereka sendiri menjelma menjadi agen perubahan di lingkungannya, dengan memperlihatkan bahwa banyak penderita yang sembuh tanpa meninggalkan masalah”
”Cita-cita untuk zero transmisi, itu cita-cita besar. Tapi kusta adalah penyakit menular, yang akan masih tetap ada. Dan zero disabilitas, adalah mimpi yang sangat realistis utk kita capai, karena emang kusta bisa diobati dan disembuhkan.”
Begitu mimpi pak Alkadri sebagai OYPMK. Tidak ada lagi penderita kusta yang menderita berkelanjutan karena disabilitas berlanjut, akibat cacat menetap. Sebuah perspektif seekor elang yang bisa melihat dari ketinggian.
Profil pak AlKadri yang merasakan menjadi seekor katak. Terstigma dan drop out dari sekolah. Berkutat dengan derita bertahun sampai mengalami disabilitas.
Mengucilkan diri dari rumah untuk tinggal di komplek kusta. Merasakan keputusasaan. Kemudian melompati kolam kungkungan katak. Mencoba menjadi berang-berang. Tterus memberdayakan OYPMK dan penderita lainnya untuk mau sembuh dan bangun memberdayakan diri.
Namun juga melayang di ketinggian seperti elang untuk melihat perspektif yang lebih luas. Apa yang mungkin menjadi kenyataan dan yang masih diperjuangkan sangat panjang.
Ada banyak yang tetap menjadi katak , atau terspesialisasikan menjadi berang-berang. Atau juga hanya melayang layang saja di udara sebagai elang yang mengamati (biasanya para akademisi).
Mungkinkah team Lingkar Sosial Indonesia memiliki perspektif ketiga-tiganya. Karena entitas baru memberikan keleluasaan untuk berkiprah dan memerankan tiga analogi: katak – berangberang – elang.
Clarity house , Ciputat 30 April 2024