Anggota Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) Faisal, Tri Wulandari, Ezra dan Yudha adalah beberapa anak muda difabel yang tergabung dalam Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) Inklusi Omah Difabel. Tak sendiri mereka bersama pegiat inklusi lainnya, ada Widi, Ekowati, Fuji Rahayu, Shintawati, Hari Kurniawan, dan Siswinarsih.
Faisal cowok dengan celebral palsy setiap hari menunggu toko kelontongan miliknya, sambil tak ada bosannya memainkan medsosnya menyebarluaskan informasi tentang kegiatan LINKSOS khusunya belakangan ini terkait tanggap bencana.
“Ayo teman-teman untuk menghapus stigma bahwa difabel hanya dibantu, mari kita turun untuk jadi relawan menolong saudara-saudara kita yang kena musibah,” pesan pengguna kursi roda tersebut.
Faisal tak sendiri, kawan seperjuangaannya saat di YPAC, Tri Wulandari yang saban hari dari atas tempat tidur tak ada bosannya memainkan gawainya untuk memantau perkembangan kegiatan organisasi.
“Sesungguhnya saya difabel yang menyukai tantangan, tapi karena kondisi saya seperti ini ya cukup memberikan dukungan atas semue kegiatan LINKSOS sekalipun hanya share informasi,” ujarnya semangat.
Relawan lainnya adalah Ezra, disabilitas mental akibat epilepsi. Di sela pekerjaannya membuat keset, ia meyempatkan dirinya koordinasi dengan Sekretariat LINKSOS untuk membantu segala hal yang bisa dilakukan.
“Siap tok wes, mau kegiatan membuat keset, mendaki gunung, atau jadi relawan tanggap bencana,” tuturnya. Bagi saya LINKSOS merupakan tempat saya belajar dan mengubah diri menjadi lebih baik.
Sementara itu Yudha, orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) juga terjun langsung untuk kegiatan tanggap bencana, dari survei lokasi, mendukung pendataan, hingga menyalurkan bantuan sosial.
“Yang penting seger waras, sehat, dan luang waktu pasti saya siap untuk apapun kegiatan sosial,” kata Yudha. Hati-hari ia membuat keset, bekerja pemasaran serta, sesekali di pasar Lawang untuk membantu istrinya berjualan pakaian.
“Bicara soal kerelawanan nggak usah banyak tanya, asal ikhlas ya berangkat saja, kalau nggak tahu ya tanya, juga selalu koordinasi agar giat di lapangan kompak dan berjalan baik,” sambut Sekjen LINKSOS Widi Sugiarti, didampingi beberapa pegiat perempuan lainnya, Ekowati dan Fuji Rahayu, keduanya Kader Posyandu Disabilitas Indonesia, serta pegiat pemilu dan demokrasi Shintawati. Kerelawanan tanggap bencana itu soal kemanusiaan, nggak membedakan jenis kelamin, difabel dan non difabel.
Lantas apa syarat menjadi relawan difabel?
“Nggak ada syarat jadi relawan, asalkan ketulusan hati, juga siap fisik dan mental,” jawab Hari Kurniawan, Pria yang akrab disapa Wawa ini adalah Pendiri LBH Disabilitas. Para pegiat disabilitas di skala nasional rerata kenal dengan sosok ini. Saat dibuat tulisan ini, pria dengan cerebral palsy tersebut tengah berada di Lumajang untuk menangani difabel korban bencana.
Senada disampaikan Ketua HWDI Malang, Siswinarsih bahwa disabilitas tidak menghalangi atau mengahmbat untuk jadi relawan. “Syarat utamanya ya jiwa sosial dan rasa kepedulian yang tinggi, dan dalam situasi tanggap bencana seperti saat ini difabel dan non difabel tetap setara,” tandasmya. (admin)