Pada Jumat dini hari, 4 Juli 2025, jalan Panji Suroso di Blimbing, Kota Malang, mendadak menjadi tempat kematian. Seorang anggota konvoi perguruan silat tewas ditusuk karena suara bising motor yang memicu kemarahan seorang warga. Malam itu, tak ada duel kehormatan, tak ada sabetan tangan kosong, tak ada upacara tradisi leluhur—hanya kekerasan brutal dan tubuh yang tergeletak dingin di aspal.1.
Ini bukan kejadian pertama. Sejak 2021, menurut data dari Pangdam V/Brawijaya, telah terjadi lebih dari 400 konflik antarperguruan silat di Jawa Timur. Angka yang mengejutkan, bukan hanya karena jumlahnya, tapi karena itu terjadi di ranah yang semestinya mendidik tentang kedewasaan, ketangguhan, dan kehormatan.2
Lalu, di mana sesungguhnya nilai-nilai silat itu?
Warisan yang Tergelincir
Pencak silat pernah menjadi jalan luhur. Ia bukan sekadar teknik bela diri, tetapi bagian dari laku hidup. Di dalamnya terkandung filsafat: kesabaran, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap sesama. Dulu, silat adalah cara untuk menata batin sebelum mengayunkan tangan. Ia diajarkan di surau, di padepokan, dan di tanah lapang yang menyatu dengan alam.3
Namun kini, yang tersisa di beberapa sudut hanyalah rompi konvoi, knalpot bersuara pecah, dan yel-yel yang memekakkan telinga malam. Alih-alih menciptakan keamanan, beberapa perguruan silat malah menjadi sumber keresahan. Dari jalan raya ke rumah sakit, dari stadion ke pemakaman.
Dari Gunung Wedon, Sebuah Kesaksian
Di tengah kabut pegunungan selatan Malang, Gunung Wedon menyimpan kisah berbeda. Di sanalah kami—Difabel Pecinta Alam (Difpala)—berlatih disiplin, ketahanan, dan empati. Bukan untuk bertarung, tapi untuk bertahan dan membangun. Di tempat yang sama, para pemuda difabel yang menggunakan kursi roda atau kaki prostetik, meniti akar dan batu, belajar tentang batas dan kesetaraan.
Tak ada sorak-sorai, tak ada bendera dikibarkan, tapi ada semangat yang lebih dalam: semangat saling membantu, melindungi, dan merawat bumi.
Ironisnya, apa yang diperjuangkan oleh teman-teman difabel dengan segala keterbatasan, justru mulai diabaikan oleh mereka yang mengklaim dirinya “pendekar”.
Kapan Kita Menjadi Dewasa?
Mereka menyebut dirinya pendekar, tetapi tak lagi mampu menahan amarah. Mereka bangga dengan seragam dan sabuk, tetapi kehilangan makna di balik warna. Mereka berkonvoi tanpa tahu arah. Apa yang ingin ditunjukkan sebenarnya?
Jika nilai-nilai silat hanya menjadi aksesori kekerasan, maka kita tak sedang mewarisi budaya—kita sedang menodainya.
Pangdam Brawijaya sempat menyerukan pembongkaran tugu-tugu silat sebagai simbol damai. Tapi apakah membongkar tugu cukup? Ataukah kita harus membongkar ego dan rasa benar sendiri yang selama ini membatu dalam dada?
Silat yang Ingin Kami Lihat Kembali
Kami percaya, silat belum mati. Di desa-desa, di pelosok pesantren, di sekolah, kampus, masih ada guru silat yang mengajarkan anak didiknya untuk “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa merendahkan). Masih ada padepokan yang mengajarkan kesadaran sebelum kekuatan. Masih ada harapan.
Mungkin sudah waktunya perguruan-perguruan silat itu mendaki kembali—bukan ke puncak kekuasaan jalanan, tapi ke puncak nilai-nilai mereka sendiri. Kembali ke Gunung Wedon. Kembali ke akarnya.
Karena ketika silat kehilangan nilainya, yang tumbuh bukan keberanian, tapi kebrutalan.
Penutup
Kami, dari komunitas difabel yang belajar berdiri di atas keterbatasan, hanya ingin mengingatkan: Menjadi kuat itu baik, tapi menjadi bijak itu jauh lebih penting.
Dan barangkali, saat dunia mulai gaduh oleh suara konvoi, suara yang paling perlu kita dengarkan justru datang dari mereka yang selama ini diam— mereka yang mendaki tanpa sorak-sorai, dan menghidupi nilai-nilai yang mulai dilupakan oleh para “pendekar”.
