
Sebuah video pendek yang viral di media sosial mengungkap kejadian tak menyenangkan, seorang pendaki disuruh pindah lokasi kemah karena area tersebut diklaim sudah “dibooking”. Meski masih simpang siur informasi lokasi kejadian, insiden ini menuai reaksi luas, termasuk dari komunitas Difabel Pecinta Alam (Difpala) yang menilai tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan.
Dalam video yang diunggah akun Instagram @luluvitaaasa_ pada Selasa (3/6/2025), terdengar suara pendaki yang mengungkapkan kekecewaannya. “Tadi kita udah pasang tenda di sini, terus katanya udah dibooking, terus kita diusir dari tenda yang udah jadi,” ujarnya.
Unggahan tersebut juga menyematkan tiga kalimat sindiran yang menjadi sorotan: “tempat sudah dibooking”, “tempat punya OT”, “dipesen porter lokal”. Ketiganya menjadi bahan perbincangan hangat warganet.
Ken Kerta: Pengusiran Bisa Membahayakan
Founder Difpala, Ken Kerta, mengecam keras tindakan pengusiran tersebut. Ia menegaskan bahwa semua pendaki memiliki hak yang sama untuk menggunakan area berkemah di gunung.
“Selain melanggar hak, pengusiran seperti itu bisa membahayakan jiwa. Bayangkan jika pendaki kehilangan tempat berlindung di tengah cuaca ekstrem,” ujar Ken.
Area camping menganut sistem “first come, first served” atau siapa cepat ia dapat, sehingga terdapat beberapa hal yang dilanggar dalam insiden ini:
- Larangan klaim lahan sepihak. Gunung adalah ruang publik – tak seorang pun berhak memonopoli spot sebelum hadir di lokasi.
- Pelarangan pengusiran. Tindakan mengusir pendaki hanya boleh dilakukan oleh petugas berwenang untuk alasan keamanan, misalnya lokasi rawan longsor, binatang buas, angin kencang, dan lainnya.
- Prinsip berbagi ruang. Pendaki wajib menghormati sesama, termasuk menawarkan bantuan jika memungkinkan dan menghindari keributan.
- Kepatuhan aturan dasar. Mulai dari pendaftaran resmi di basecamp, prinsip Leave No Trace (bawa turun sampah), hingga larangan merusak vegetasi.
Difpala: Manajemen Lokasi untuk Keselamatan Disabilitas
Menengok pengalaman Difpala, mereka kerap mengadakan pendakian dengan peserta berjumlah besar. Penyandang disabilitas anggota pendakian, tentu menghadapi tantangan tersendiri – termasusk dalam hal pemilihan lokasi kemah. Namun, mereka menempuh cara-cara kolaboratif, bukan dengan klaim sepihak.
“Kami butuh lokasi yang terkonsentrasi agar lebih mudah dalam pemantauan dan kegiatan edukatif. Tapi kami sadar, gunung adalah milik semua,” terang Ken.
Difpala telah merancang langkah-langkah strategis yang tetap menjunjung kebersamaan:
- Survei Lokasi Kemah: Dilakukan jauh sebelum hari pendakian, dengan memastikan tempatnya ramah disabilitas.
- Koordinasi dengan Pos Pendakian: Menyampaikan kebutuhan akan lokasi kemah yang terkumpul demi keselamatan.
- Dukungan dari Petugas: Beberapa petugas membantu merapikan jalur dan memperbolehkan Difpala memberi tanda pada area kemah.
- Informasi Persuasif: Petugas menyampaikan kepada pendaki lain tentang kehadiran kelompok disabilitas, dan mengajak untuk saling mendukung, bukan melarang.
- Tim Perintis: Dikirim lebih awal untuk mengamankan lokasi dengan memasang flysheet dan tenda.
- Terbuka untuk Semua: Meskipun ditandai, area kemah tetap terbuka untuk pendaki lain yang ingin bergabung.
Gunung Bukan untuk Dimiliki, Tapi Dijaga Bersama
Peristiwa viral ini menjadi pengingat penting. Bahwa semangat mendaki bukan hanya soal mencapai puncak, tapi juga tentang menghargai sesama dan berbagi ruang di alam bebas. Gunung bukan tempat yang bisa dimiliki, apalagi dibooking seenaknya.
Difpala menegaskan bahwa solidaritas antar pendaki, terutama kepada penyandang disabilitas, adalah bentuk nyata dari keberadaban dan jiwa pecinta alam sejati.