
Malang, 17 Oktober 2025 — Di lantai lima Gedung Malang Creative Center (MCC), ruang kerja bersama bernama Hub Collaboration – LINKSOS tampak lebih hidup dari biasanya. Sejumlah pelaku UMKM Disabilitas duduk melingkar, sebagian membawa hasil karya mereka—mulai dari kain batik, produk rajut, hingga camilan rumahan. Namun hari itu, mereka tidak membahas cara menjual produk, melainkan bagaimana menceritakan produk mereka atau product story.
Inilah yang disebut layanan pembuatan “product story”, sebuah inisiatif dari Forum Inklusi MCC melalui program Pojok Inklusi, yang bekerja sama dengan Tim Omah Difabel – Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Program ini bukan sekadar pendampingan teknis, melainkan upaya menggali makna di balik setiap karya pelaku UMKM disabilitas.
“Setiap produk memiliki cerita, dan cerita itu seringkali lebih berharga dari produknya sendiri,” ujar Widi Sugiarti, Pembina LINKSOS sekaligus Koordinator Pojok Inklusi MCC.
Menurut Widi, banyak pelaku UMKM disabilitas memiliki ide dan semangat luar biasa, tetapi belum terbiasa menuturkan kisah di balik proses kreatif mereka. Padahal, di dunia ekonomi kreatif saat ini, kekuatan storytelling dapat menjadi jembatan antara pelaku dan pasar.
“Ketika pembeli tahu bahwa kain ini misal dibuat oleh penyandang disabilitas yang pantang menyerah dengan kualitas baik sesuai standar pasar, maka nilai produk itu bertambah. Orang tidak hanya membeli barang, tapi juga membeli semangat, keberanian, dan nilai kemanusiaan,” kata Widi.
Menulis Cerita, Menulis Diri Sendiri
Dalam sesi pendampingan itu, tim Omah Difabel membantu para peserta menemukan cara bercerita: menggali inspirasi, menulis narasi, dan menghubungkan kisah pribadi dengan nilai produk. Tak jarang, proses ini membuat suasana menjadi haru.
Salah satu peserta, Ina Sudaryati—seorang ibu dari anak cerebral palsy yang memiliki produk susu kedelai—mengaku baru kali ini menyadari betapa panjang perjuangan di balik produknya.
“Dulu saya pikir yang penting hasilnya baik. Tapi ternyata orang juga ingin tahu bagaimana saya membuatnya,” ujarnya Ina Sudaryati.
Pendekatan reflektif seperti ini sejalan dengan semangat Forum Inklusi MCC, yang menjadikan Pojok Inklusi sebagai ruang pembelajaran dan promosi bagi karya disabilitas. Tidak sekadar etalase, Pojok Inklusi berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara komunitas, publik, dan dunia usaha.
Dari Cerita Menjadi Gerakan
Widi menambahkan, program ini diharapkan menjadi gerakan berkelanjutan di lingkungan MCC, tempat berbagai komunitas kreatif Malang Raya berkumpul. “Kami ingin pelaku disabilitas tidak hanya dikenal karena produknya, tapi juga karena kisah dan nilai yang mereka bawa. Cerita itu bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap disabilitas,” katanya.
LINKSOS melalui Omah Difabel memang telah lama berfokus pada pemberdayaan ekonomi inklusif. Kolaborasi dengan MCC membuka ruang baru: menjadikan kreativitas disabilitas sebagai bagian integral dari ekosistem ekonomi kreatif Kota Malang.
Kini, setiap produk yang lahir dari tangan para pelaku UMKM disabilitas tidak lagi sekadar benda yang dijual. Ia menjadi narasi tentang ketekunan, keberanian, dan kebanggaan.
Cerita-cerita kecil yang lahir di Pojok Inklusi ini menjadi bukti bahwa inklusivitas bukan hanya slogan—ia sedang tumbuh, pelan tapi pasti, di ruang kolaborasi Kota Malang.