Pegiat sosial mencurahkan hidupnya untuk bersosial atau membantu orang lain. Keberkahan sudah pasti menjadi bagian hidup mereka, meski isu negatif kerap menjadi perintang jalan.
Isu menurut KBBI artinya masalah yang dikedepankan untuk ditanggapi. Makna lainnya, isu merupakan kabar yang tak jelas asal usulnya, dan tak terjamin kebenarannya. Sama dengan desas desus dan kabar angin.
Beberapa kabar angin
Ini cerita tentang saya sendiri, Ken. Orang yang sehari-hari berhadapan dengan isu. Baik isu dalam konteks hal yang dikedepankan, maupun kabar angin.
Menjadi pegiat sosial adalah jalan hidup. Dan ini pilihan saya sejak usia 26 Tahun. Kala itu masih lajang. Tahun 2001, di Lampung saya mendirikan organisasi pelestari aksara Jawa.
Isu positifnya adalah gerakan anak muda melestarikan budaya Jawa pada komunitas keturunan Jawa di Lampung. Namun terdapat pula isu negatif yang beredar, yaitu saya membuka praktik perdukunan.
Mengubah dampak isu negatif menjadi positif
Isu membuka praktik perdukunan tidak saya tanggapi. Setiap satu minggu sekali kediaman saya ramai anak muda. Dan terus berkembang sehingga tiap hari ramai orang. Tak hanya anak muda, tapi juga para orang tua atau orang yang sudah berumahtangga.
Maksud kedatangan mereka pun tak hanya soal belajar aksara Jawa. Sanggar (tempat berkumpul) yang saya buat menjadi tempat berkonsultasi tentang kehidupan. Saya layaknya dukun muda, selaras dengan isu yang dihembuskan.
Alhamdullilah, ada kebaikan hadir di situ. Satu sisi saya banyak belajar soal kebijaksanaan hidup. Sisi lainnya rejeki mengalir: gula, kopi, rokok, hasil bumi, dan dukungan lainnya.
Tak selamanya indah
Dari Lampung saya berpindah ke Sumatera Selatan, Tahun 2010. Demikianlah perjalanan kehidupan. Di tempat baru saya membantu warga dusun terpencil, ada anak dengan gizi buruk, orang dengan kusta serta masalah kesehatan lainnya disana.
Upaya saya berhasil membuahkan puskesmas keliling. Satu minggu sekali Dinas Kesehatan melakukan kunjungan kesehatan untuk pengobatan gratis.
Upaya membangun desa-desa tertinggal tersebut hingga menarik perhatian perguruan tinggi dan DPRD setempat. Namun di sisi lainnya isu negatif muncul. Isunya adalah saya iri hati dengan Kepala Desa setempat.
Namun isu tak selamanya menjadi indah. Kasus berakhir dengan tragedi, oknum Kades dan komplotannya mengeroyok saya. Fakta yang terjadi sesungguhnya, di balik itu mereka takut kasus korupsinya terungkap.
Belajar berorganisasi
Sebuah NGO internasional kemudian merekrut saya. Optimisme saya, mereka pasti melihat Ken sebagai sosok muda yang penuh dedikasi.
Saya bertugas untuk wilayah kerja di seluruh Kalimantan dan Sumatera. Di organisasi itu saya banyak belajar bagaimana mengelola sebuah advokasi.
Mengenal kusta
Dari Kalimantan dan Sumatera, saya bergeser ke Jawa Timur, Tahun 2014. Saya dan istri, dibantu beberapa kawan mendirikan sebuah organisasi yang bernama LINKSOS.
Pekerjaan pertama LINKSOS adalah membantu komunitas kusta. Kasus ini kami tangani berkat laporan masyarakat. Bentuk kegiatannya adalah edukasi untuk hapus stigma kusta.
Saya pikir, ini bukan sebuah kebetulan. Mengingat kembali tahun 2010, saya pernah membantu orang yang mengalami kusta di Sumatera Selatan.
Dan waktu terus berjalan bersama isu yang tetap berhembus. Berkahnya, sejak tahun 2019 kegiatan untuk pemberdayaan orang yang mengalami kusta didukung oleh sebuah NGO internasional. Dan berkahnya lagi, bermitra dengan organisasi tersebut, saya banyak belajar soal perencanaan dan strategi advokasi.
Berteman difabel
Tahun 2015 saya mulai berteman dengan difabel atau penyandang disabilitas. Lewat LINKSOS kami kemudian membuat kegiatan pemberdayaan. Ada dua hal yang saya catat di sini. Pertama, bahwa semua bukan kebetulan. Kedua, masih soal isu negatif. Bagi saya mengenal difabel itu hanya soal istilah. Sebab di masa lalu saya rupanya telah dikelilingi oleh difabel.
Berguru pada difabel
Tahun 1994, saya belajar ilmu Jawa dengan seorang buta. Kemudian tahun 1996 saya berguru silat pada seorang pemuda berkaki polio. Lalu di tahun 2000 saya belajar ilmu tenaga dalam pada seorang guru yang pula berkaki polio.
Bahkan kakak kandung saya ternyata seorang penyandang disabilitas intelektual. Tersebut saya sadari di tahun 2016, saat saya mulai belajar tentang disabilitas. Dan kembali, dalam hal ini saya banyak belajar dari seorang difabel. Saya memanggilnya sebagai mas Wawa.
Ya, jaman dulu memang belum ada istilah difabel dan disabilitas. Yang ada istilah orang cacat, orang ciri, orang buta dan sebagainya.
Menjual isu
Lain dulu lain sekarang. Jika dulu saya diterpa isu negatif, maka saat ini saya dituduh menjual isu disabilitas.
Isu negatif itu datangnya bergelombang. Pertama di tahun 2016. Saat itu isunya saya sebagai orang yang mencampuri urusan difabel. Ya, maklum saja, saat itu UU Disabilitas baru saja disahkan. Pemahaman inklusi belum sebegitu populer seperti saat ini.
Berikutnya di tahun 2019, sekomplotan orang mulai menempelkan stigma penjual isu disabilitas ke saya. Mengingat jam terbang saya, berorganisasi sejak tahun 2001, rasanya tak sulit mencari aktor dibalik semua itu.
Puncak kekesalan
Salah seorang penyebar isu negatif, mungkin ia sedang di puncak kekesalan. Salah satu hal konyol yang ia lakukan untuk mewujudkan ambisinya adalah menebar ancaman.
“Jangan berteman dengan Ken jika ingin dapat bantuan sembako.”
Saya pikir ia sudah keterlaluan. Sebagai orang yang bekerja di Pemerintahan, meski hanya pekerja kontrak di sebuah kementerian, tak layak menyalahgunakan wewenangnya.
Catatan sang waktu
Dan waktu terus berjalan. Detik demi detik waktu mencatat perjalanan saya sebagai pegiat sosial. Saya dan tim melahirkan karya-karya inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat. Di antaranya Posyandu Disabilitas.
Mencari referensi
Rasanya terlambat untuk menjadi orang lemah. Namun saya tetap mencari sebuah referensi untuk menguatkan diri.
Saya bertemu dengan beberapa pegawai Rumah Sakit Jiwa. Selain itu juga berteman dengan pengelola panti rehabilitasi.
Saya melihat mereka adalah orang-orang penting dan orang hebat. Mereka meluangkan waktu, tenaga dan hidupnya untuk menolong orang lain melalui pekerjaannya.
“Silahkan saja orang berkata kami hidup dari disabilitas, toh mereka yang berkata hanya berbuat untuk diri mereka sendiri.” Inti sari tanggapan mereka.
Mari berbaik sangka
Sebelum 1000 kata, tulisan ini harus saya tutup. Agar orang tak jenuh membaca.
Akhir cerita, saya melihat para penyebar isu negatif adalah orang-orang yang tidak berbahagia. Beban hidup mereka yang sudah berat. Dan akan semakin berat dengan menggendong berbagai materi isu.
Orang yang termakan isu, dalam jangka waktu lama akan menjadi pemakan isu. Dan memastikan itu tak akan membuat kenyang. Karena isu adalah kabar angin. Oleh karena itu, mari berbaik sangka saja. (Ken)