Talkshow Hari Kusta Sedunia 2023 di RRI Malang

4 minutes, 49 seconds Read
Listen to this article

Orang yang mengalami kusta (OYPMK) hingga saat ini masih mengalami stigma dan diskriminasi sosial. Penyebabnya adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang kusta. Di wilayah-wilayah dampingan LINKSOS di Jawa Timur kusta masih dianggap sebagai aib dan penyakit kutukan.

 

Kusta dianggap aib

Pengetahuan yang tidak tepat itu kemudian menyebabkan penderita maupun OYPMK takut ketahuan jika ia menderita penyakit yang disebabkan microbacteriumleprae tersebut. Parahnya ketika penderita tersebut belum berobat dan memilih untuk tidak berobat, ini menjadi potensi penularan.

Kusta sebenarnya tidak mudah menular, hanya saja memang ketika ia lambat pengobatan atau tidak tepat dalam penanganan bisa menyebabkan deformitas atau disabilitas. Sehingga deteksi dini kusta sangat penting dilakukan. Terlebih obat kusta, namanya MDT tersedia gratis di Puskesmas.

 

Kusta tak mudah menular

Nah, bagaimana kusta dianggap tidak mudah menular? Masa inkubasi kusta sangat lama, hingga mencapai 5 tahun. Artinya membutuhkan waktu 5 tahun seseorang dari terpapar bakteri kusta menjadi sakit kusta. Namun selama waktu 5 tahun ini akan terdapat proses penanggulangan diri dan orang bisa sembuh dengan sendirinya.

Fakta bahwa kusta termasuk penyakit menular yang tak mudah menular. Selain masa inkubasi yang lama, bahwa 95 persen orang kebal kusta, sisanya 5 persen meliputi 2 persen orang harus berobat, selebihnya 3 persen akan sembuh dengan sendirinya.

 

Angka kusta

Terkait angka kusta, Indonesia masih menempati urutan ke 3 dunia jumlah warganya mengalami kusta setelah India dan Brazil, dengan jumlah sekitar 17 ribu per tahun. Rincinya, pada tahun 2010, Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 atau 10,71% di antaranya ditemukan dengan deformitas atau disabilitas tingkat 2. Angka tersebut menunjukkan bahwa kusta masih memerlukan perhatian yang lebih serius dalam upaya pengendalian penularan, dan stigma sosial yang masih tinggi.

Sementara itu, Dinas Kominfo Jawa Timur tahun 2020 menyebutkan, penderita kusta di Jatim adalah 24% dari penderita kusta di Indonesia. Meskipun demikian, tingkat prevalensi kusta di Jatim mengalami penurunan sebesar 0,8 per 10 ribu penduduk tercatat tahun 2018 sebesar  0,92 menjadi 0,84 pada 2019.

Saat ini, ada 2.668 penderita kusta baru di Jatim dan 3.351 penderita kusta yang masih berobat. Dari 2.668 penderita kusta baru, sebanyak 255 mengalami disabilitas kelihatan akibat terlambat terdeteksi dan sebanyak 194 (7,3%) adalah penderita usia anak.

Khususnya di Malang Raya dan sekitarnya, menurut data Badan Pusat Statistik Jawa Timur tahun 2021, terdapat 18 kasus kusta di  Kabupaten Malang. Kemudian Kota Malang 20 kasus dan Kota Batu 5 kasus. Selanjutnya di Kabupaten Mojokerto 12 kasus, Kota Mojokerto 4 kasus, Kabupaten Pasuruan 96 kasus, dan Kota Pasuruan 8 kasus. Jumlah keseluruhan kasus kusta di Jawa Timur menurut BPS Jatim mendata di tahun 2021 terdapat 1.890 kasus kusta.

 

Hambatan penanggulangan kusta

Stigma menjadi hambatan utama penanggulangan kusta. Orang yang mengalami kusta biasanya takut ketahuan oleh lingkungan, sehingga beberapa di antara mereka memilih untuk tidak berobat. Terdapat pula kecenderungan orang memilih berobat keluar kota. Misal orang Kota Malang berobat ke Kabupaten Malang, atau orang Surabaya berobat ke Pasuruan. Fakta-fakta ini kemudian yang menjadikan angka kusta di atas kertas berbeda dengan temuan di lapangan.

Hambatan kedua adalah ketersediaan obat. Stok obat di Puskesmas hanya berdasarkan data pasien. Artinya jika terdapat pasien baru obat harus dimintakan dulu ke Dinas Kesehatan. Setelah itu, setiap bulannya baru ada stok obat kusta bagi yang bersangkutan.  Bagi wilayah perkotaan dengan akses yang mudah, atau wilayah Puskesmas dengan kesadaran kusta yang baik, maka masalah ini bisa diatasi dengan cepat. Namun jika terjadi di pelosok pedesaan dengan akses yang sulit ditunjujang dengan kesadaran kusta yang rendah, maka ini menjadi persoalan.

Hambatan selanjutnya adalah minat masyarakat. Minat ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan stigma. Masih banyak orang yang tak paham tentang kusta, menanyakan apakah kusta itu kista, ada juga yang bertanya: Loh, kusta masih ada ya? Kemudian terkait dengan stigma, orang enggan menjadi relawan kusta karena takut.

 

Pemberdayaan masyarakat

Sejak tahun 2014, Lingkar Sosial Indonesiaa (LINKSOS) mengambil peran di bidang pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta. Dalam hal ini LINKSOS bekerjasama dengan Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dan masyarakat setempat. Saat ini wilayah yang telah mendapatkan intervensi adalah Mojokerto, Kabupaten Malang dan Pasuruan.

Pola intervensi di tiap wilayah berbeda, sesuai dengan kearifan lokal dan dan kebutuhan masyarakat setempat. Misalnya di Mojokerto, kami membuat kegiatan Sahabat Kusta ke Sekolah, yaitu edukasis kunjungan ke sekolah-sekolah.

Sedangkan di Kabupaten Malang, khususnya di Kecamatan Lawang, kami mengembangkan peer koseling atau konseling dengan kawan sebaya dan sesama OYPMK. Setelah ada keterbukaan bagi OYPMK, tim melanjutkan aktivitas  pemberdayaan ekonomi. Saat ini yang berjalan baik adalah memproduksi keset dan batik.

Sedangkan di kabupaten Pasuruan, karena angka kustanya tinggi, kami mendukung program Puskesmas Nguling, namanya Bengkura Mas atau bebaskan Nguling dari kusta mandiri bersama masyarakat. Inovasi ini kemudian kami kembangkan bersama organisasi kusta lainnya yaitu NLR menjadi Kader Kusta agar lebih mudah direplikasi secara nasional.

Kader Kusta merupakan tim sosialisasi sadar kusta yang beranggotakan perangkat desa, tenaga kesehatan puskesmas, dan masyarakat umum, termasuk penyandang disabilitas dan OYPMK. Adanya Kader Kusta ini sebagai bentuk paradigma baru bahwa soal kusta bukan semata urusan Puskesmas saja, melainkan tanggung jawab semua pihak.

 

 Kampanye Hapus Stigma

LINKSOS melakukan kampanye hapus stigma secara berkelanjutan. Dalam hal ini, dukungan media massa sangat penting, Kegiatan kampanye kami lakukan melalui pemberitaan, talkshow, serta publikasi di media sosial.

Kampanye juga kami lakukan melalui  pemunculan role model. Teman penyintas kusta yang berhasil kami dorong menjadi aktivis kusta. Di antaranya satu orang di Kabupaten Malang, saat ini ia memiliki usaha produksi keset, serta menjadi pelatih membuat keset profesional di desa-desa inklusi dampingan Lingkar Sosial Indonesia.

Kampanye lainnya adalah aksi-aksi simpatik, misalnya turun ke jalan membentang poster sosialisasi serta berbagi brosur sosialisasi. Aksi lainnya adalah menggelar kampanye di puncak gunung. Agenda terdekat adalah peringatan Hari Kusta Sedunia sekaligus pembukaan Jambore Difabel Pecinta Alam (Difpala) di Puncak Basundara Gunung Panderman (2.045 mdpl), tanggal 28-29 Januari 2023.

 

Harapan

Harapan kami tak ada lagi stigma kusta dan diskriminasi sosial. Kepada Pemerintah kami meminta stigma menjadi isu utama, cara mudahnya adalah dengan terlibatnya pejabat publik dalam kampanye kusta. Kemudian bagi kawan-kawan penyintas kusta, jangan sungkan datang ke Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). Di organisasi ini banyak hal yang bisa diakses, tak hanya soal pemberdayaan melainkan bisa saling sharing dengan sesama senasib sepenanggungan. 

 

(Ken Kerta)

 

Similar Posts

Skip to content