Pada bulan Agustus 2023 lalu, Difabel Pecinta Alam (Difpala) melalui organisasi induknya, Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) membentuk Gudep Persiapan Mpu Prapanca dan Wedwhawedan. Bersama Kwarran Lawang mereka menggelar mugus di Unit Layanan Disabilitas (ULD) Lawang.
Namun, tantangan untuk menjadi Pramuka Difabel tidak sesederhana tujuan Difpala. Tantangannya adalah memperbarui persepsi. Dari persepsi lama menjadi persepsi baru, dan itu tidak mudah.
Persepsi lama, bahwa sebagian besar orang beranggapan, urusan Pramuka itu melekat pada lembaga pendidikan. Persepsi lama lainnya, bahwa urusan Pramuka Difabel itu adalah ranah SLB.
Yang sedang dilakukan LINKSOS, adalah membawa masyarakat ke persepsi baru yang mengacu pada penafsiran regulasi secara benar. Bahwa terdapat Gudep Wilayah yang memungkinkan Pramuka tak harus dalam naungan lembaga pendidikan. Bahwa Pramuka Difabel juga tidak mesti dalam pengelolaan SLB.
Dinamika persepsi ini, kemudian menumbuhkan perdebatan tertutup di internal Pembina dan Pelatih Pramuka. Bahan yang menjadi perdebatan adalah, “Apa dasar LINKSOS membentuk gudep?”
Awal mula Difpala berpramuka
Difabel Pecinta Alam (Difpala) adalah unit pemberdayaan difabel di bidang lingkungan hidup. Kelompok ini dalam naungan Yayasan Lingkar Sosial Indonesia. Difpala terbentuk sebagai respon difabel terhadap pandemi di tahun 2020.
Kegiatan utama mereka adalah mendaki gunung dan penghijauan. Selama berkegiatan, tantangan mereka adalah terbatasnya sumber daya. Khususnya dukungan untuk kegiatan penghijauan, mereka memerlukan relawan.
Berdasarkan pemetaan, salah satu sumber relawan yang menjadi target Difpala adalah Pramuka. Alasannya, Pramuka adalah organisasi pemuda yang mendunia. Difpala juga meyakini, bahwa anak-anak muda Pramuka memiliki ideologi cinta alam yang selaras dengan Difpala.
Kerjasama pun dimulai. Pada tahun 2021, Difpala mengajak Pramuka merintis Gunung Wedon sebagai wahana bakti Bumi Perkemahan Inklusi. Berlanjut tahun 2022, Difpala dan Pramuka menggelar Kemah Bakti Inklusi I. Terus bersambung pada tahun 2023 menggelar Kemah bakti Inklusi II Educamp Inklusif.
Lembar baru Pramuka yang inklusif
Difpala merasa senang berteman dengan Pramuka. Rata-rata generasi Baden Powell ini adalah sosok yang gembira, terampil dan suka menolong. Difpala pun kemudian termotivasi menjadi Pramuka.
Tindak lanjutnya, LINKSOS mengirimkan beberapa anggota Difpala untuk ikut Kursus Pembina Pembina Pramuka Tingkat Mahir Dasar (KMD) di Kabupaten Malang.
Cerita Difpala, tak ada kesulitan berarti selama mereka dalam proses KMD. Tak ada pula kejadian diskriminatif, yang ada adalah fenomena anggota Pramuka minim pengetahuan tentang disabilitas.
Para Pembina mengaku tidak memiliki kemampuan berinteraksi dengan peserta didik difabel. Sebagian Pembina lainnya mengatakan tak memberi ijin peserta didik difabel untuk kegiatan berkemah dengan alasan sepihak dari Pembina bahwa si difabel pasti tidak mampu.
Hal ini kemudian menjadi catatan bagi Difpala, bagaimana membuka akses Pramuka Difabel agar memiliki kesempatan yang sama dengan Pramuka lainnya.
Satu catatan penting lainnya pada KMD tersebut, bahwa kehadiran Difpala dalam KMD Kwarcab Malang membuka lembaran baru Pramuka yang inklusif. KMD telah sukses melahirkan Pembina Pramuka yang paham dengan ilmu dan seluk beluk disabilitas.
Menjawab tantangan Pramuka di SLB
Pasca KMD, Difpala langsung terjun bebas ke masyarakat. Pekerjaan pertama yang mereka lakukan adalah pemberdayaan Pramuka di SLB.
Dasar pembinaan Pramuka di SLB adalah keluh kesah Kepala Sekolah SLB yang diterima LINKSOS sejak tahun 2021. Keluhannya, bahwa mereka kesulitan mendapatkan Pembina Pramuka. Alasan Pembina Pramuka enggan melatih di SLB sebab tidak memiliki dasar pengetahuan tentang disabilitas.
Saking sulitnya mendapatkan Pembina Pramuka, terdapat SLB yang akhirnya hanya setahun sekali berkegiatan Pramuka. Waktu kegiatan tersebut pada momen Jambore Pramuka Luar Biasa.
Persoalan SLB sulit mendapatkan Pembina Pramuka ini telah terjadi sejak lama. Dan selama belum ada Pembina Pramuka yang paham disabilitas itu ada, maka persoalan di SLB itu juga tetap ada.
Difpala pun mengambil langkah kongrit. Bersama seorang Pelatih Pramuka, Kak Duri, Difpala menggelar lokakarya kepramukaan bagi guru SLB.
Misinya sederhana, yaitu “mempramukakan” semua guru SLB agar siap menjadi Pembina dan Pelatih Pramuka. Pilot projectnya di SLB BC Kepanjen. Tujuan dari langkah ini agar SLB tak lagi bergantung pada hadirnya Pembina Pramuka dari luar sekolah.
Berpramuka tidak harus di sekolah
Tak hanya di SLB, Difpala juga melakukan pemberdayaan Pramuka di panti rehabilitasi penyandang disabilitas. Dalam hal ini, Panti Karya Asih menjadi mitra kegiatan.
Ketika pimpinan panti diajak berpramuka, responnya sangat antusias. Alasannya, panti memerlukan kegiatan alam untuk mendukung proses rehabilitasi difabel.
Sebagian besar warga panti tidak mengenyam pendidikan formal. Namun, kini mereka berkesempatan menikmati pendidikan kepramukaan.
Ada berbagai hal baru yang ditemukan oleh warga panti dalam kegiatan Pramuka. Misalnya belajar menghidupkan kompor. Bagi Pramuka biasa, mungkin ini hal sepele. Namun bagi Pramuka Difabel, sebagian dari mereka mengatakan bahwa menghidupkan kompor adalah pengalaman pertama dalam hidup mereka.
Di rumah mereka masing-masing, atau di dalam panti, seorang difabel mungkin sangat dilindungi oleh keluarganya. Mereka khawatir ada resiko bagi anaknya. Namun di kepramukaan, difabel belajar untuk mandiri dan melakukan mitigasi resiko.
Menanti legalitas
Waktu terus berjalan dan Difpala terus berproses menjadi Pramuka. Tak ada kesulitan yang berarti dalam latihan, semua terasa menyenangkan dan menantang. Sebagian difabel bahkan telah terbiasa mendaki gunung dan lintas alam.
Namun yang stagnan adalah soal legalitas. Sejak mugus bulan Agustus 2023, hingga sekarang, Maret 2024, nomor gudep untuk Gudep persiapan Mpu Prapanca dan Wedwhawedan belum juga turun. Artinya sudah tujuh bulan usia pendaftaran, legalitas gudep belum ada kepastian.
Proses Difpala menjadi Pramuka, sama dengan proses Difpala mendaki gunung. Jika tujuan mendaki adalah bersilaturahmi dengan alam, maka tujuan berpramuka adalah dharma bakti ke masyarakat.
Sikap LINKSOS terkait legalitas gudep, akan terus menanyakan kepada Kwarran dan Kwarcab setempat, hingga ada kepastian. Upaya ini sebagai bentuk penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak- hak penyandang disabilitas.