
Malang, 3 Juni 2025 — Bertempat di Hotel Tuwuh, Kota Malang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi dan Edukasi Rawan Bencana Tematik Lansia dan Disabilitas. Kegiatan yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga 16.00 ini menjadi momen penting untuk memperkuat kesiapsiagaan masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam menghadapi berbagai potensi bencana.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Walikota Malang, Bapak Wahyu Hidayat, yang menegaskan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana bukan semata-mata tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan komitmen Pemerintah Kota Malang untuk terus menuntaskan berbagai persoalan kebencanaan, terutama persoalan banjir, serta mengajak masyarakat agar turut terlibat aktif dalam membangun ketangguhan. Menurutnya, dengan bekerja sama dan mempersiapkan diri secara kolektif, masyarakat Kota Malang dapat lebih siap dan kuat menghadapi berbagai kemungkinan bencana alam.
Kegiatan sosialisasi ini dihadiri oleh lebih dari seratus peserta dari berbagai latar belakang, termasuk komunitas disabilitas dan lansia. Di antara yang hadir adalah perwakilan dari LINKSOS, PERTUNI, HWDI, DC2, serta perwakilan kelompok disabilitas dari lima kecamatan di Kota Malang. Tak ketinggalan, komunitas lansia seperti MSC, Forum Komunikasi Karang Werda, PWRI, dan DPC Pepabri Kota Malang juga turut serta menunjukkan antusiasme tinggi terhadap pentingnya edukasi kebencanaan.
Materi: dari Pentingnya Edukasi Bencana hingga Pendekatan Partisipatif
Materi pertama disampaikan oleh Pak Gigih, perwakilan dari Puskesmas Gribig, yang membawa perspektif dari Dinas Kesehatan Kota Malang. Ia mengulas tentang pentingnya kesiapsiagaan serta langkah konkret pengurangan risiko bencana di wilayah rawan. Dalam paparannya, ia menjelaskan berbagai jenis bencana yang bisa terjadi—baik bencana alam, non-alam, maupun sosial—serta bagaimana masyarakat perlu memahami potensi ancaman seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, hingga gempa bumi. Ia menekankan pentingnya perencanaan tanggap darurat, pembangunan infrastruktur tahan bencana, peningkatan sistem peringatan dini, serta penyuluhan berkelanjutan di masyarakat dan lembaga pendidikan.
Selanjutnya, sesi kedua diisi oleh Siska dari HWDI, yang mewakili Unit Layanan Disabilitas BPBD Jawa Timur. Ia membawakan materi tentang Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat, dengan penekanan khusus pada pentingnya inklusi kelompok rentan dalam setiap upaya pengurangan risiko bencana. Berdasarkan hasil kajian risiko bencana Jawa Timur 2022–2026, wilayah ini memiliki setidaknya 14 jenis potensi ancaman bencana. Dalam konteks tersebut, penyandang disabilitas dan lansia berada dalam posisi paling rentan, terutama karena sering kali tidak masuk dalam skema utama evakuasi dan penanganan darurat.
Siska juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat luas untuk memastikan tidak ada satu pun pihak yang tertinggal (no one left behind) dalam proses penanggulangan bencana. Ia menjelaskan berbagai kebijakan yang mendasari pendekatan inklusif dalam kebencanaan, termasuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, PP Nomor 21 Tahun 2008, Permensos Nomor 128 Tahun 2011, serta UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
LINKSOS Mendorong Adanya Unit Layanan Disabilitas Penanggulangan Bencana (ULD PB)
Dalam sesi diskusi, perwakilan dari LINKSOS turut berbagi pengalaman organisasi dalam merespons bencana sejak pandemi COVID-19, gempa Malang tahun 2020, hingga erupsi Gunung Semeru. LINKSOS juga memperkenalkan jaringan Difabel Tangguh Bencana yang telah aktif di Malang Raya, serta mendorong pembentukan Unit Layanan Disabilitas Penanggulangan Bencana (ULD PB) di Kota Malang sebagaimana yang sedang dirintis bersama BPBD Jawa Timur dan Jaringan Siap Siaga di Kabupaten Malang. Langkah ini dipandang penting sebagai bentuk sistematis dalam menjangkau dan menyelamatkan kelompok rentan, sekaligus memperkuat data dan strategi evakuasi di lapangan.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan, tetapi juga menjadi ruang dialog yang mempertemukan kebijakan, pengalaman lapangan, dan aspirasi komunitas rentan. Harapan besar pun disematkan pada kegiatan ini agar menjadi langkah awal dari komitmen jangka panjang dalam membangun Kota Malang sebagai kota yang tangguh bencana, inklusif, dan berdaya menghadapi tantangan masa depan.
Editor: Ken