
Polemik berawal dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim yang menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Peraturan tersebut mencabut dan menyatakan tidak berlaku Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 959).
Berbagai pendapat muncul menyikapi polemik pencabutan EWPK ini, termasuk dari kalangan disabilitas. Pusat pemberdayaan disabilitas, Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) sepakat jika kegiatan kepramukaan bersifat pilihan dan sukarela.
Alasan dasarnya, pertama implementasi EWPK yang belum inklusif bagi penyandang disabilitas. Kedua, Gerakan Pramuka harus segera mengupgrade seluruh regulasinya berdasarkan UU RI Nomor 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selama ini, AD/ART dan seluruh jukran Gerakan Pramuka masih mengacu pada UU RI Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, sedangkan UU tersebut sudah tidak berlaku.

Keberatan Kwarnas
Melalui Siaran Pers : Kwarnas Sayangkan dan Minta Tinjau Kembali Keputusan Kemendikbudristek. Sekretaris Jenderal Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Mayjen TNI Purn. Dr. Bachtiar Utomo, S.I.P., M.A.P, mengatakan Gerakan Pramuka sampai sekarang sangatlah strategis dalam upaya pembangunan karakter bangsa.
Terlebih dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional itu sendiri, yaitu menciptakan manusia Indonesia yang bermartabat, cerdas dan bertaqwa.
Namun demikian, Bachtiar juga menuturkan bahwa dalam setiap proses kemajuan, Gerakan Pramuka juga membuka diri untuk setiap perbaikan-perbaikan. Tujuannya agar Pramuka kedepan bisa lebih baik dan lebih maju dapat membantu program pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
“Pramuka tidak menutup diri, kita mengakui bahwa Pramuka kedepannya masih memerlukan kolaborasi dan sinergi bersama ‘stakeholders’ lainnya,” demikian Bachtiar.

Kebaikan pencabutan EWPK
Saat Kwarnas menyayangkan pencabutan pendidikan kepramukaan sebagai ekstrakurikuler wajib, sementara itu, di kalangan Pelatih dan Pembina terdapat wawasan yang berbeda. Sebut saja, Kak Sobron Jamil. Pelatih Pramuka dari Malang ini justru menganggap baik atas tidak berlakunya ekstrakurikuler wajib pendidikan kepramukaan.
Sobron Jamil mencatat tiga hal kebaikan. Pertama, sifat keikutsertaan dalam ekstrakurikuler pramuka kembali ke sukarela. Kedua, Gugus depan menjadi lebih kuat dan lebih bisa berinovasi.
Hal ini karena gudep tidak lagi mengalami intervensi dari pihak sekolah dengan “tuntutan” aktualisasi. Selama ini, Pembina berpikir keras, tidak hanya mensinkronkan mapel dengan metode kepramukaan, tetapi juga memahamkan guru untuk ikut dan mau aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler kepramukaan.
Kemudian yang ketiga, kebaikan pencabutan EWPK karena ada batas dan pemisah yang jelas antara sekolah dan gugusdepan.
Menarik pula tulisan Kak Suyatno, berjudul EWPK Dicabut Ada yang Kalang Kabut? Tulisan tersebut diunggah pada laman facebook Pusat Informasi Kwarda Jatim. Media Tempo juga merilis pendapat Ketua Harian Kwarda Jawa Timur ini.
Menurut Kak Suyatno, peniadaan EWPK itu malah bagus. Alasannya, karena memisahkan rumah pelajar dan rumah pramuka. Rumah pelajar dalam pengaturan Permendikbud dan rumah pramuka dalam pengaturan jukran kwartir. Selanjutnya, kepsek menjalankan dua tugas yakni sebagai kepsek dan kamabigus.

5 Hal minus implementasi EWPK
Ketua Harian Kwarda Jawa Timur, Suyatno mencatat lima hal minus implementasi pendidikan kepramukaan sebagai EWPK. Pertama, selama ini, pihak sekolah mengalami karut-marut berpikir dan bertindak dalam menjalankan EWPK.
Kedua, ada tarik menarik antara sekolah dan kwartir terhadap penanganan EWPK. Ketiga, selama 10 tahun sekolah belum mampu menerapkan yang benar dan baik EWPK.
Kemudian keempat, pembina pramuka kelelahan menjalankan EWPK padahal EWPK itu tanggung jawab guru (aktualisasi dan blok) dan pembina pramuka (reguler). Selanjutnya kelima, EWPK dianggap rancu dengan pendidikan karakter Profil Pelajar Pancasila sehingga difokuskan saja ke Profil Pelajar Pancasila,1.
Berbagai pandangan muncul dalam polemik keputusan Kemendikbudristek yang mencabut EWPK. Hal ini sebagai bentuk kemerdekaan berpikir dan berpendapat.

Pandangan pegiat Pramuka disabilitas
Polemik keputusan Kemendikbudristek juga mendapat respon dari Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS). LINKSOS merupakan pusat pemberdayaan disabilitas dan penggerak inklusi di Jawa Timur. Organisasi ini berkedudukan di Malang untuk wilayah kerja di seluruh Indonesia.
Pandangan terhadap polemik keputusan Kemendikbudristek, LINKSOS mendukung pencabutan EWPK, sehingga kegiatan kepramukaan sebagai kegiatan kepramukaan bersifat pilihan dan sukarela.
Dukungan tersebut terkait dua hal penting. Pertama, evaluasi implementasi EWPK yang belum inklusif bagi penyandang disabilitas. Selama ini kebijakan EWPK belum menyertakan support system bagi penyandang disabilitas. Akibatnya, pramuka dengan disabilitas terpinggirkan.
Kedua, regulasi Pramuka terlebih dahulu harus menyesuaikan UU RI nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Realitas saat ini, seluruh regulasi dan kebijakan Gerakan Pramuka masih mengacu pada UU RI Nomor 4 Tahun 1997, sedangkan UU tersebut sudah tidak berlaku.
LINKSOS bekerjasama dengan Pramuka sejak tahun 2021. Beberapa anggota LINKSOS dari unit Difabel Pecinta Alam (Difpala), bahkan mengikuti Kursus Pembina Pramuka Mahir Dasar (KMD) dan berhasil lulus dengan baik,2.

Evaluasi implementasi EWPK bagi Pramuka Disabilitas
LINKSOS menilai, implementasi EWPK selama ini belum menyertakan support system yang memadai bagi Pramuka penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan Pramuka disabilitas terpinggirkan. Konkretnya adalah persoalan kepramukaan di sekolah luar biasa (SLB) dan persoalan kepramukaan penyandang disabilitas di Gudep Wilayah.
Evaluasi terhadap implementasi ini, kemudian menjadi dasar LINKSOS memberikan pandangan terhadap polemik keputusan Kemendikbudristek terkait EWPK.
Pertama, persoalan pramuka di SLB. Di sekolah luar biasa sulit mendapatkan pembina Pramuka. Alasannya, sangat minim pembina dan pelatih pramuka yang memiliki dasar pengetahuan tentang disabilitas.
Sementara itu, telah terdapat upaya SLB untuk memenuhi kebutuhan Pembina Pramuka. Para guru SLB siap mendampingi pembina yang siap melatih di sekolah luar biasa. Namun nampaknya, para Pembina yang belum siap berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Merespon persoalan ini, LINKSOS bekerjasama dengan Pelatih Pramuka yang peduli dengan isu disabilitas, mengadakan pembinaan guru SLB agar siap menjadi pembina Pramuka. Pilot projectnya adalah SLB BC Kepanjen melalui kesepakatan kerjasama (Oktober 2023).
Kedua, persoalan di Gudep Wilayah. Sebagai upaya mendukung kegiatan kepramukaan bagi penyandang disabilitas, baik di sekolah formal, non formal, maupun komunitas, LINKSOS melakukan dua langkah penting.
Pertama, bersama Kwarran Lawang merintis Satuan Komunitas Pramuka (Sako) di bidang inklusi disabilitas (Agustus 2022). Namanya Sako Inklusi. Sako di bidang inklusi disabilitas ini menjadi yang pertama di Indonesia.
Kedua, LINKSOS membentuk gudep inklusif melalui musyawarah gugus depan bersama Kwarran Lawang (Agustus 2023). Gudep persiapan itu bernama Mpu Prapanca dan Wedwawedan.
Namun sayangnya, sejak Agustus 2023 hingga saat ini, April 2024, saat permohonan pendaftaran gugusdepan sudah berusia delapan bulan, nomor gudep belum belum juga turun. Artinya gudep inklusif pangkalan Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) belum mendapatkan pengakuan.
Mengapa demikian? Nampaknya, ada dinamika internal dalam tubuh Kwarran Lawang dan Kwarcab Malang. Diantaranya tentang perbedaan pendapat, bolehkah yayasan disabilitas non pendidikan atau komunitas membentuk gugusdepan.
Ya, selama ini ada paradigma yang salah. Bahwa kegiatan kepramukaan hanya melekat di lembaga pendidikan.

Saatnya mengupgrade regulasi Gerakan Pramuka sesuai UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah menggantikan UU Nomor 4 Tahun 1997 mengatur tentang Penyandang Cacat. Namun dalam hal ini, Gerakan Pramuka belum menyesuaikan regulasinya. Alasan regulasi ini menjadi utama sebagai dasar LINKSOS dalam memberikan pandangan atas polemik keputusan Kemendikbudristek.
Salah satu hal unik yang membedakan kedua UU tersebut adalah penggunaan istilah cacat dan disabilitas. Penggunaan istilah itu penting mengingat definisi cacat dan disabilitas itu berbeda.
Makna penyandang cacat menurut UU Nomor 4 Tahun 1997 berorientasi pada kelainan secara medik. Sehingga orang yang mengalaminya dianggap sakit, harus diobati serta secara sosial mendapatkan stigma tidak mampu.
Sedangkan makna penyandang disabilitas menurut UU RI Nomor 8 Tahun 2016, berorientasi pada hambatan fisik, intelektual, mental dan sensorik serta hambatan sosial. Sehingga orang yang mengalaminya harus mendapatkan akomodasi yang layak untuk mengatasi hambatannya.
Menengok AD/ART Gerakan Pramuka Hasil Munas 2018 serta berbagai jukran kepramukaan, hingga Konsep Perubahan AD/ART Gerakan Pramuka Hasil Munas ke XI Tahun 2023 di Aceh. Berbagai regulasi tersebut masih menggunakan istilah penyandang cacat.
Artinya regulasi dalam kepramukaan hingga saat ini masih mengacu pada UU Penyandang Cacat yang sudah tidak berlaku. Seharusnya, Munas Tahun 2018 dan Munas Tahun 2023 memperhatikan UU RI Nomor 8 Tahun 2016.

Mengubah Paradigma
Pengunaan istilah cacat dalam jukran-jukran kepramukaan berdampak pada cara pandang atau paradigma Pramuka. Diketahui, makna penyandang cacat menurut UU Nomor 4 Tahun 1997 berorientasi pada kelainan secara medik. Sehingga orang yang mengalaminya dianggap sakit, harus diobati serta secara sosial mendapatkan stigma tidak mampu.
Dampak dari stigma tidak mampu tersebut adalah pembedaan pelayanan atau diskriminasi secara sadar ataupun tidak sadar. Contohnya persoalan permohonan pendaftaran gugusdepan persiapan pangkalan Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS).
Pendaftaran gudep tersebut telah berusia delapan bulan. Namun gudep persiapan yang bernama Mpu Prapanca dan Wedwawedan itu belum juga mendapatkan nomor gudep. Belum ada informasi resmi dari pihak kuartir.
Hal ini kemudian menimbulkan spekulasi. Pertama sebagai bentuk diskriminasi pelayanan, sebagai dampak dari stigma disabilitas tidak mampu. Kedua, persoalan jajaran pengurus kuartir dalam memahami regulasi.
Padahal jika menengok SK Kwarnas nomor 231 Tahun 2007 tentang Jukran Gugusdepan, selain di lembaga umum dan keagamaan3, gudep bisa dibentuk di instansi pemerintah, swasta, kelurahan/desa, rukun warga (RW) serta perwakilan RI di luar negeri. Gudep yang berpangkalan seperti tersebut di atas disebut Gudep Wilayah.
Terkait hal ini, maka penting memahami bahwa Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) adalah komunitas atau organisasi non pemerintah atau swasta, yang juga berhak membentuk gudep wilayah.
Persoalan pemahaman terhadap regulasi dan persoalan penegakan regulasi secara obyektif sangat penting. Mengabaikan hal ini artinya telah melakukan pembedaan atau diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Paradigma bahwa Pramuka hanya ada di sekolah atau lembaga pendidikan saja juga harus diubah.

Mari mewujudkan Pramuka yang inklusif
Sebagai pusat pemberdayaan penyandang disabilitas, LINKSOS fokus melihat kegiatan kepramukaan dari sisi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Maka bagi LINKSOS, adanya Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang EWPK, adalah kesempatan bagi gerakan Pramuka untuk berbenah atau melakukan perubahan.
Dengan tidak berlakunya EWPK, Pramuka berkesempatan meningkatkan kualitas daripada kuantitas. Jumlah anggota Pramuka mungkin akan menyusut, namun mereka yang ada di Pramuka adalah orang-orang yang benar-benar berminat dan terpanggil.
Dalam sisi inklusi disabilitas, setidaknya terdapat dua hal penting yang harus dibenahi pramuka. Pertama, terkait kemampuan pelatih dan pembina pramuka tentang dasar pengetahuan dan keterampilan disabilitas.
Tantangan perubahan ini tidak sulit. Gerakan Pramuka dalam hal ini bisa bekerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas. Di Indonesia, organisasi penyandang disabilitas cukup berkembang dan ada di setiap provinsi. Salah satunya dan yang berpramuka saat ini adalah LINKSOS.
Pembenahan kedua adalah terkait regulasi. AD/ART dan seluruh jukran dalam Gerakan Pramuka harus diupgrade, menyesuaikan UU RI Nomor 8 Tahun 2026 Tentang Penyandang Disabilitas.
Dengan adanya AD/ART dan jukran-jukran yang sesuai dengan UU RI Nomor 8 tahun 2016, harapannya para Pembina dan Pelatih Pramuka akan memiliki paradigma baru tentang disabilitas.
Dalam lingkup kecil saja, hambatan penyandang disabilitas dalam berpramuka di Malang kota pendidikan. Harapannya bisa menjadi pembelajaran dan barometer di Indonesia dalam mewujudkan pramuka yang inklusif, pramuka untuk semua orang tanpa stigma dan diskriminasi.
Terakhir, apakah kedepan memungkinkan Pramuka kembali menjadi EWPK?
Ya, mungkin saja, Namun yang terpenting saat ini bagi Gerakan Pramuka adalah meningkatkan pengetahuan tentang inklusi disabilitas. Selain itu Gerakan Pramuka juga harus segera mengupgrade seluruh regulasi agar sesuai dengan amanah UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Informasi Kegiatan
- Profil Pelajar Pancasila dalam permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024, adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif [↩]
- Rekam jejak LINKSOS dalam dunia kepramukaan diantaranya menginisiasi Gunung Wedon sebagai bumi perkemahan inklusi (Juni 2021). Selanjutnya LINKSOS dan Pramuka setempat juga menggelar Kemah Bakti Inklusi I (Agustus 2022), Kemah Bakti Inklusi II Educamp Inklusif (September 2023), serta pendampingan kegiatan kepramukaan di sekolah luar biasa (Oktober 2023). LINKSOS juga melakukan perjanjian kerjasama dengan Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI di bidang cinta alam dan kepramukaan (September 2023). Kerjasama ini sebagai tindak lanjut nota kesepahaman KND RI dan LINKSOS di bidang advokasi kebijakan dan edukasi masyarakat tentang pemenuhan hak penyandang disabilitas, Maret 2023 [↩]
- seperti sekolah, kampus perguruan tinggi, asrama, pesantren, masjid, gereja dan vihara [↩]