Mengintip buku “Menjawab (?)” Sebuah Tulisan Tentang Timsus Pendaki Difabel

5 minutes, 55 seconds Read
Listen to this article
Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) akan meluncurkan buku “Menjawab (?)” di ketinggian 1.740 mdpl, tepatnya di Putuk Lesung Gunung Arjuno, Sabtu, 25 Desember 2021, masih dalam rangkaian even Hari Disabilitas Internasional. Kelebihan buku ini, yang pertama lebih banyak memuat latar belakang sosial anggota Timsus Pendaki Difabel, pengalaman, rasa dan nilai-nilai filosofis serta moral yang tumbuh selama proses pendakian. Kedua, ditulis oleh dua orang jurnalis yang secara langsung mengikuti pendakian kami di Gunung Kawi, serta melibatkan difabel untuk memastikan sudut pandang yang tepat. Dan yang ketiga, buku ini memuat beberapa komentar tokoh nasional penyandang disabilitas salah satunya Staf Khusus Presiden Republik Indonesia, Angkie Yudistia.

 

Kegiatan difabel mendaki gunung, kami mulai sejak bulan Juni 2020, berawal dari permintaan seorang disabilitas netra. Ia bertanya, “Bolehkah disabilitas netra mendaki gunung?” Jawaban saya,” Tak ada yang tidak boleh selama mampu, terukur, dan tersistem dengan baik.”

 

Ya, untuk memenuhi prasyarat tersebut, latihan pun dilakukan. Dimulai dari berlatih di perbukitan Srigading (825 mdpl), kemudian kami menjelajah Coban Misteri Supit Urang Lawang, Gunung Wedon (660 mdpl), Gunung Banyak (1.315 mdpl), Gunung Butak (2.868 mdpl) serta Gunung Kawi (2.603 mdpl). Berbekal semangat dan kekompakan seluruh kegiatan tersebut mampu kami lakukan secara mandiri atau swadaya.

 

Namun khususnya pendakian gunung Kawi diatas, didukung oleh NLR dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebagai bentuk perayaan Hari Disabilitas Internasional tahun 2020, serta salah satu agenda proyek Peningkatan Partisipasi Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

 

Proses Penulisan

Dua orang jurnalis mengikuti langsung pendakian kami di Gunung Kawi, bulan Desember 2020 lalu. Mereka bernama Yovinus Guntur Wicaksono dan Fena Olyvira Sinatra, keduanya bekerja di Super Radio Surabaya.

Khususnya bagi Fena, mendaki gunung ini menurutnya adalah pengalaman pertama. Jalur pendakian Gunung Kawi yang ekstrim, hingga kemudian dikenal jalur tak beraklak, membuatnya bekerja keras. Termasuk saya sendiri sebagai penanggungjawab kegiatan, beberapa kali tubuhnya saya ikat dengan tali untuk membantu menariknya melewati beberapa titik pendakian yang sulit.

 

Proses penulisan buku ini juga melibatkan para anggota Timsus Pendaki, mereka diminta menulis secara bebas pengalaman selama pendakian, dan selebihnya dilakukan wawancara oleh penulis. Saya pikir, para penulis ini sangat terbuka terhadap masukan kami sebagai subyek penulisan. Mereka memperhatikan masukan dari para penanggap buku atas draft yang mereka kirimkan. Termasuk masukan dari Mas Angga Yanuar, pegiat kusta dan disabilitas, senior saya di NLR. Ini sebagai upaya memastikan tulisan berperspektif disabilitas dan kusta sesuai misi inklusifitas dan hapus stigma.

 

Catatan dari para pendaki

Buku ini memuat nilai-nilai filosofis dan moral yang diperoleh diantaranya selama kegiatan pendakian. Nilai-nilai tersebut dikemas dalam kutipan-kutipan atau quotes agar menarik dan mudah diingat pembaca. Berikut kutipan-kutipan mereka:

 

”Mendaki gunung adalah terapi karena alam sangat membantu proses penyembuhan diri.” (Ezra Juniawan Roma, laki-laki dengan disabilitas mental akibat epilepsi)

 

“Mendaki gunung membuat rasa percaya diri saya lebih tinggi, begitu juga dengan rasa optimis dan berani.” (Elin Agus Tri Rahayu, perempuan dengan disabilitas netra)

 

“Mendaki gunung adalah gambaran hidup, untuk mencapai puncak pasti ada perjuangan yang harus dilalui, sekalipun itu harus terjatuh.” (Kholilurohman, laki-laki dengan disabilitas netra)

 

“Mendaki gunung merupakan proses belajar tentang bagaimana proses kerjasama yang baik, terutama dalam kerja tim.” ( Muhammad Darojat, laki-laki, pernah mengalami kusta)

 

“Mendaki gunung adalah bentuk kampanye penghapusan stigma kepada penyandang kusta dan disabilitas. Sekaligus bukti disabilitas mampu mandiri dan tidak untuk dijauhi.” (Basori Alwi, laki-laki, pernah mengalami kusta)

 

“Mendaki gunung mengajarkan bagaimana diri harus merespon cepat dalam mengambil keputusan.” (Sumiati, perempuan dengan disabilitas pendengaran)

 

“Rasa takut itu harus dilawan dengan niat dan tekad yang kuat.” (Priyo Utomo, lali-laki dengan disabilitas fisik)

 

“Cita-cita dan keinginan itu diusahakan, diikhtiarkan dan diceritakan pada orang yang tepat.” (Eri Wahyudianto, laki-laki dengan disabilitas netra)

 

“Mendaki gunung mengajarkan cara bagaimana manusia berkomunikasi dengan sesama.” (Cakrahayu Arnavaning Gusti, 17 tahun, laki-laki non difabel, pendamping pendaki termuda di tim, siswa SMA)

 

“Mendaki gunung adalah proses belajar tentang rasa saling percaya.” (Sri Ekowati, perempuan non difabel, pendamping pendaki)

 

“Jatuh bangun itu biasa, lelah adalah hal yang pasti. Berdoa, motivasi dan semangat adalah kunci.” (Widi Sugiarti, perempuan non difabel, pendamping pendaki)

 

“Mendaki gunung mengajarkan tentang arti kesabaran.” (Fuji Rahayu, 54 tahun, perempuan non difabel, pendamping pendaki tertua di tim)

 

“Kerelaan melayani sesama bukan soal apa dan siapa, tapi soal hati.” (Rokim, laki-laki non difabel, pendamping pendaki)

 

“Keterbatasan bukanlah penghalang. Tunjukkan kemampuan, bakat, dan sumbangsih terhadap masyarakat dan bangsa.” (Totok Riyanto, laki-laki non difabel, pendamping pendaki)

 

Risalah dan tanggapan

Beberapa pegiat disabilitas dan kusta serta akademisi memberikan kata pengantar, risalah dan tanggapan pada buku ini.

 

Direktur Eksekutif NLR Indonesia, Asken Sinaga menulis dalam kata pengantarnya, “Buku ini tentang hidup mereka; tentang mimpi masa lalu, tentang keberanian meraih mimpi, tentang perjuangan untuk memulihkan kepercayaan, tentang menerima kegagalan dan keberhasilan, tentang menjadi bermanfaat, tentang kebahagiaan atas sukses orang lain, tentang kerjasama, tentang disiplin dan daya juang diri, dan yang tak kalah penting tentang menyuarakan dengan keras penghapusan stigma terhadap disabilitas dan orang yang pernah mengalami kusta.”

 

Dilanjutkan dengan risalah Staf Khusus Presiden Republik Indonesia, Angkie Yudistia diantaranya menulis, “Namun satu hal menarik untuk dijadikan pelajaran, lewat buku ini kita diingatkan kembali untuk menghargai proses. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Keberhasilan delapan pendaki gunung ini tidak serta merta diperoleh secara kebetulan. Untuk sampai di titik tersebut, para anggota Timsus Pendaki ini wajib mengikuti serangkaian kegiatan di rintisan Sekolah Alam Gunung Wedon, yaitu pusat pendidikan dan pelatihan difabel mendaki gunung.”

 

Sementara saya sebagai Ketua Pembina LINKSOS, dalam risalah menekankan apa kontribusi Timsus Pendaki Difabel terhadap gunung? “Kami pun berembug. Hasilnya di tahun 2021 Timsus Pendaki LINKSOS akan kembali ke gunung-gunung yang telah dilewati untuk menghijaukan kembali bagian-bagian yang gundul.

 

Kemudian memasuki komentar buku, pertama kali menulis adalah Manajer Program Inklusi dan Disabilitas NLR Indonesia, Widya Prasentyanti dan Disabilitas NLR Indonesia. Diantaranya ia menulis,” Pengalaman para pendaki tersebut mampu berhasil membongkar ‘image kenormalan’ tentang disabilitas dan kusta yang identik dengan ketidakmampuan. Salut untuk para pendaki dan pendampingnya. Let’s keep moving, Rek!”

 

Komentar berikutnya dari Direktur LBH Disabilitas, Hari Kurniawan yang pula seorang pendaki gunung dan aktivis lingkungan. “Sebenarnya kisah para petualang difabel menaklukkan ketinggian pegunungan sudah banyak dilakukan, tetapi yang berani untuk diceritakan dalam sebuah buku hanyalah sebagian kecil saja. Perjalanan pendakian menaklukkan gunung bagi difabel tidaklah mudah dengan segala keterbatasannya, namun 8 difabel ini membuktikan kemampuannya bahwa jangan dilihat dari kondisi fisiknya namun dari usaha dan kerja kerasnya..”

 

Kesan membaca buku ini juga disampaikan oleh Tenaga Ahli Madya Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Sunarman Sukamto. “Kisah pendakian gunung yang ditulis dalam buku ini keren, asyik dan menggugah. Keren karena mengisahkan perjumpaan gagasan, merancang persiapan, memperdalam keyakinan, mengenal dan menyiapkan rute, etape pendakian, memetakan resiko dan mematangkan persiapan fisik dan mental, menyiapkan sistem kerjasama dan pembagian tugas, kemudian mendaki dan akhirnya mewujudkan mimpi bersama.”

 

Terakhir komentar buku dari Slamet Thohari, pegiat isu disabilitas dan Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya. “Buku ini memberikan perspektif bagaimana difabel melihat kehidupan dan yang diangkat adalah naik gunung. Berbeda dengan buku-buku di Indonesia yang pada umumnya menulis kisah difabel dengan kacamata ‘super-crip’ bahwa semua hal yang dilakukan difabel adalah hebat dan keren, buku ini lebih memberikan pengalaman, perasaan dan prespektif bagaimana difabel khususnya netra melihat gunung. Harusnya buku semacam ini lebih banyak ditulis bagaimana kaum difabel melihat hal-hal di dunia ini dalam kacamata mereka.”

 

Ditulis oleh Ken Kerta.

Similar Posts

Skip to content