
Sudah dua jam semenjak obrolan terakhir terdengar di luar. Sekarang ia masih berusaha tidur.
Udara di ruangan kecil itu dingin dan tipis, seolah bisa meresap lewat pori-pori terkecil. Saat lengannya menyentuh dinding lunak yang lembab oleh embun itu, ia tersadar tenda itu mungkin tempat terhangat.
Sekali lagi ia menyesuaikan posisi dan menarik resleting sleeping bag. Sarung tangannya tidak membantu sehingga ia melepasnya kemudian memilih menaruh telapaknya di leher dan ketiak yang hangat.
Terbersit apakah ia menyesal telah berangkat.
Lelah memutar-mutar badan, ia diam menghadap atap. Serangga mengeluarkan bunyi yang mengingatkannya pada sengatan listrik. Bunyi unik itu dibuat indah dan menakjubkan dengan gema panjang di lapang pegunungan. Kemudian datang gemuruh. Ia menunggu rintik hujan mengetuk tendanya tetapi itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah dinding tenda yang mengepak dan terdorong ke dalam hingga menempel dingin di kulitnya. Jauh dari suara kota dan elektronik, angin terdengar seperti benda padat yang siap menabrak.
Sebagai tunanetra, Muhammad Hirza Barizi tidak tahu bagaimana pemandangan di luar. Ia belum sempat meminta pendamping untuk mendeskripsikan hamparan lahan kemah itu. Namun, mendengarkan dan merasakan lingkungan sekitarnya sekarang membuatnya tersenyum. Gambaran hamparan rumput dibatasi pepohonan tempat burung dan serangga berkicau muncul di pikirannya. Ia terbayang permukaan planet asing yang langitnya jernih dengan bintang.
Kilas balik perjalanan siang tadi juga kembali. Serunya terpeleset dan tersandung, serunya merasakan dengan kaki dan tongkat perubahan medan dari jalur paving block yang landai sampai undakan tanah dan bebatuan zig-zag. Keasyikan tersebut tidak tergantikan dengan tidur hangat di kamar.
Lagipula ini pertama kalinya ia mendaki yang lebih tinggi dari 1.000 mdpl serta bermalam di lahan kemah semenjak ia bergabung Difabel Pecinta Alam (Difpala) beberapa bulan lalu. Tidur di tenda adalah satu bagian yang harus ia latih jika ingin meneruskan hobi luar ruangannya. Ia tak sabar untuk mengikuti acara esok hari.
Selain Hirza, Educamp 2024 kali ini juga membawa beberapa orang lainnya ke Putuk Lesung Gunung Arjuno untuk pertama kalinya. Acara yang digelar tanggal 21 sampai 23 Juni oleh Difpala, Lingkar Sosial, dan Komisi Nasional Disabilitas itu memungkinkan difabel dan non-difabel untuk berbaur. Di ketinggian 1.764 mdpl para peserta belajar cara berinteraksi dan mendampingi difabel serta kemampuan-kemampuan pendakian seperti memasang tenda, mengemas carrier, dan menangani masalah kesehatan di gunung.
Peserta juga berkesempatan menyimak materi dan berbagi pengalaman dengan komisioner Komisi Nasional Disabilitas Bapak Kikin Tarigan. Beliau dan lembaganya telah beberapa kali mendaki bersama Difpala. Di kesempatan ini Bapak Kikin Tarigan diresmikan sebagai anggota kehormatan Difabel Pecinta Alam.
Semua orang dari berbagai kalangan sangat disambut untuk mengikuti kegiatan Difpala seperti Educamp dan pendakian rutin. Menurut Hirza, ini adalah cara yang asyik dan santai untuk menyebarkan inklusi, di mana kegiatan di alam mendorong semuanya untuk saling membantu.
Hirza berharap semakin banyak difabel bisa merasakan manfaat dari rekreasi, khususnya “healing” di luar ruangan. Untuk mencapainya, dibutuhkan kader-kader baru Difpala baik difabel maupun non-difabel yang suka tantangan.