Hari Museum Internasional

Difabel Memaknai Hari Museum Internasional

2 minutes, 35 seconds Read
Listen to this article

Jovan nampak aktif menyimak presentasi sejarahwan arkeolog M. Dwi Cahyono di Museum Mpu Purwa. Sesekali anak dengan autisme itu bahkan berkomentar dan bertanya. Ya, hari itu, Jovan dan beberapa anggota Difabel Pecinta Alam (Difpala) lainnya sedang belajar tentang heritage. Kegiatan dalam rangka memaknai Hari Museum Internasional.

 

Peran Penyandang Disabilitas

Hari itu Sabtu, 20 Mei 2023, Jovan bersama 16 peserta lainnya, ada Fransisco, Juan Vincent, Viktor, Achan, Yulia dan beberapa difabel lainnya. Anak-anak Difpala ini berasal dari organisasi Yayasan Panti Karya Asih, KPSI Simpul Malang, Gerkatin Kota Malang, serta Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS).

“Ini aksara Jawa,” ujar Jovan. Nampak tangannya meraba pahatan abjad kuno tersebut pada sebuah batu. Ia nampak khidmat mendengarkan penjelasan demi penjelasan dari pemandu. Sambil sesekali bertanya, ini namanya patung apa? Bagaimana kisahnya?

“Saya senang ikut acara ini, sebab jadi tahu sejarah jaman dulu,” ujar Jovan di akhir kegiatan. Lanjutnya, lain waktu saya mau ikut lagi, ke candi juga mau.

Tak hanya Jovan, peserta yang bernama Achan juga nampak tertarik. “Bagaimana keadaan difabel jaman dulu?” tanya Achan. Pemuda Tuli ini bersama pendamping komunikasi, Widi Sugiarti.

“Sejak jaman dulu sudah ada penyandang disabilitas, ini nampak dalam berbagai relief candi, misalnya gambaran orang-orang pendek maupun orang dengan proporsi fisik yang berbeda,” terang Dwi Cahyono. Lanjutnya, persoalan stigma disabilitas, dukungan dan potensi juga ada sejak jaman dulu.

Pada jaman kerajaan, beberapa orang dengan disabilitas dikumpulkan dan dirawat di dalam kraton, ungkap Dwi sapaan akrabnya. Satu sisi hal tersebut sebagai kewajiban negara, namun di sisi lainnya kraton percaya bahwa orang-orang disabilitas berguna sebagai tumbal keselamatan.

Masih dikatakan Dwi, sedangkan terkait potensi penyandang disabilitas di masa lampau, tergambar dalam kisah punakawan dengan tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Secara nampak fisik mereka termasuk penyandang disabilitas, namun dibalik itu mereka ada penasihat para ksatria yang disegani para Dewa.

 

Tujuan Kegiatan

“Kunjungan spesial di Hari Museum Internasional ini dimaksudkan agar teman-teman difabel mengenal, memahami,  dan meretak makna yang terkandung di dalam benda-benda warisan budaya koleksi Museum Mpu Purwa,” terang M. Dwi Cahyono.

Masih dikatakan Dwi,  museum merupakan lembaga non profit yang terbuka untuk umum. Siapapun, terlepas dari kondisi fisik dan psikologisnya, terbuka untuk berkunjung guna belajar, berekreasi atau berefleksi di museum, tak terkecuali bagi penyandang disabiltas.

Dwi menyampaikan bahwa kegiatan difabel berkunjung ke Museum Mpu Purwa ini berkat dukungan lintas pihak. beberapa gunung di antaranya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Nusantara Culture Academy (NCA), Patembayan Citraleka, Pokja Bhandagiri serta Lingkar Sosial Indonesia.

 

Tonggak Awal

Pembina Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS) Ken Kertaning Tyas pun mengapresiasi kegiatan ini. Dalam kesempatan itu, ia menerangkan latar belakang kegiatan serta menyampaikan harapannya.

“Awalnya sejak tahun 2020 lalu anak-anak Difpala ini mendaki gunung dan penghijauan,” ujar Ken sapaan akrabnya. Kemudian di sepanjang jalur pendakian, kata Ken, kami kerap kali mendapati situs-situs menyerupai arca, candi dan semacamnya. Namun kami tak tahu makna benda tersebut. Yang kami lakukan masih sebatas tidak melakukan vandalisme. Bak gayung bersambut, sejarahan arkelolog Dwi Cahyono kemudian menggelar even edukasi di Hari Museum Internasional.

“Harapannya, yang pertama kawan-kawan difabel memiliki pengetahuan tentang heritage. Kemudian yang kedua, semoga tahun 2023 ini menjadi menjadi tonggak awal difabel terlibat aktif dan berkontribusi di bidang kebudayaan,” pungkas Ken.

 

(admin)

 

Similar Posts

Skip to content