Karya Anita FN Sunardi
“Mbak Rara yang sabar ya. Aku tahu ini berat. Tapi mau bagaimana lagi,” sambung Yunita pelan.
Ardiansyah sudah memiliki kekasih. Mana mungkin? Bathinku tak percaya. “Lupakan dia, Mbak. Tidak usah khawatir lagi.”
“Siapa gadis itu, Nita?” bertanya menahan isak. Perih semakin meraja. “Kamu tahu siapa dia? Kamu kenal dia?”
Mengangguk jawaban Yunita. “Dia Kak Asti. Adik kelas Kak Ardi di kampusnya. Pernah diajak ke sini, tapi Mbak Rara nggak sempat ketemu dia,” jelas Yunita.
“Bodoh banget, aku. Mengapa begitu mudah percaya kosong dari dia? Sikapnya yang ramah. Tutur katanya yang santun setiap kali kami bertemu. Membuatku percaya ada bias harapan cinta. Tapi ternyata aku terlalu naif, Nita!” tandasku kutukan diri.
“Jangan salahkan diri sendiri. Mbak nggak salah. Perasaan cinta Mbak kepada Kak Ardi, itu tidak salah. Ini satu hal yang wajar. Manusiawi. Hanya saja waktu dan keadaanlah yang kurang tepat,” jelas Yunita seraya memelukku erat. Seolah ingin memberi kekuatan.
“Dia cinta pertamaku….”
“Aku tahu, Mbak. Tapi….”
“Mengapa dia memberikan satu harapan, bila semua adalah palsu. Dan kamu tahu, Nita? Aku begitu percaya dengannya. Tapi ternyata salah. Cinta ini sia-sia. Enggak terbalas.”
Aku sewaktu-waktu. Setelah perlahan mengurai pelukan Yunita. Dan senja di luar sana, semakin menggiring kelam.
Kisah sebelumnya: Ketika Cinta itu Kudamba #Part-1
* * * *
“Mbak Rara, nggak papa kan?”
Sekali lagi suara pelan Yunita membuyarkan lamunan. Ada setetes meleleh di sudut mataku.
“Aku baik-baik saja.” Kuusap tetes itu dengan ujung jariku yang kaku. “Sakit itu singgah lagi saat ini. Nggak bisa kutepis. Sudah dua tahun berlalu, tapi belum bisa melupakannya.”
Aku menoleh ke samping membocorkan Yunita. Lalu kembali melihat titik kosong di depanku.
“Lukaku belum bisa dinetralisir oleh berjalannya waktu.”
“Aku mengerti,” Desah Yunita. “Tapi bagaimana pun, Mbak nggak bisa seperti ini terus. Mbak harus bangkit. Harus kuat. Tata masa depan. Jangan terpaku pada masa lalu. Dan saatnya melupakan dia. Aku yakin, masih ada cinta lain di depan sana untuk Mbak. Juga untuk aku,” celoteh Yunita penuh semangat.
Ada harapan mengalir dari setiap alur tuturnya. Dan aku hanya bisa tersenyum, mengangguk perlahan dan mengiyakannya dalam hati. Yunita benar. Sudah cukup semua sampai di sini. Sudah saatnya aku lepas dari belenggu cinta yang semu. Menerima setiap kenyataan yang ada, adalah satu hal yang terbaik. Ihklas.
“Kamu benar, Nita. Ini saatnya aku buka lembaran baru. Sekaranglah waktunya memandang ke depan. Tanpa harus menoleh ke belakang,” ucapku tak kalah semangatnya. Mata kami berbinar. Saling menatap. Tersenyum sesaat. Lantas tertawa lepas. Hingga tawa kami berdua terhenti, tatkala mendengar ketukan meja tiga kali dari kamar sebelah. Tanda ada orang yang merasa terganggu mendengar tawa lepas kami. Spontan kami pun menutup mulut, berbarengan. Tapi itu tak berlangsung lama. Sebentar kemudian, kami cikikikan berdua.
“Sudah, ah Nita. Jangan bercanda lagi,” selaku setelah puas tertawa kecil bersama.
“Memang kenapa, Mbak?”
“Capeklah, bercanda terus,” tandasku sambil mendorong lembut bahu Yunita. “Itu, tadi aku bawakan makanan kecil. Makan, yuk. Lapar,” ajakku seraya memegang perut. Tak menunggu detik berlalu, jemariku yang kaku menyeret pelan sebuah bungkusan yang terletak di atas nakas. Sengaja aku beli, buat oleh-oleh untuk Yunita.
“Wah, Mbakku ini nggak pernah berubah. Selalu tahu, apa yang Adiknya butuhkan,” ujarnya disertai tawa kecil. “Kebetulan nih Mbak. Makan siangku sudah lumtur dari tadi.” Seringainya sambil mengambil sebungkus roti isi coklat yang memang aku tahu, itu adalah kegemarannya.
“O, iya. Ada kabar apa di asrama?” tanyaku. Membuka bungkus roti isi keju yang kupilih.
“Biasa saja, Mbak. Nggak ada yang berubah,” jawab Yunita sambil mengunyah roti coklatnya.
“Oh, ya?”
“Iya Mbak.”
“Terus kamu, kapan lepas dari asrama?” Sambil mengambil air mineral gelasan, lalu menusuknya dengan sedotan dan menyeruputnya beberapa teguk. Lalu bertanya, “Sudah saatnya juga, kalau kamu harus lepas dari asrama dan membaur dengan masyarakat umum.”
“Iya, benar Mbak. Mungkin Insya Allah tahun depan aku lepas.”
“Sudah punya gambaran, mau apa dan kemana?”
Aku bertanya dengan menatap gadis manis itu. Dia menggeleng.
“Untuk saat ini belum ada rencana Mbak. Tapi aku sudah punya sedikit gambaran.”
Yunita menelan potongan terakhir dari rotinya.
“Aku ingin mencari kerja di bidang desain, mbak. Tangan kanan ini memang agak lemah, tapi dia masih bisa kugunakan untuk menggambar,” sambungnya dengan menepuk-nepuk lengan kanan menggunakan telapak tangan kiri.
Bagian tubuh sebelah kanan Yunita memang terserang virus Polio semasa bayi. Mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kekuatannya. Termasuk tangan kanan, yang kelihatan lemah.
“Alhamdulilah, kalau begitu. Hebat kamu, Maju terus! Pantang mundur.” Dengan jujur, aku mendukungnya. “Jangan seperti Mbakmu ini. Yang bisanya hanya membantu Mama, jaga toko saja.” Dengan sedikit cemberut, diriku berujar.
“Aku ingin bisa mencari uang sendiri, Nita. Mandiri.” Yunita hanya diam mendengarkanku.
“Ya, iya sih. Aku tahu, pada hakekatnya kemandirian seseorang, apa lagi seorang difabel seperti kita, enggak bisa hanya diukur dari segi, seberapa banyaknya kita bisa menghasilkan uang sendiri. Tapi lebih kepada, seberapa bisa kita memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Tapi tetap saja aku ingin bisa mencari uang sendiri,” celotehanku membuat Yunita tersenyum.
“Mbak, dengarkan aku. Apa pun keinginan yang menjadi impian kita, semua pasti ada waktunya. Kalau di hati kita masih punya kemauan kuat, yakinlah ada jalan. Pasti bisa mewujudkannya. Percayalah, pada kemampuan diri sendiri.” Kata-kata ini membuatku termangu. Lantas mengangguk membenarkannya.
Suasana hening. Sesaat kami berdua larut dengan pikiran masing-masing.
“O iya, bagaimana hubungan kamu dengan cowok itu?” cetusku menghapus keheningan. Kini giliran Yunita yang terkesiap. Keningnya berlipat. Berpikir sekejap. Lalu wajah manis itu pun bersemu merah.
“Cowok yang mana Mbak?”
Dengan mengalihkan pandangan, Yunita mencoba menyembunyikan ranum mukanya, kian memerah.
“Aih, yang lagi dekat …” Aku menggoda. “Cerita dong. Siapa tahu bisa jadi inspirasi puisiku,” desakku sambil mengedipkan mata.
“Ah, Mbak. Apa sih?” Tersipu lucu wajah Yunita. Ada binar bahagia terpancar nyata di pelupuk matanya. Aku tahu, ada satu rasa yang mulai tumbuh subur di ladang hatinya. Tak dapat dipungkiri, saat ini Yunita tengah memasuki masa remaja. Delapan belas tahun adalah masa yang indah untuk dinikmati.
Selisih usia kami memang tiga tahun, tapi kami bisa menyatu. Sebagai sahabat. Bahkan sudah seperti kakak beradik. Yunita adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tinggal di luar kota. Membuatnya harus rela tinggal di asrama. Bersama teman-teman yang lain. Yang berasal dari luar kota atau bahkan luar provinsi.
Sedangkan aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dua tahun yang lalu, telah menamatkan jenjang pendidikan di sini. Selama mengenyam pendidikan dulu, tak perlu masuk asrama. Karena jarak antara rumah dan kompleks asrama hanya dua puluh menit. Itu pun kalau suasana jalan lagi macet di pagi hari.
“Sudah, jangan malu-malu. Ceritakan saja padaku siapa dia?” desakku dengan nada menggoda.
Yunita menegakan posisi duduknya. Masih tetap bersandar pada dinding kamar. Ada dentuman rasa membuncah dalam dada yang coba dia tahan. Menata ulang setiap embusan napas yang tak teratur, karena bahagia itu tengah jantungnya. Gejolak rasa yang mungkin baru saja singgah, memberi nuansa tersendiri.
Segala yang terlihat begitu indah. Debaran melanda dari waktu ke waktu. Sebuah simponi mengalunkan tembang-tembang syahdu. Kidung rindu. Setetes mengenang di permukaan daun hijau. Kilaunya menawan. Jatuh, menyerap di kedalaman jiwa. Satu kuntum bunga hati itu mulai menyimbul. Butuh cukup detik untuk mendengar satu kalimat keluar dari mulut mungilnya.
Bersambung….
Lihat Etalase Anita di https://www.malanggleerrr.com/store/etalase_anita/