Analisis sosial dalam sikap adalah praktik analisis sosial yang mendasari pemikiran dan sikap seseorang dalam merespon lingkungannya.
Seseorang yang memiliki pemahaman ini, akan cenderung tidak reaktif, melainkan logis dan pro aktif dalam mengambil keputusan.
Sharing analisis sosial dalam sikap, saya tulis langsung dalam bentuk contoh kasus.
Kisah pengantar.
Ini sebuah kisah lucu sekaligus memprihatinkan. Saat saya mendapat sanggahan dari sekelompok orang. Namun sanggahan itu terkesan tidak terencana dan tidak terstruktur. Sehingga justru menunjukkan rendahnya kapasitas si penyanggah.
Sekelompok orang yang menyanggah, adalah orang-orang yang tidak begitu saya kenal. Mereka juga tidak pernah terlibat dalam sebuah kerjasama kegiatan dengan saya. Namun di antara mereka, ada satu orang yang saya kenal. Ia, saya kasih inisial CG.
Kronologi.
Terjadi belum lama, dalam forum masyarakat bersama pejabat, di kota tempat saya tinggal dan bekerja.
Dua kalimat sanggahan yang saya catat. Pertama: apa yang sudah Pak Ken lakukan, kami juga sudah melakukannya. Kedua: Pak Ken, tolong kalau berbicara poin-poinnya saja.
Poin pertama diucapkan beberapa kali untuk menandingi setiap yang saya sampaikan. Poin kedua adalah puncak dari upaya mereka menyanggah saya.
Orang-orang yang terlibat.
Yang ironi, para penyanggah sesungguhnya juga tidak paham apa yang mereka sampaikan. Ada indikasi, seseorang memprovokasi dan mengendalikan. Misalnya berbisik-bisik antar beberapa orang sebelum berbicara. Terkesan membuat forum di dalam forum.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Menyikapi serangan terbuka tersebut. Saya memilih bersikap untuk tidak merespon dan tetap fokus pada materi pertemuan.
Memulai analisis sosial.
Mencari sebab.
Saya pernah belajar tipis-tipis soal analisis sosial. Salah satu materinya adalah bagaimana mencari latar belakang persoalan.
Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan kunci. Di antaranya, sejak kapan masalah itu terjadi, dan kejadian apa yang terjadi saat itu, dan siapa saja yang terlibat?
Menganalisis masalah.
Masalah ke-1: berawal dari sebuah kekecewaan.
Persoalan di mulai tahun 2019. Ketika itu saya berteman dengan seorang caleg gagal, berinisial CG. Telah tersebut di awal tulisan.
Berteman dengan siapapun saya tidak masalah. Namun konteks seorang caleg gagal ini memiliki benang merah yang kuat dalam masalah ini.
CG bekerja sebagai pegawai kontrak tahunan di sebuah kementerian. Mungkin saat itu ia masih belum move on dengan kegagalan nyalegnya. Indikatornya, beberapa kali ia mengajak saya beraktivitas politik praktis.
Sebagai pemangku organisasi sosial tentu saya menolak dengan berbagai cara, agar ia tidak tersinggung. Namun untuk aktivitas yang murni sosial, sepenuhnya saya bantu.
Apakah ia kecewa dengan penolakan ini? Mungkin saja. Indikatornya ia tak lagi mengikuti kegiatan saya.
Masalah ke-2: perginya beberapa relawan
Saya memiliki beberapa anggota relawan. Mereka berasal dari warga masyarakat yang saya layani. Ada yang aktif sepenuhnya, ada pula yang hanya sesekali ikut berkegiatan. Di antara mereka ada yang warga biasa, ada pula warga anggota sebuah kelompok/organisasi. Kelompok mereka saya kasih inisial KO.
Menuju akhir Tahun 2019, beberapa anggota relawan satu persatu menjadi tidak aktif. Saya berfikir itu hal biasa, namanya juga relawan. Selama hati rela ya silahkan berkegiatan.
Terlebih saya memiliki cukup banyak relawan dari berbagai segmen. Kepergian mereka tidak berdampak penting.
Sejak saat itu, mereka tak lagi saya sebut sebagai relawan. Melainkan anggota KO, sesuai asal dan organisasi mereka saat ini.
Masalah ke-3: para pemburu bansos
Tahun 2020, eks anggota relawan tersebut atau anggota KO, sesekali masih aktif berkegiatan, namun di kelompoknya sendiri.
Yang saya lihat, mereka banyak bergerak di bantuan sosial. Mencari bantuan sosial (bansos) lalu membagikan kepada anggota-anggotanya.
Saya juga mendengar konflik internal di kelompok mereka, soal bansos yang tidak merata. Prinsipnya saya hanya melihat dan mendengar. Dan itu urusan rumah tangga orang.
Saya dan organisasi KO memiliki segmen kegiatan yang berbeda. Mereka mengurus bansos, sedangkan saya pemberdayaan masyarakat. Namun sesekali saya juga menyalurkan bansos, ketika ada titipan dari badan zakat.
Masalah ke-4: dianggap anti bansos
Apapun segmen kegiatannya, sama-sama kegiatan sosial. Namun ada persoalan di sini. Mereka (anggota KO) menyanggah postingan-postingan saya di media sosial yaitu whatsapp group.
Setiap sanggahan yang mereka lontarkan, saya memilih tidak merespon.
Di dalam whatsapp grup tersebut, ada saya sebagai admin, beberapa anggota organisasi yang saya kelola, beberapa anggota KO, serta CG.
Postingan yang dimaksud adalah tulisan saya soal pemberdayaan masyarakat. Yang terjadi, mereka terkesan gerah. Postingan saya dianggap anti bansos. Sementara mereka adalah para pegiat bansos.
Namun sesungguhnya mereka salah paham. Saya bukan anti bansos. Faktanya saya juga menyalurkan bansos. Bahkan distribusinya mencapai tiga kota, dengan sasaran hampir 1000 orang selama tahun 2021. Sementara sasaran mereka hanya internal anggota KO yang jumlahnya saat itu sekitar 100 orang.
Perbandingannya, jika mereka pegiat bansos, maka saya adalah mbahe pegiat bansos.
Yang unik dalam sanggahan mereka di medsos adalah, selain menyanggah saya, mereka juga memuji kinerja CG.
Masih ingat CG? Ia sosok caleg gagal yang tersebut di awal tulisan.
Apakah ada kaitan menyanggah saya dengan memuji CG?
Masalah ke-5: left grup berjamaah.
Pada suatu waktu, CG keluar grup whatsapp tanpa pesan. Kemudian diikuti oleh beberapa anggota KO.
Namun tidak semua anggota KO keluar grup. Beberapa diantara mereka masih diam dalam grup. Bedanya, mereka sudah tak lagi berkomentar menyanggah. Selama sekira dua tahun ini hanya menyimak. Kok yo betah..
Masalah ke-6: hubungan antar pihak.
Apakah keluarnya para anggota KO dan CG dari whatsapp group berkaitan? Nampaknya demikian.
CG berperan penting dalam organisasi KO. CG berperan menurunkan bansos-bansos, sesuai tugasnya sebagai pegawai kontrak di sebuah kementerian. Dan anggota KO berperan sebagai obyek bansos.
Masalah ke-7: menyebar ke dua kota.
Kesalahpahaman mereka, lambat laun berkembang sebagai ketidaksukaan anggota KO terhadap saya. Dan ini berkembang secara masif mempengaruhi beberapa orang di dua kota. Mereka adalah anggota kelompok sejenis KO dampingan CG.
Yang disayangkan, beberapa organisasi KO dampingan CG beserta anggotanya terlibat dalam masalah ini. Padahal mereka belum pernah melihat saya, apalagi bertemu atau bekerjasama.
Namun tidak semua anggota KO mengambil sikap sama. Beberapa orang diantara mereka bahkan menjadi anggota saya. Mereka mengakses program-program pemberdayaan. Dan dari para anggota inilah, saya mendapat informasi bahwa di beberapa kelompok dampingan CG, berkembang isu negatif tentang Pak Ken.
Masalah ketujuh: sebuah tekanan
Masih di tahun 2020, saat saya berada di luar negeri untuk sebuah penghargaan. Terjadi hal di luar dugaan. Saat itu CG menelepon saya. Ia marah-marah tanpa sebab yang jelas. Katanya saya menjelek-jelekkan Pemerintah. Ia juga memberikan pesan bernada menekan, bahwa ada Pejabat Dinas yang juga marah ke saya.
Sepulang dari luar negeri, saya temui pejabat dinas yang dimaksud CG. Saya konfirmasikan masalah ini kepadanya. Pejabat itu minta maaf, katanya ia hanya terbawa provokasi.
Masalah kedelapan: motif yang mulai terungkap.
Buntut konfirmasi saya ke pejabat itu, adalah hubungan baik. Salah satu bentuknya, saya dan beberapa orang mendapat tugas pelatihan pemberdayaan masyarakat di luar kota.
Hal yang kembali tidak saya sangka. Informasi saya terima dari staf Dinas yang mendampingi pelatihan. Bahwa CG marah-marah kepadanya. CG mengatakan, mengapa Ken yang diutus ke luar kota, seharusnya saya.
Masalah kesembilan: penyalahgunaan jabatan.
Tahun 2021, dalam situasi sebagian masyarakat memerlukan bantuan sosial. Seorang pemimpin organisasi mendatangi saya. Ia mengatakan, Pak Ken saya bingung. Masalahnya CG mengatakan ke saya, kalau mau anggota saya dapat bansos, syaratnya jangan kegiatan dengan Pak Ken.
Jawaban dari rangkaian masalah.
Merangkai masalah pertama hingga kesembilan. Nampak peran penting CG. Ia mempengaruhi orang-orang untuk memusuhi saya.
Dugaan sebabnya adalah:
- Kekecewaan CG, sebab saya tidak mendukung kegiatan politik praktisnya.
- Ketidaksukaan CG terhadap edukasi pemberdayaan yang saya lakukan. Edukasi saya dianggap anti bansos, sementara ia adalah penyalur bansos.
- Sebagai upaya CG dalam pemulihan paska gagal nyaleg. Ia ingin sukses di bidang sosial. Namun dengan cara menyingkirkan orang-orang yang dianggap rival di pekerjaannya.
Penutup.
Ini adalah tulisan di pagi hari tentang implementasi materi analisis sosial. Jika ada kesamaan kasus, semoga bisa mengambil hikmahnya.
Bagi pegiat sosial seperti saya, pengetahuan analisis sosial dalam sikap ini sangat penting. Agar memiliki sikap pro aktif dan tidak emosional sehingga layak menjadi pengayom masyarakat. Semoga tulisan ini bermanfaat. (Ken)